Tahun baru, Jam 12, dan Terompet

19.00.00 jino jiwan 0 Comments

Jam 12 malam/pagi boleh jadi adalah waktu terlucu dan terunik. Saat ketiga jarum jam menunjuk angka yang sama pada angka 12, saat itulah hari sudah berganti. Begitulah aturan yang diakui.

Coba saja kamu melek sampai jam 12 malam kamu akan merasakan sensasi aneh seperti: “Hei! Sedetik lalu Aku masih berada di hari kemarin, sekarang Aku berada di hari ini!”. Efek ini akan lebih menggetarkan pada akhir bulan, karena kamu sudah ada di bulan berikutnya padahal sedetik lalu kamu masih di bulan sebelumnya. Cukup aneh kan?

Pada hari-hari biasa kamu bisa menyebut semua hal yang sudah/baru saja kamu lakukan sebelum jam 12 malam sebagai hal yang kamu lakukan KEMARIN walaupun baru saja terjadi beberapa jam/beberapa detik lalu. Jika itu pergantian bulan kamu bisa menyebut hal yang kamu lakukan beberapa detik yang lalu sebelum jam 12 sebagai kejadian di bulan lalu.

Apakah kalau kamu tidak memikirkannya secara sadar, efeknya akan hilang juga? Yang kumaksud disini adalah nyaris tak ada sekat pembatas yang benar-benar tersirat. Semudah itu pula menyebrangi waktu. Seolah tidak ada yang terjadi.

Hal yang sama berlaku untuk setiap pergantian tahun. Apa bedanya pergantian tahun dengan perpindahan hari biasa dari jam 23:59 ke 00:00? Jadi ketika nanti tanda tahun baru dibunyikan dan semua orang ikut meniup terompet kegembiraan sembari menunjuk langit kepyar-kepyur benderang diterangi kembang api yang luar biasa mahal. Semua tak akan ada bedanya.  Jika bukan hanya karena orang lain juga melakukannya, maka malam tahun baru tidak akan memiliki keistimewaan selain hitungan angka-angka yang semu. 

Dan jika memang perayaan tahun baru yang dituju, tentu akan sangat menenangkan merayakan tahun baru berkali-kali dalam waktu berdekatan. Kamu bisa berada di Ambon untuk merayakan tahun baru Waktu Indonesia Timur lalu cepat-cepat naik pesawat jet ke Denpasar untuk merayakan tahun baru Waktu Indonesia Tengah, dilanjutkan ke Jakarta untuk merayakan tahun baru Waktu Indonesia Barat. Atau malah berada di tapal batas dua zona waktu. Misalnya kamu berada di atas kapal di tengah selat Bali, sehingga kaki kirimu ada di tahun 2010 sementara kaki kananmu sudah berada di tahun 2011.

0 komentar:

Motivasi Penutup Tahun 2010

15.36.00 jino jiwan 0 Comments

Terkadang yang kamu inginkan tidak selalu kamu dapatkan karena pada kenyataanya yang kamu inginkan bukan yang kamu butuhkan, meski tentu akan sangat membahagiakan jika kamu dapat menuntaskan segala yang kamu inginkan.

Bila memang itu yang selama ini terjadi selama 365 hari ke belakang, mungkin saja berarti bahwa usahamu belum cukup maksimal. Tunggu dulu! Bagaimana kamu bisa menyebutnya sebagai sebuah usaha bila kamu hanya mengangankannya?

Mungkin saja kamu terlalu banyak bermimpi, mungkin juga terlalu banyak cita-cita, terlalu banyak membaca motivasi yang kamu bilang mampu menginspirasi, juga terlalu banyak menonton Mario Teguh atau mendengar Career Coach yang malah mengintimidasi pembentukan jati diri dan bikin duniamu makin goncang.

Mulai sekarang kamu akan menerapkan metodemu sendiri dan berhenti kapanpun ketika lelah. Lalu janjikan sesuatu yang sanggup kamu selesaikan. Tundalah apapun yang tidak mau kamu kerjakan tapi gantilah dengan hal lain yang lebih menggairahkan untukmu. Hidup hanya untuk hari ini, lalu berhenti khawatir akan besok hari. Karena besok adalah misteri, tak satu manusia bisa tahu. Tidak juga pesulap sok sangar yang konyol itu.

Memalsukan diri dan mencoba keras menjadi orang lain adalah gagasan terbodoh yang coba dijejalkan orang yang sok sukses. Yang perlu dilakukan adalah mencontek namun menerapkannya dengan gaya sendiri.

0 komentar:

Daerah Bukan Istimewa Yogyakarta

23.49.00 jino jiwan 0 Comments


Segera DIY akan menjadi daerah yang sama dengan propinsi lain di Indonesia. Pemerintah memutuskan gubenur Jogja dipilih melalui proses demokratis atau dengan kata lain gubenur akan terpilih melalui pemilukada. Dengan Sultan dan Paku Alam yang akan ditempatkan dalam sebuah wadah yang disebut “Paradhya” sebagai ‘badan tertinggi’. Sampai pada mekanisme pemilukada, demokratis yang dimau SBY masih dapat dimengerti.  Tapi, apa sih Paradhya itu? Paradhya adalah dewan pelindung budaya yang kurang lebih bertugas mengawasi jalannya pemerintahan dan memberi persetujuan atas pemilihan kepala daerah. Jelas fungsinya tidak lebih dari sekedar simbol belaka. Bisa langsung diterawang lembaga ini hadir untuk memberi efek penenang bagi warga Jogja yang sudah mulai gerah, sekaligus membentengi kemungkinan Sultan ikut maju dalam pemilukada, berhubung peran beliau dan keraton akan disunat—dikapling dalam dewan semu tersebut. 

Terdapat dugaan adanya orang-orang kuat dengan kepentingan bisnis skala raksasa yang memiliki kepentingan terhadap masa depan Jogja. Mereka sudah tentu terhalang untuk memenetrasi Jogja selama masih ada Sultan di situ. Jogja mengandung potensi bisnis yang mengilerkan. Puluhan ribu pelajar dan mahasiswa menuntut ilmu di propinsi yang ayem ini. Dimana standar pendidikannya diakui cukup tinggi. Ambisi sejumlah parpol untuk merengkuh Jogja demi mengejar kepentingan masing-masing sangat nyata terlihat.

Rakyat Jogja bukannya tinggal diam, mereka menggalang wacana “Siap Referendum” buat mematahkan survei pemerintah yang mengklaim bahwa 71 % rakyat Jogja ingin gubenur lewat jalur demokratis. Sayang, referendum cuma tinggal spanduk bisu di ruang publik. Pemerintah lewat partai penguasa melantang: “Tak boleh ada monarki”. Oleh karena itu pemilu adalah cara terbaik menurut mereka, meski kita sama-sama tahu bahwa tidak pernah ada pemilu yang benar-benar bersih di negeri ini. Yang dipikirkan pejabat jika terpilih adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah mengantarnya duduk nyaman di kursi tersebut.

Apa benar Sultan, Keraton, dan Jogja menerapkan monarki? Monarki!? Memangnya Sultan itu setara dengan Raja di Raja penguasa suatu negeri bersama kebijakan dan peraturan ciptaannya sendiri? Tentu tidak kan. Jogja hanyalah satu wilayah kecil dalam cabang pohon raksasa bernama NKRI. Titah Sultan tidak otomatis menjadi peraturan. Warga asli atau siapapun yang berdiri di tanah Jogja tetap taat pada hukum yang berlaku di Indonesia. Fungsi Sultan secara praktis dalam pemerintahan sejak pasca kemerdekaan adalah sebagai gubenur yang tunduk di bawah pemerintah pusat dan bertanggung jawab pada presiden. Penetapan gubenur pun dilakukan presiden, seperti yang ditetapkan dalam UU. Dan justru di situlah letak keistimewaan Jogja, gubenur berasal dari kalangan keraton dan tidak terikat masa jabatan.

Sultan lebih dari sekedar gubenur, hubungan beliau dengan rakyatnya adalah sesatu yang tidak dapat dijelaskan, beliau raja sekaligus pengayom bagi rakyatnya. Sultan semacam simbol budaya dan persatuan. Lenyapnya Sultan dari kancah pemerintahan Jogja pasti bakal sangat mempengaruhi perjalanan Jogja ke depan sebagai kota pelajar dan budaya. Wibawa keraton dan pamor Sultan akan menurun seperti halnya Keraton Solo yang ada tapi tidak ada. 

Indonesia seharusnya lebih banyak menghargai sejarah dan belajar dari langkah-langkah yang diambil pendahulunya. Pemerintah seakan melupakan itu dan mengintervensi keistimewaan jogja, menggantinya dengan keistimewaan palsu. Dengan seenaknya pemerintah menggulirkan bola panas membuat luka lain di atas luka yang hendak pulih di hati rakyat Jogja. Layak untuk dicurigai bahwa isu “keistimewaan Jogja” adalah upaya pengalihan dari janji manis bantuan untuk ribuan pengungsi korban Merapi yang telah kehilangan rumah, sawah, dan ternak mereka.

Rujukan:
UUD 1945 Pasal 18B Ayat 1 dan Ayat 2– Tentang pengakuan pemerintah terhadap daerah khusus/istimewa.
UU No. 22/1948 Pasal 18 Ayat 5– Tentang penetapan gubenur Jogja oleh presiden, diambil dari keturunan keluarga keraton.
UU No. 32/2004 Pasal 226 Ayat 2 –Tentang penetapan keistimewaan Jogja.

0 komentar:

MenJogjakan Sinetron

17.05.00 jino jiwan 0 Comments

-->
Sinetron dengan FTV bedanya apa sih? Kita tahu betul karakter keduanya toh dasarnya sama. Pembeda signifikan terletak pada durasi. Yang satu lebih panjang dan mbulet mbulet, yang satunya lagi singkat, tergesa-gesa, dan sekali tayang. Biang FTV dan sinetron tentu saja SCTV, alias Sinetron-Cinta-Televisi. Stasiun tivi yang selalu memajang sinetron tiap malam sampai benar-benar sudah larut ini, terhitung serriii…ing banget meng on air kan FTV berlatar Jogja. Ada apa sih di balik fenomena FTV Jogja jogja-an?

Sebagai propinsi yang makin melejit populasi pelajar dan mahasiswanya, Jogja menjadi sejenis wadah semaian ragam budaya luar dan lokal. Berkat perannya tersebut agaknya Jogja adalah lahan subur inspirasi dan menginspirasi bagi siapa saja. Oleh sebab itu, gak heran juga kisah tentang Jogja akan selalu ada penikmatnya. Mungkin karena alasan komersil FTV Jogja dibuat.

Sayangnya lalu lalang penggambaran Jogja lewat FTV dalam layar kaca tidak 100% akurat. Haruskah orang Jogja yang kotanya tampak dalam frame kamera, bangga dengan penggambaran FTV yang seolah tanpa riset itu? Seharusnya sih iya, tapi hanya kalau pendeskripsian visual tersebut benar adanya.

Karakter ber-etnis Jawa-Jogja dalam FTV dibuat begitu stereotip. Seolah-olah orang Jogja tipikalnya seperti itu. Mungkin dikiranya ke-Jawa-an orang Jogja sangat lucu dengan logat medok yang payahnya di medhok-medhok kan oleh aktor dan aktris amatir yang bahkan gak asli orang Jawa dengan tampang dan kulit cerah mereka. Logatnya itu loh, sangat mentah dan palsu. Sehingga kalau mau cermat lidah mereka sering keseleo sendiri. Keluar deh tuh logat ibukotanya. Pilihan bahasa dalam setiap scene amat janggal, campur baur teraduk-aduk gak jelas. Bahasa jawa di oplos dengan bahasa Indonesia, pokoknya yang dikejar nomor satu ya logatnya, sehingga terdengar seperti orang baru belajar bahasa Jawa saja. Dan ingat! Tidak semua anak memanggil bapaknya dengan sebutan “Romo”. Bahkan dalam kalangan darah biru sekalipun. Sungguh suatu pemerkosaan visual.

Jogja telah jauh berubah, Bung. Kamu akan sulit menemukan orang yang selalu ber-surjan plus blangkon di atas kepala dalam kesehariannya. Orang-orang bersepeda onthel pun hanya segelintir melintas di wilayah kota, terlibas kalah sama kendaraan modern. Kehadiran sepeda atau becak yang geraknya lambat malah dirasa mengganggu pengguna jalan yang semuanya makan bensin-solar. Masih soal tunggangan, kalaupun karakter orang Jogja di dalamnya dikisahkan naik motor, pilihan motornya pun sepertinya tidak jauh-jauh dari kisaran Honda 70 (pitung) atau Vespa yang masih kinclong dan banyak aksesorisnya. Ya iya, memang gak selalu, tapi hampir pasti iya.

Coba lihat pilihan seting tempat yang tampak begitu ingin meng-ikon-kan Jogja dengan lokasi yang itu-itu saja. Seolah di Jogja adanya cuman itu tok. Rumah beraliran joglo lah, yang sekarang susah ditemui. Tugu Jogja malam hari, stasiun Tugu, kisaran Malioboro, atau paling jauh ya Prambanan. Bahkan herannya pernah ada yang nyasar sampai ke Candi Borobudur! Halloooww? Tahukah mereka—para kreator cerita ini kalau Borobudur itu puluhan kilometer di luar Jogja? Selera pemilihan tempat yang payah!

Belum lagi kisah yang tawarkan, mudah ditebak saking sangat sederhananya. Salah satu karakter entah si cewek atau cowoknya diceritakan sebagai orang Jogja asli dengan latar adat budaya kental (plus logat yang lebay)—bertemu dengan orang ibukota yang mau berlibur ke kota budaya ini. Di awal-awal mereka hampir pasti terlibat dalam konfrontasi, perseteruan, saling benci pura-pura alias jaim-jaim-an tapi langsung ketahuan bahwa mereka akhirnya ditakdirkan saling jatuh cinta. Gampang kan? Kening gak usah berkerut. Otak yang ingin berpikir harus di-off dulu sementara.

Entahlah, ketikan ini memang cenderung bercabang antara jengkel dengan penggambaran Jogja yang mungkin benar untuk dua dekade lalu atau ketersesatan Jogja yang ciri khas Jogja-nya tambah lenyap. Tidak perlu percaya total dengan apa yang kamu lihat, soalnya FTV FTV itu malah bukan men-Sinetron kan Jogja, melainkan men-Jogja kan sinetron.

0 komentar:

7 Hal Yang Tidak Ingin Kamu Temukan Dalam Makananmu

21.23.00 jino jiwan 0 Comments

Oke, Kita semua setuju bahwa Kita cenderung akan membenci kejutan yang buruk. Kita tidak ingin menemukan sesuatu yang tidak terduga dan akan membuat Kita sebel, jijik, ngeri, muak, mual, ilfil saat menyantap hidangan yang ada di hadapan, mau itu di rumah sendiri, rumah temen, saudara, di restoran, warung, kedai, atau apapun namanya.

Apa yang tidak ingin kamu temukan dalam makananmu? Hmm…coba putar kembali ingatanmu, apa sih yang sanggup bikin Kamu sebel, jijik, ngeri, muak, mual, ilfil pas Kamu makan? Yakin deh, Kamu pasti pernah mengalami setidaknya satu atau lebih di antaranya atau minimal pernah mendengar orang lain kena sial macam begini. Tinggal Kamu mau ambil pening apa enggak. Kamu mungkin menganggapnya biasa aja karena sering Kamu alami. Walau sebenarnya daftar di bawah ini bisa langsung mengindikasi seberapa bersih pengolahan makanan yang Kamu lahap. Dan jika Kamu percaya dengan perkataan “We Are What We Eat”. Sudah sepantasnya alarm dalam kepalamu memberi warning untuk mulai bertindak dengan mengatakan “TIDAK” bila harus bertemu lagi dengan kejutan-kejutan dalam countdown berikut.
(Maaf, tidak semua foto dapat disertakan. Jadi harap bayangkan sendiri)

7.  Semut
Makhluk satu ini ada di mana-mana. Di tempat yang bahkan tidak kamu duga ada—Semut selalu ada dan kehadirannya selalu mengesalkan. Kamu tentu nggak lupa kan dengan pepatah gampang “Ada gula ada semut”. Ya…ya..semua orang juga tahu itu. Emang sih biasanya semut menyerang apa saja yang berkadar gula tinggi, tapi itu tidak selalu. Buktinya semut kalo kepepet toh mereka mau aja ngerubungin makanan apapun (terutama yang berkuah)—yang tidak terproteksi dengan baik. Lebih buruk lagi para semut akan berenang-renang untk kemudian rela mati di situ lalu tercampur-campur sampai sulit diambil satu-satu. Ya udah ketelen deh tuh semut.

6.  Batu
      Yap, batu. Ukurannya memang tidak seberapa, paling hanya beberapa mili hingga setengah centi, tapi kehadirannya sangat mengganggu kenikmatan ketika gigi sedang sibuk naik turun mengolah makanan dalam mulut. Lagi asyik mengunyah-nguyah eh ada suara “Kletus”. Suara batu kerikil kecil tergerus gigimu. Itu sama sekali bukan proses menyenangkan. Berbahaya sih enggak, cuman ya ngeselin aja. Kecuali kalo gigimu nyaris jadi puing-puing. Antara khawatir gigimu bakal berkurang lapisan emailnya dan kesal kalo Kamu ternyata harus menelan batu yang diragukan sterilitasnya—Kamu pasti akan berusaha mengolah lidahmu buat menemukan sisa batu lain yang belum terkunyah. Ah…nambahin kerjaan aja nih batu.

5.  Rambut
Entah rambutnya siapa yang Kamu temukan terselimpet di sela lauk dan butiran nasi di atas piringmu. Biar cuma sehelai-dua helai sehingga kelihatannya tidak mengganggu banget, tapi sepertinya bukan hanya itu masalahnya melainkan DARI BAGIAN MANA TUH RAMBUT BERASAL? Dari mahkota kepala, atau bawah hidung, atau dari lubang hidung?! atau dari bagian dagu, atau lebih buruk lagi dari pabrik keringat antara lengan dan dada? Apakah si pemasak waktu sedang mengolah masakan ybs sedang garuk-garuk kepala—sampai kutunya ikutan terjun? Apakah orangnya memasak sambil mengupil? Atau sambil cukur jenggot?
Sekedar saran nih,Kamu bisa kok mengidentifikasikan asal rambut itu berdasar karakteristiknya. Misal, kalo rambutnya panjang, tipis, mudah patah, berketombe (Eh eh kok malah jadi iklan sampo?)—ya berarti dari kepala. Kalo pendek dan runcing, ya berarti rontokan kumis. Kalo pendek, agak gemuk dan agak curly, nah… tuh rambut mungkin layak dicurigai. Misalnya nih, Kamu agak agak paranoid dengan asal si rambut Kamu dapat selalu berdoa tiap menghadapi persoalan satu ini: “Mudah-mudahan bukan dari ‘rambut yang satu itu’,Ya Allah”.

4.  Ulat
Sebenarnya ulat yang dimaksud adalah ulat jenis pemakan sayuran, bukan cacing uget-uget pemakan makanan yang busuk. Ulat kecil berkaki banyak, kuning kehijauan ini sering ditemukan dalam keadaan tewas di jenis sayuran yang disukainya. Biasanya sih dia ada di dalam kacang panjang atau buncis. Beberapa orang merasa kehilangan selera berkat ulat ini. Meski sebenarnya adanya ulat ini otomatis berarti sayuran yang Kamu makan bebas dari pestisida.

3.  Lalat
Nah, ini sih biangnya jorok. Selain karena kepakan sayapnya yang berisik, lalat sudah terprogram dari sononya untuk bertugas menjadi ‘pembersih’ segala. Entah apa yang membuat si lalat yang terkenal dengan reaksi kilat dan kelihaiannya itu bisa tercebur pada oseng kangkung kegemaranmu. Sekilas menemukan lalat mati dalam makananmu seperti hal yang remeh padahal lalat si penyebar wabah, pemakan kotoran, sampah, bangkai—membawa serta bermacam virus penyakit, bakteri dan telurnya ke mana pun ia hinggap. Dan lalat melakukan lebih dari sekedar memakan makanan yang diinjakinya, ia juga meludahinya, juga boker (alias e’e) sembari meletakkan telurnya. Jadi Kamu sudah punya cukup alasan kan, untuk tidak menelan apapun yang sudah diracuni oleh lalat.

2.   Kecoa
Kecoa terselip dalam makanan bukan cerita baru. Kamu pasti pernah mendengarnya, atau pernah mengalaminya kan? Konon katanya kecoa adalah binatang yang dapat terus hidup berhari-hari meski kepalanya telah terpenggal. Satu-satunya penyebab serangga menyebalkan ini menemui ajal (setelah tidak punya kepala) adalah semata karena kelaparan. Maklum akses makanan lewat mulut jadi lenyap. Ya, bagaimana Kamu bisa makan jika kepalamu entah dimana. Kita pun tidak pernah benar-benar tahu keakuratan fakta ini, karena FAKTANYA Kita terlalu jijik untuk mau menangkapnya lalu mau repot-repot memenggalnya hanya untuk membuktikan apa yang disebut sebagai fakta tersebut. Yang Kita tahu bahwa binatang satu ini kotor dan menjijikan, Titik! Dan mau makan apa saja termasuk sampah.
Itu sebabnya jika Kamu menemukan kecoa dalam makananmu, dijamin isi perutmu akan bergolak. Makanan yang barusan Kamu transfer dalam lambung serasa memanjat kembali ke lidah minta dikeluarkan. Kamu jadi berpikiran mungkin saja Aku tadi sudah menguyah kecoa tanpa sadar. “Hooeeekk…”

1.   Tikus
Ini lah puncak kejutan dalam hidangan yang paling tidak ingin Kamu jumpai. Jelas Kamu bakal sulit menemukan seekor tikus dalam piringmu. Dan tikus yang dibicarakan di sini bukan tikus yang didesas-desuskan diolah sebagai campuran bakso atau mie ayam oleh oknum pedagang kurang ajar. Melainkan tikus sungguhan yang masih sehat berbulu yang dia tidak sengaja tercebur dalam bahan makanan.
Pernah terbit cerita kalau ada sebangkai tikus yang mengapung dalam sepanci besar kuah soto di kantin sebuah sekolah. Tentu saja ini menggemparkan para pelanggan. Kurang jelas bagaimana nasib si kuah soto yang ketambahan ‘bumbu’ pelezat itu. Jadi bagaimana bisa seekor tikus mengontaminasi sepanci kuah soto? Skenario terbesarnya adalah si tikus sedang bermain-main (ya biasalah anal-anak) sambil berlarian lalu tidak sengaja terpeleset (maklum, masih amatir) lalu nyemplung dalam kuah soto panas. Si tikus rumah yang tidak jago berenang langsung tewas, meninggalkan kenangan buruk bagi pelanggan soto. Kenangan yang coba ditutup-tutupi oleh si penjual.

Sayangnya daffar ini bersifat sangat sementara alias masih bisa berubah tergantung sikon dan pengalaman. Tujuan dari ketikan ini bukan untuk menakut-nakuti, hanya biar Kamu waspada saja menjaga apa saja yang masuk dan terolah oleh perutmu. Satu yang pasti harus dihindari waktu mau makan adalah “kelaparan yang ekstrim”. Sebab rasa lapar yang berlebihan bisa menurunkan kewaspadaan terhadap makanan yang Kita makan. Apa sih yang nggak terasa lezat kalo sedang laper berat? Berhubung banyak hal tak terduga di luar sana, sekarang tugasmu untuk mengomentari. Pernahkah Kamu pernah menemukan surprise berbeda yang jauh lebih mengerikan lagi dalam makananmu?

0 komentar:

Posisi Paling Pas Dalam Rongga Bus (Tips Naik Bus)

18.29.00 jino jiwan 0 Comments


Bus tampaknya masih jadi moda transportasi favorit nan handal bagi orang yang akan bepergian. Jarak menengah maupun jauh apalagi mereka yang dalam jumlah massal seperti rombongan wisata, mudik, dan arus balik. Entah lintas AKDP atau pun AKAP, AC-Non AC, Eksekutif-Ekonomis. Pun bagi yang ingin menghindari perjalanan udara, baik yang antipati dengan harganya yang ikut mengangkasa juga keribetan khas ala lanud. Maupun buat yang trauma dan paranoid dengan take off dan landing pesawat, karena bagi sebagian orang pengalaman satu ini bisa terasa menakutkan. Tapi mungkin saja karena nggak ada alternatif transportasi lain. Ya, sayang sekali pintu ajaib Doraemony tidak pernah benar-benar ada di dunia. So here it comes the bus.
Berhubung jalannya bus tersayang itu di atas daratan, yang kita tahu sendiri, jalanan protokol apalagi jalur alternatif made in pemerintah tidak semulus pipi Sherinna, tidak selembut wajah Sandra Dewi, tidak seteduh wajah Zaskia A. Mecca (Hayah…). Belum lagi faktor durasi perjalanan soalnya sedikit-sedikit harus distop lampu lalin dan persaingan antar sesama manusia menuh-menuhin jalan yang bikin chaos in the street. JADI akan lebih berkurang kemudharatannya bila para penggemar bus benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin demi kenyamanan. Nah, salah satunya adalah pemilihan lokasi tempat duduk yang aman tentu saja. Ingat, tempat duduk ya. Bukan berdiri! (Berdiri dalam bus tidak aman).  
Kadang kereta api bisa sangat mencintai bus
Percaya deh, posisi di tengah badan bus adalah posisi paling aman. Bahkan dalam worst case scenario sekalipun—Kecelakaan! Kalau Kamu memperhatikan bekas bus-bus yang remuk sehabis tabrakan, Kamu akan menjumpai banyak kesamaan, bagian yang hancur parah adalah ‘moncong’ dan ‘pantat’ bus. Banyak kecelakaan terjadi dari arah depan, depan, depan, dan ada yang dari belakang. Penyebabnya berragam, tapi biasanya kombinasi antara kecepatan perputaran roda (baca: ugal-ugalan) dan kebutuhan sopirnya untuk tidur (alias ngantuk). Kecuali bus yang Kamu tumpangi berhenti—melintangi rel kereta, yang memungkinkan bagian tengah berubah rawan, terancam dikiss bye bye kereta. Posisi tengah tetap yang teraman walau sayang tak nyaman buat sebagian dari penumpang. Kenapa? Ini alasannya.
“Terus gimana saya harus melewati masa suram mabuk perjalanan?” (Ini pendapat penumpang yang tidak mau jauh-jauh dari jendela, kaca depan terutama). Padahal bagian tengah adalah bagian bus paling stabil tiap bus yang panjang itu menikung. Sudut perputarannya tidak sebanyak yang ada di depan atau belakang.
it's the aftermath dude
Anyway, jika takut mabuk urusannya. Kan ada obat tidur perjalanan (alias Antimo) yang senantiasa bikin nyenyak, melupakan beratnya medan tempuh. Kalo nggak ada ya bisa pake CTM, efeknya sama kok (citation needed, especially from doctor) He he. Dilemanya adalah tidur TERLALU PULAS dalam perjalanan dapat berdampak negatif. Selain rasa lemas, obat ‘tidur’ini menurunkan kewaspadaanmu akan tangan-tangan nakal yang mengincar barang bawaan. Efek bingung ketika bangun tiba-tiba dari tidur TERLALU lelap sangat tidak menyenangkan, tidak saja buatmu juga buat penumpang di sebelahmu. Reaksi telat dari kecelakaan yang terjadi bisa juga disebabkan dari tidur terlalu lelap ini.
Tempat yang dianggap aman lainnya sekaligus efektif bagi pencegah puyeng-mual adalah deret kuris depan tepat di belakang sopir. Kamu masih dapat menikmati pemandangan dari kaca depan, walaupun terhalang sedikit oleh kursi dan badan sang juru mudi. Kamu termasuk beruntung kalo dia tidak merokok di dalam bus ber- AC yang Kamu tumpangi. Keuntungan lain, posisi sopir yang ada di sebelah kanan bus bisa membawa berkah tersendiri bagi penumpang di belakangnya. Kok bisa? Baca terus untuk tahu bagaimana.
Penumpang di bagian ini juga cukup mudah meloloskan diri, bila terjadi apa-apa, cukup lewat pintu sopir (tentunya setelah si sopir keluar duluan). Penumpang pasti mengincar pintu depan untuk melarikan diri. Setidaknya bila terjadi kecelakaan sopirnya dulu yang kena akibatnya. Dia akan menjadi tameng hidup buatmu. Puas?
Ilustrasi kelecakaan (amit-amit) bus yang kamu naiki
Kamu jelas juga tidak akan mau duduk di bagian depan sebelah kiri paling dekat dengan pintu, sebab bagian ini adalah yang paling rawan. Lihat ilustrasi di atas! Memang sih dengan posisi terdepan ini Kamu akan disuguhkan langsung pada ‘layar’ lebar kaca depan bus, pemandangan 3D real time everytime siap dinikmati. Bisa melihat ke depan—ke arah bus berjalan turut memberi sensasi antimual. Tapi beberapa bus tidak selamanya menayangkan pemandangan yang indah-indah amat dari layar lebar ini, selebihnya serasa mirip naik halilintar di Dufan (dengan kecepatan 5x lipat!). Kadang bisa lebih mengerikan dari film-filmnya Alm. Suzanna (dan juga lagu aneh berjudul sama), perkecualian bagi yang doyan sport jantung dan action junkies. Tambahan lagi pintu akan sering dibuka-tutup, paparan angin dingin—kencang, asap karbon dari kendaraan berBBM lain, penumpang sering naik-turun menyumbang aroma mereka yang Nano-Nano rame rasanya justru jadi anti dari antimual.
Banyak pula yang menyatakan bahwa deret kursi belakang adalah yang ternyaman. Bisa melihat ke kaca depan, bisa menatap ujung kepala penumpang lain yang menyembul dari balik kursi. Padahal jika bus ngerem mendadak atau dihajar dari belakang, penumpang di kursi-kursi tersebut akan berhambur ke arah depan , tanpa ada penahan. Alasan lain adalah lekatnya letak toilet. Itu alamat semerbak wangi khas cairan produk manusia dan bau karbol menyesakkan bakal terendus sepanjang mesin menderu. Jangan lupa, pintu belakang punya alasan yang sama bagimu dengan pintu depan untuk berkata “Tidak” pada deret belakang.
Serta, ingatlah untuk bijaksana memilih perusahaan bus. Hindari yang memiliki reputasi mengenaskan. Andai dianalogikan seperti individu emang sih cuma segelintir perusahaan bus yang akan dapat SKCK dari pak Polisi dengan mudah. Tapi kan kenyataannya sejumlah perusahaan bus di dan ter-kenal sebagai bus menuju neraka.
Tugas Kamu adalah banyaklah bertanya pada veteran-veteran penggemar bus, bus mana saja yang memperlakukan penumpangnya macam tabung gas melon 3kg yang suka dismackdown oleh agen penyalurnya DAN bus mana yang betul-betul-betul mengayomi penumpangnya (Mengayomi..?). JANGAN tanya para newbies (Maksudnya yang jarang naik bus, kesan mereka pasti beda-sorry). Kalau beruntung mungkin saja Kamu bisa bertatap dengan para survivor yang lolos dari kejadian horor dalam bus, lalu berbagi kisah traumatis hingga Kamu juga ikut trauma sepanjang hidup tanpa pernah mengalami insidennya langsung. Ingat juga rego nggowo rupo (harga sesuai dengan servisnya). Kamu nggak mau kan dapat bayar murah tapi cuma untuk menyetor nyawa? Kecuali memang takdir.
Jino Jiwan untuk Bebas Ngetik

0 komentar:

Klisenya Mudik

10.43.00 jino jiwan 1 Comments

-->
Musim mudik dan tentu saja arus baliknya nanti berita di surat kabar, radio, internet, dan (terutama) televisi lokal apalagi nasional jadi terlampau sering menyebut nama Cikampek, Kanci, dan Nagreg. Seolah tak ada lokasi lain di wilayah Indonesia yang layak diberi porsi setara. Padahal inti berita di ruas-ruas jalan tersebut juga begitu-begitu saja tiap tahunnya. Tiap saat macet, macet , dan macet, jalanan penuh mobil roda empat dan bis umum, buka-tutup pengalihan arus plus pasar tumpah. Paling jauh ya seputar laka lintas atau pemudik yang dibius. Cerita klasik nan basi yang berulang menjelang hari H dan sesudahnya.
Ketidak sigapan pemerintah menyelesaikan jalan anti macet maupun sarana memperlancar perjalanan tepat waktu, kurangnya sosialisasi tentang jalur-jalur alternatif, dan melimpahnya kendaraan roda empat atau lebih berbondong-bondong melengangkan Jakarta. Hanya segelintir pemicu kisah basi ini.
Dominasi laporan lalu lintas di pantura dan lintas selatan Pulau Jawa ini jelas hanya menarik bagi mereka yang punya kepentingan di dalamnya. Pertama, buat mereka YANG memang AKAN mudik ke daerah Jawa Tengah-Jawa Timur melewati satu atau malah keduanya. Ya! Jelas mereka butuh info yang akurat bagaimana keadaan jalan yang akan dilalui. Bakal tersendatkah atau lancar? Malah barangkali perlu bijak menentukan lagi waktu yang tepat untuk mudik? Untuk itu, berterima kasihlah pada kecanggihan teknologi. Sayang, bagi yang sudah terlanjur terjebak kemacetan, info sebaik apapun dari televisi atau surat kabar tidak akan berarti banyak, selain fakta bahwa mereka kini justru jadi bagian dari konsumsi publik. Tak ada yang lebih buruk dari stuck in the traffic, sementara mereka jadi bagian darinya, mobil yang dibawa ditonton jutaan orang. Andai bisa nonton televisi pun mungkin ada dari mereka yang kesal sekaligus menyesal. “Knapa juga gw mudik ni hari ya?”, sembari menyalahkan sesama pengguna mobil, sesama pemudik, sesama penghuni Jakarta. Malah mungkin kota tujuannya pun sama. Kesamaan yang tidak merekatkan, solidaritas berkurang, pemenuh jalan kini tidak lebih dari pesaing mereka.
Kedua, keluarga di kampung halaman pemudik. Mereka menanti dan berharap agar pemudik baik-baik saja, tak ada berita laka lintas. Bila ada pun juga berharap tidak menimpa keluarganya yang ikut arus mudik/balik itu.
Mungkin bagi sebagian orang berita macam ini masih menarik. Namun coba bayangkan bagi orang yang tidak berkepentingan dengan cerita Cikampek, Kanci, dan Nagreg. Emangnya berita arus mudik/balik cuma buat warga Jakarta yang pulang ke Jawa saja? “Apa urusannya berita jalanan macet di sono denganku?” kata mereka yang mudik di dan ke luar Jawa. Misal yang harus menyebrangi Laut Sawu yang galak di NTT, atau yang mudik dari Surabaya ke Ambon, atau orang Makassar menuju Manado, Pontianak ke Banjarmasin, Palembang ke Aceh dan wilayah Sumatera lainnya, atau malah wilayah Papua yang terdengar masih asing. Apa mereka tidak disebut mudik? Apa mereka di berada bawah radar pantauan awak media lokal/nasional? Apa karena mereka minoritas? Karena terlalu sedikit, maka tidak begitu layak tayang, paling yang nonton juga sedikit, dan bila yang nonton sedikit, iklan/sponsor yang masuk juga sedikit. Sepertinya jadi soal uang ya? Wajar sih, bukankah awak media harus membiayai kru mereka berburu berita? Biaya terbesar tentu di dapat dari pengiklan.
Padahal sebenarnya tak sedikit pula yang penasaran seperti apa suasana mudik/balik di luar Jawa. Meski bukan berarti liputan mudik/balik di luar Jawa tidak ada sama sekali, hanya saja jumlahnya bisa disimpulkan sangat minim, berbanding jauh dengan pemberitaan di Jawa. Rasanya perlu ada peningkatan perhatian lebih dan berimbang jika pemerintah terkesan pelan dalam memberi pelayanan/fasilitas transportasi yang prima, awak media bisa segera memulai mengeksposnya pun perusahaan penyeponsor demi membuka mata nusantara akan kenyataan di luar sana. Tidak setara rasanya meratakan Indonesia dengan hanya mengutamakan Pulau Jawa yang selalu begitu saja tiap tahun: macet, macet, dan macet (lagi). Cikampek, Kanci, dan Nagreg (lagi).
Jino Jiwan untuk Bebas Ngetik

1 komentar:

Senam Gemulai para Bender

14.30.00 jino jiwan 1 Comments


-->

Apa yang membuat serial animasi Avatar: The Legend of Aang (ATLA) begitu menarik? Keunikan konsepnyakah? Atau unsur surprisenya? Karena saat ditayangkan pertama kali tak seorang pun menduga jika animasi dengan pendekatan gaya asia timur ini nyatanya dibuat oleh orang bule?
Tak diragukan lagi ATLA karya Aaron Ehasz, Bryan Konietzko, dan Michael Dante DiMartino ini segera menjadi gelombang fenomena masal yang merasuki tiap orang hingga layak rasanya bila ATLA menjadi legenda yang layak dikenang untuk selamanya. Tidak hanya orang Asia (dengan budaya klasiknya menginspirasi ATLA)—yang mengaguminya tapi juga mereka orang Amerika sendiri yang jauh dari kehidupan orang Asia. Tak ketinggalan anak-anak bahkan orang dewasa di Indonesia pun menikmatinya (Itu bisa dilihat dari pengaruh gaya ATLA dari sejumlah iklan produk makanan di tv nasional kita—atau gambar-gambar di kaos untuk anak-anak). Hollywood seperti biasa, selalu sanggup mengendus potensi melipatkan pundi-pundi mereka dari apapun yang punya fans base besar. Jika fans nya banyak, tidak ada salahnya untuk dicoba. Jadi tak heran ketika rumor ATLA akan dibuat versi live actionnya oleh Hollywood, sudah banyak pihak yang menanti, walau tak sedikit juga yang menyayangkan.
Perasaan fans sejati ATLA semakin campur baur ketika M. Night Shyamalan ditunjuk sebagai nahkoda film yang berseting di dunia alternatif itu. Sineas keturunan India yang sinarnya tengah meredup ini—yang belum mampu bangkit lagi sejak film terakhirnya Lady in The Water ambruk dicerca pasar, tentu saja cepat mengiyakan. Baginya ATLA versi layar lebar bagai batu loncatan untuk kembali meraih gelar suradara berkelas. Tapi apakah ia mampu mewujudkan salah satu serial animasi terbaik sepanjang masa ke layar lebar?
Protes ‘segelintir’ penggemar serial aslinya tak digubris, sementara harapan sebagian lainnya tetap terpelihara. Hingga akhirnya “The Last Air Bender” (TLAB) pun hadir dari rencana trilogi (sama seperti animasinya), judul ini dipilih demi menghindari kesamaan judul dan kerancuan dengan Avatar-nya James Cameron yang dirilis akhir 2009 lalu. Film dibuka dengan perkenalan empat elemen, sekilas mirip seperti animasinya, dalam gaya yang agak-kurang begitu elegan, lemah dan tidak berenergi. Plotnya secara garis besar sama seperti season pertama ATLA, Book One: Water dengan tambal sulam disini-sana dengan kisah yang dipercepat.
Diceritakan dua bersaudara suku air selatan, Sokka (Jackson Rathbone) dan Katara (Nicola Peltz) secara tidak sengaja menemukan Aang (dalam film dilafalkan Ang bukannya Eng), pengendali udara terakhir-sang avatar, diperankan oleh Noah Ringer. Mereka lalu bersama-sama memulai pemberontakan terhadap negara api kemudian membantu suku air utara menghadapi serangan negara api sambil menghindari kejaran Zuko (Dev Patel) yang ingin menangkap Sang Avatar demi mengembalikan harga dirinya.
Nyaris semua interaksi antar karakter dimanfaatkan oleh Shyamalan yang serakahnya sekaligus merangkap scriptwriter untuk memperkenalkan latar belakang tiap karakter habis-habisan. Akibatnya dialog terkesan kurang natural, lebih mirip orang yang sedang bertutur pada penonton. Hal ini bisa dimaklumi, memampatkan keseluruhan season Book One : Water dalam satu kali film berdurasi kurang dari 2 jam, memang bukan hal yang mudah dilakukan pembuat film manapun. Akibatnya banyak peristiwa penting yang dihilangkan dalam versi film. Belum lagi resiko jalannya cerita yang jangankan penonton awam, penggemarnya sekalipun bakal sulit memahami.
Soal efek spesial demi mendukung ‘skill’ semua karakternya dalam mengendalikan berbagai elemen alam tak perlu diragukan. Sebagaimana semua film modern produksi Hollywood lainnya efek spesial selalu menjadi suguhan utama yang mungkin jauh lebih membekas dari pada kisahnya sendiri. Mata akan dimanjakan dengan efek spesial (terutama menjelang akhir), meski tidak perlu terlalu sumringah menyaksikannya, karena masuk kategori biasa saja.
India: Fire Benders origin?
Satu yang cukup mengganggu adalah pergantian ras para pemainnya. Jika mengganti satu karakter penting dengan wajah yang ‘lebih mudah diterima’ barat buat sang tokoh utama dianggap belum cukup maka mengganti ras bagi keseluruhan peran secara radikal di dalamnya dianggap suatu keharusan.
Fans bertanya-tanya, sekaligus penasaran heran kenapa Dev Patel (Slumdog Millionare) yang punya wajah Asia, sehingga justru lebih cocok memerankan karakter Sokka malah kebagian peran sebagai Prince Zuko? Yang dalam ATLA malah ber-etnis China. Salah kasting kah? Nah, sosok bergaris wajah India ini pula yang membuat pemilihan seluruh barisan cast untuk angota Fire Nation terasa dipaksakan (karena harus menyesuaikan semua). Dimulai dari sosok Iroh (Shaun Toub), paman Zuko yang gak begitu ‘nyambung’ dengan keponakannya. Hingga ayah Zuko, Ozai raja negara api, yang berhubung Zuko-nya diperankan aktor India, maka ayahnya pun juga harus punya tampang ‘India’.
Rasanya tidak heran kalau Dev Patel, yang bukan kebetulan berasal dari negeri yang sama dengan si sutradara diplot jadi Zuko. Namun uniknya, performa yang paling lumayan malah jadi milik dia (meski tidak dominan) setidaknya jika dibanding lainnya. Ia mampu menampilkan emosi sang pangeran terbuang yang resah gulana berkaitan identitas dan tugasnya. Dari versi aslinya sendiri karakter Zuko memang yang paling unik sepanjang serial dan perannya cukup sentral. Selain karakter Sokka tentu, yang anehnya dalam film malah dibuat terlampau serius dan kaku. Padahal dalam serial animasi ATLA, Sokka adalah sosok dengan tingkah konyol-konyol idiot sekaligus cerdik.
Iroh pun tak luput dari perombakan, dari sosok yang bijak dan sangunis. Ia berubah jadi orang yang tidak jelas posisinya. Dan entah kenapa Fire Lord Ozai (Cliff Curtis) tidak terlihat meyakinkan sebagai seorang raja yang berkuasa, kejam dan, magalomaniak. Penampilannya berbeda jauh dengan Ozai versi animasi ATLA yang berkesan lebih angker. Bukankah lebih baik jika raja api ini tidak perlu ditampilkan lebih dulu supaya rasa penasaran penonton terbayar di sekuel selanjutnya?
Keseluruhan karakter yang diperankan bintang-bintang baru tampak kurang greget—kurang mantap. Cara mereka mengendalikan elemen yang mereka kuasai malah terlihat menggelikan sekaligus meragukan. Gerakan-gerakan mereka terkesan amat lembut, lambat, terlalu gemulai kurang gairah, hingga malah mirip orang yang sedang senam tai chi dengan efek pengendalian elemen (entah itu udara, air, tanah, dan api) yang begitu datar. Mungkinkah ini disengaja karena diceritakan bahwa mereka belum begitu mahir? Atau memang untuk lebih menekankan adegan laga akhir?
Usaha Shyamalan mencegah kemonotonan dengan menampilkan humor sayangnya berujung pada garingnya situasi, kelucuan yang amat mudah tertebak. Lemahnya pernokohan tampaknya memang telah dirancang dari awal demi menarik kalangan audiens yang lebih beragam. Bukankah penggemar ATLA terutama remaja dan anak-anak? Yang hampir pasti mengajak orangtua mereka. Sehingga kesan menghindari kompleksitas amat terasa. Apalagi premisnya juga simpel: Yang putih (kebaikan) akan selalu menang melawan hitam (kejahatan).
Maka seperti karya adaptasi kebanyakan, entah dari novel, komik, video game, serial televisi, atau animasi populer. Hasilnya akan selalu mengecewakan pihak fans, bahkan bagi yang sudah expect less sekalipun. Beruntunglah bagi yang belum menonton animasi aslinya. Tentu mereka bakal menemukan TLAB sebagai tayangan yang menghibur dan tidak tampil buruk-buruk amat. Yang dapat diharapkan para fans tentunya akan ada perbaikan lubang-lubang tersebut andai sekuel “Book 2: Earth” benar-benar akan dibuat, mungkin dengan perubahan sutradara dan scriptwriter baru yang lebih mampu melakukan eksplorasi kisah secara matang. Ya…siapa tahu.
Oh ya kalau anda cermat, akan ada penampakan ikon pariwisata kita yang sedang gencar dipromosikan menjadi keajaiban dunia yang baru itu.
Bending-o-meter: 5/10
Oleh Jino Jiwan untuk Bebas Ngetik

1 komentar:

Astaghfirullah, Sinetron!

15.44.00 jino jiwan 2 Comments


Ah, tahu-tahu sudah bulan puasa. Badan lemes, ngapa-ngapain juga males. Mending nonton tv aja, dari pada kebayang-bayang sang kekasih mulu, ntar malah batal puasanya. Hari gini tv swasta tentu saja akan berlomba-lomba menayangkan tayangan-tayangan penyejuk iman penambah taqwa…kan? Mereka tentu ingin mengawal kita menempuh bulan penuh barokah dengan selamat dan sukses…kan?

Oke…coba kita lihat di tv ada apaan. Ah ada tayangan rohani jelang berbuka…tapi kok elo lagi elo lagi ya? Trus (masih) ada juga acara lawakan sahur yang jayus plus kuis nih. Dan tentu saja tidak ketinggalan ada juga sinetron-sinetron spesial seperti…ya seperti biasanya lah sama kaya bulan Romadhon kemaren-kemarennya. Mulainya beberapa hari sebelum Romadhon dan selesainya bisa sekian hari setelah lebaran. Setiap hari loh itu!

Bosen sama yang terakhir? Wah jangan dulu deh. Yuk kita tonton bareng buat menemukan asyiknya di mana.
Tahu nggak apa yang membedakan sinetron Romadhon dangan sinetron reguler yang menjejali prime time tiap malam?

Pertama. Pemerannya, aktor & aktris berkulit cerah berwajah indo itu, terutama sang protagonis akan selalu memakai atribut religius, yang cowo pake peci dan baju koko, sementara yang cewe bakal pake jilbab pada semua scene, di tiap saat dan tiap waktu. Ya mungkin gak setiap saat, tapi dalam kondisi ekstrim yang sangat dipaksakan (tergantung tuntutan cerita dan PH bersangkutan) ini akan sangat terlihat dengan jelas.

Kedua. Para protagonis akan lebih sering mengucap special words dari pada sinetron reguler. “Astaghfirullah” atau “Alhamdulillah” adalah contoh yang akan sering sekali terdengar, tergantung konteksnya. Si orang baik akan mengucap “Astaghfirullah” ketika diusili oelh si jahat. Dan tentu sulit berharap si tokoh baik mengucap “Alhamdulillah” saat dikabari bahwa si jahat yang usil itu kecelakaan. Kan mereka orang baik to? Sebaliknya si jahat tidak akan mau mengucapkannya sedikitpun. Kecuali di episode akhir saat akan tobat (kalo sempet).

Cerita? Tidak usah terlalu dipikirkan. Sama saja kok sebenarnya dengan sinetron-sinetron reguler, cuma seting waktunya saja yang berubah jadi lebih agamis. Di mana ada orang yang kelewat baik (pasti jadi protagonis) dihadapkan dengan orang super jahat (jelas jadi antagonis). Ending? Orang baiknya akan menang setelah susah payah dan si penjahat pun akan dimaafkan dengan mudahnya oleh si orang baik, tapi belum tentu akan bertobat. Soalnya kisahnya Insya Allah akan diteruskan Romadhon tahun depan.

Kebanyakan dari kita begitu terlena dan sekedar hanyut saja dalam pusaran cerita. Padahal ada cara yang lebih menarik. Misalnya, gimana kalo iseng-iseng ngitungin berapa kali seluruh karakter dalam sinetron mengucap dua special words tadi lalu bandingkan lebih banyak mana ucapan special words yang diucapkan oleh aktor dan aktris dalam satu episode dengan yang diucapkan oleh diri kita sendiri dalam sehari. Hayo banyakan mana? Masa kalah sama karakter-karakter sinetron yang jelas fiktif itu? Ingat, ini bulan penuh barokah loh.
Diketik Jino Jiwan buat Bebas Ngetik
Selasa & Kamis, 3 & 5 Agustus 2010

2 komentar:

Langkah Awal Untuk Bangkit

15.42.00 jino jiwan 0 Comments

Boleh dibilang dunia sepak bola Indonesia saat ini sedang memulai langkah awalnya untuk (kembali) bangkit berdiri. Setelah melewati satu dasawarsa akhir yang memilukan dan memalukan, kerontang prestasi dan hanya bisa bermimpi meraih gelar internasional bergengsi.


Bukan rahasia lagi bahwa sepak bola adalah olahraga favorit buat mayoritas rakyat di bumi Indonesia. Sehat untuk dimainkan dan nikmat pula untuk disaksikan. Bahkan kita boleh bangga dengan liga sepak bola nasional yang kasta tertingginya sekarang bernama Liga Super itu. Dimana dulunya hampir di setiap pertandingan kerap dijumpai hawa fanatisme dan anarki yang nyaris selalu berujung tawuran, sekarang sudah berubah jadi tayangan profesional bermutu berrating tinggi.


Di tengah kerinduan akan gelar internasional dan keras kepalanya petinggi PSSI, muncul harapan baru yang ditabur pemerintah. Dalam hal ini melalui Mentri Pemuda dan Olahraga kita Andi Mallarangeng yang terlihat serius memperbaiki pencapaian tim nas. Diawali dari keluarnya rekomendasi untuk me’reformasi’ PSSI dalam Kongres Sepak Bola Nasional yang diprakarsai olehnya. Ia kemudian menjajaki kemungkinan Fatih Terim, pelatih asal Turki memanajeri tim nas. Fatih Terim sempat diundang untuk berkunjung lebih dulu ke Indonesia. Walau akhirnya Terim batal berkunjung.


Belum cukup di situ, Andi juga menjajaki kerja sama dengan Malaysia untuk menjadi tuan rumah bersama pada Piala Dunia FIFA tahun 2026. Setelah FIFA resmi mencoret Indonesia dari bidding resmi tuan rumah Piala Dunia 2022, karena FIFA menilai PSSI tidak didukung oleh pemerintah. Padahal ini adalah syarat mutlak yang diterapkan FIFA pada negara peserta bidding. Rentang waktu yang cukup panjang, selain demi mematangkan segala persiapan, sekaligus untuk memperbaiki pamor Indonesia setidaknya di tingkat Asia Tenggara. Walau FIFA sendiri telah membuat pernyataan bahwa biaya yang membengkak saat Piala Dunia Jepang-Korea Selatan 2002 menjadi faktor pertimbangan FIFA untuk menolak opsi tuan rumah bersama Piala Dunia.


Jangan lupakan juga langkah naturalisasi oleh PSSI lewat tiga pemain keturunan berdarah Indonesia; Irfan Bachdim, Alessandro Trabucco, dan Kim Jeffrey Kurniawan. Apakah ini sebuah langkah instan karena putus asa? Mari kita lihat nanti untuk mengetahuinya. Pemain-pemain ini punya banyak waktu untuk membuktikan kualitas mereka. Singapura yang miskin SDM sudah lama melakukan kebijakan ini dan terbukti sukses.


Semua itu tentu saja masih langkah awal yang masih wajib disusul langkah konkrit selanjutnya. Bagaimanapun, tim nas sepak bola kita pernah dianggap macannya sepak bola Asia. Meski saat ini terpuruk jauh dari Vietnam dan Singapura bahkan Malaysia. Jangan dulu dibandingkan dengan Thailand yang telah lebih dulu mandiri sebagai tim yang ditakuti. Idealnya tidak sulit memang untuk menemukan amunisi muda berbakat di antara 240 juta penduduk Indonesia untuk menyegarkan wajah tim nas kebanggan kita untuk hari ini dan masa datang.

Diketik Jino Jiwan di Kamar Warna,

Untuk Bebas Ngetik: Kamis, 5 Agustus 2010

0 komentar: