Posisi Paling Pas Dalam Rongga Bus (Tips Naik Bus)

18.29.00 jino jiwan 0 Comments


Bus tampaknya masih jadi moda transportasi favorit nan handal bagi orang yang akan bepergian. Jarak menengah maupun jauh apalagi mereka yang dalam jumlah massal seperti rombongan wisata, mudik, dan arus balik. Entah lintas AKDP atau pun AKAP, AC-Non AC, Eksekutif-Ekonomis. Pun bagi yang ingin menghindari perjalanan udara, baik yang antipati dengan harganya yang ikut mengangkasa juga keribetan khas ala lanud. Maupun buat yang trauma dan paranoid dengan take off dan landing pesawat, karena bagi sebagian orang pengalaman satu ini bisa terasa menakutkan. Tapi mungkin saja karena nggak ada alternatif transportasi lain. Ya, sayang sekali pintu ajaib Doraemony tidak pernah benar-benar ada di dunia. So here it comes the bus.
Berhubung jalannya bus tersayang itu di atas daratan, yang kita tahu sendiri, jalanan protokol apalagi jalur alternatif made in pemerintah tidak semulus pipi Sherinna, tidak selembut wajah Sandra Dewi, tidak seteduh wajah Zaskia A. Mecca (Hayah…). Belum lagi faktor durasi perjalanan soalnya sedikit-sedikit harus distop lampu lalin dan persaingan antar sesama manusia menuh-menuhin jalan yang bikin chaos in the street. JADI akan lebih berkurang kemudharatannya bila para penggemar bus benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin demi kenyamanan. Nah, salah satunya adalah pemilihan lokasi tempat duduk yang aman tentu saja. Ingat, tempat duduk ya. Bukan berdiri! (Berdiri dalam bus tidak aman).  
Kadang kereta api bisa sangat mencintai bus
Percaya deh, posisi di tengah badan bus adalah posisi paling aman. Bahkan dalam worst case scenario sekalipun—Kecelakaan! Kalau Kamu memperhatikan bekas bus-bus yang remuk sehabis tabrakan, Kamu akan menjumpai banyak kesamaan, bagian yang hancur parah adalah ‘moncong’ dan ‘pantat’ bus. Banyak kecelakaan terjadi dari arah depan, depan, depan, dan ada yang dari belakang. Penyebabnya berragam, tapi biasanya kombinasi antara kecepatan perputaran roda (baca: ugal-ugalan) dan kebutuhan sopirnya untuk tidur (alias ngantuk). Kecuali bus yang Kamu tumpangi berhenti—melintangi rel kereta, yang memungkinkan bagian tengah berubah rawan, terancam dikiss bye bye kereta. Posisi tengah tetap yang teraman walau sayang tak nyaman buat sebagian dari penumpang. Kenapa? Ini alasannya.
“Terus gimana saya harus melewati masa suram mabuk perjalanan?” (Ini pendapat penumpang yang tidak mau jauh-jauh dari jendela, kaca depan terutama). Padahal bagian tengah adalah bagian bus paling stabil tiap bus yang panjang itu menikung. Sudut perputarannya tidak sebanyak yang ada di depan atau belakang.
it's the aftermath dude
Anyway, jika takut mabuk urusannya. Kan ada obat tidur perjalanan (alias Antimo) yang senantiasa bikin nyenyak, melupakan beratnya medan tempuh. Kalo nggak ada ya bisa pake CTM, efeknya sama kok (citation needed, especially from doctor) He he. Dilemanya adalah tidur TERLALU PULAS dalam perjalanan dapat berdampak negatif. Selain rasa lemas, obat ‘tidur’ini menurunkan kewaspadaanmu akan tangan-tangan nakal yang mengincar barang bawaan. Efek bingung ketika bangun tiba-tiba dari tidur TERLALU lelap sangat tidak menyenangkan, tidak saja buatmu juga buat penumpang di sebelahmu. Reaksi telat dari kecelakaan yang terjadi bisa juga disebabkan dari tidur terlalu lelap ini.
Tempat yang dianggap aman lainnya sekaligus efektif bagi pencegah puyeng-mual adalah deret kuris depan tepat di belakang sopir. Kamu masih dapat menikmati pemandangan dari kaca depan, walaupun terhalang sedikit oleh kursi dan badan sang juru mudi. Kamu termasuk beruntung kalo dia tidak merokok di dalam bus ber- AC yang Kamu tumpangi. Keuntungan lain, posisi sopir yang ada di sebelah kanan bus bisa membawa berkah tersendiri bagi penumpang di belakangnya. Kok bisa? Baca terus untuk tahu bagaimana.
Penumpang di bagian ini juga cukup mudah meloloskan diri, bila terjadi apa-apa, cukup lewat pintu sopir (tentunya setelah si sopir keluar duluan). Penumpang pasti mengincar pintu depan untuk melarikan diri. Setidaknya bila terjadi kecelakaan sopirnya dulu yang kena akibatnya. Dia akan menjadi tameng hidup buatmu. Puas?
Ilustrasi kelecakaan (amit-amit) bus yang kamu naiki
Kamu jelas juga tidak akan mau duduk di bagian depan sebelah kiri paling dekat dengan pintu, sebab bagian ini adalah yang paling rawan. Lihat ilustrasi di atas! Memang sih dengan posisi terdepan ini Kamu akan disuguhkan langsung pada ‘layar’ lebar kaca depan bus, pemandangan 3D real time everytime siap dinikmati. Bisa melihat ke depan—ke arah bus berjalan turut memberi sensasi antimual. Tapi beberapa bus tidak selamanya menayangkan pemandangan yang indah-indah amat dari layar lebar ini, selebihnya serasa mirip naik halilintar di Dufan (dengan kecepatan 5x lipat!). Kadang bisa lebih mengerikan dari film-filmnya Alm. Suzanna (dan juga lagu aneh berjudul sama), perkecualian bagi yang doyan sport jantung dan action junkies. Tambahan lagi pintu akan sering dibuka-tutup, paparan angin dingin—kencang, asap karbon dari kendaraan berBBM lain, penumpang sering naik-turun menyumbang aroma mereka yang Nano-Nano rame rasanya justru jadi anti dari antimual.
Banyak pula yang menyatakan bahwa deret kursi belakang adalah yang ternyaman. Bisa melihat ke kaca depan, bisa menatap ujung kepala penumpang lain yang menyembul dari balik kursi. Padahal jika bus ngerem mendadak atau dihajar dari belakang, penumpang di kursi-kursi tersebut akan berhambur ke arah depan , tanpa ada penahan. Alasan lain adalah lekatnya letak toilet. Itu alamat semerbak wangi khas cairan produk manusia dan bau karbol menyesakkan bakal terendus sepanjang mesin menderu. Jangan lupa, pintu belakang punya alasan yang sama bagimu dengan pintu depan untuk berkata “Tidak” pada deret belakang.
Serta, ingatlah untuk bijaksana memilih perusahaan bus. Hindari yang memiliki reputasi mengenaskan. Andai dianalogikan seperti individu emang sih cuma segelintir perusahaan bus yang akan dapat SKCK dari pak Polisi dengan mudah. Tapi kan kenyataannya sejumlah perusahaan bus di dan ter-kenal sebagai bus menuju neraka.
Tugas Kamu adalah banyaklah bertanya pada veteran-veteran penggemar bus, bus mana saja yang memperlakukan penumpangnya macam tabung gas melon 3kg yang suka dismackdown oleh agen penyalurnya DAN bus mana yang betul-betul-betul mengayomi penumpangnya (Mengayomi..?). JANGAN tanya para newbies (Maksudnya yang jarang naik bus, kesan mereka pasti beda-sorry). Kalau beruntung mungkin saja Kamu bisa bertatap dengan para survivor yang lolos dari kejadian horor dalam bus, lalu berbagi kisah traumatis hingga Kamu juga ikut trauma sepanjang hidup tanpa pernah mengalami insidennya langsung. Ingat juga rego nggowo rupo (harga sesuai dengan servisnya). Kamu nggak mau kan dapat bayar murah tapi cuma untuk menyetor nyawa? Kecuali memang takdir.
Jino Jiwan untuk Bebas Ngetik

0 komentar:

Klisenya Mudik

10.43.00 jino jiwan 1 Comments

-->
Musim mudik dan tentu saja arus baliknya nanti berita di surat kabar, radio, internet, dan (terutama) televisi lokal apalagi nasional jadi terlampau sering menyebut nama Cikampek, Kanci, dan Nagreg. Seolah tak ada lokasi lain di wilayah Indonesia yang layak diberi porsi setara. Padahal inti berita di ruas-ruas jalan tersebut juga begitu-begitu saja tiap tahunnya. Tiap saat macet, macet , dan macet, jalanan penuh mobil roda empat dan bis umum, buka-tutup pengalihan arus plus pasar tumpah. Paling jauh ya seputar laka lintas atau pemudik yang dibius. Cerita klasik nan basi yang berulang menjelang hari H dan sesudahnya.
Ketidak sigapan pemerintah menyelesaikan jalan anti macet maupun sarana memperlancar perjalanan tepat waktu, kurangnya sosialisasi tentang jalur-jalur alternatif, dan melimpahnya kendaraan roda empat atau lebih berbondong-bondong melengangkan Jakarta. Hanya segelintir pemicu kisah basi ini.
Dominasi laporan lalu lintas di pantura dan lintas selatan Pulau Jawa ini jelas hanya menarik bagi mereka yang punya kepentingan di dalamnya. Pertama, buat mereka YANG memang AKAN mudik ke daerah Jawa Tengah-Jawa Timur melewati satu atau malah keduanya. Ya! Jelas mereka butuh info yang akurat bagaimana keadaan jalan yang akan dilalui. Bakal tersendatkah atau lancar? Malah barangkali perlu bijak menentukan lagi waktu yang tepat untuk mudik? Untuk itu, berterima kasihlah pada kecanggihan teknologi. Sayang, bagi yang sudah terlanjur terjebak kemacetan, info sebaik apapun dari televisi atau surat kabar tidak akan berarti banyak, selain fakta bahwa mereka kini justru jadi bagian dari konsumsi publik. Tak ada yang lebih buruk dari stuck in the traffic, sementara mereka jadi bagian darinya, mobil yang dibawa ditonton jutaan orang. Andai bisa nonton televisi pun mungkin ada dari mereka yang kesal sekaligus menyesal. “Knapa juga gw mudik ni hari ya?”, sembari menyalahkan sesama pengguna mobil, sesama pemudik, sesama penghuni Jakarta. Malah mungkin kota tujuannya pun sama. Kesamaan yang tidak merekatkan, solidaritas berkurang, pemenuh jalan kini tidak lebih dari pesaing mereka.
Kedua, keluarga di kampung halaman pemudik. Mereka menanti dan berharap agar pemudik baik-baik saja, tak ada berita laka lintas. Bila ada pun juga berharap tidak menimpa keluarganya yang ikut arus mudik/balik itu.
Mungkin bagi sebagian orang berita macam ini masih menarik. Namun coba bayangkan bagi orang yang tidak berkepentingan dengan cerita Cikampek, Kanci, dan Nagreg. Emangnya berita arus mudik/balik cuma buat warga Jakarta yang pulang ke Jawa saja? “Apa urusannya berita jalanan macet di sono denganku?” kata mereka yang mudik di dan ke luar Jawa. Misal yang harus menyebrangi Laut Sawu yang galak di NTT, atau yang mudik dari Surabaya ke Ambon, atau orang Makassar menuju Manado, Pontianak ke Banjarmasin, Palembang ke Aceh dan wilayah Sumatera lainnya, atau malah wilayah Papua yang terdengar masih asing. Apa mereka tidak disebut mudik? Apa mereka di berada bawah radar pantauan awak media lokal/nasional? Apa karena mereka minoritas? Karena terlalu sedikit, maka tidak begitu layak tayang, paling yang nonton juga sedikit, dan bila yang nonton sedikit, iklan/sponsor yang masuk juga sedikit. Sepertinya jadi soal uang ya? Wajar sih, bukankah awak media harus membiayai kru mereka berburu berita? Biaya terbesar tentu di dapat dari pengiklan.
Padahal sebenarnya tak sedikit pula yang penasaran seperti apa suasana mudik/balik di luar Jawa. Meski bukan berarti liputan mudik/balik di luar Jawa tidak ada sama sekali, hanya saja jumlahnya bisa disimpulkan sangat minim, berbanding jauh dengan pemberitaan di Jawa. Rasanya perlu ada peningkatan perhatian lebih dan berimbang jika pemerintah terkesan pelan dalam memberi pelayanan/fasilitas transportasi yang prima, awak media bisa segera memulai mengeksposnya pun perusahaan penyeponsor demi membuka mata nusantara akan kenyataan di luar sana. Tidak setara rasanya meratakan Indonesia dengan hanya mengutamakan Pulau Jawa yang selalu begitu saja tiap tahun: macet, macet, dan macet (lagi). Cikampek, Kanci, dan Nagreg (lagi).
Jino Jiwan untuk Bebas Ngetik

1 komentar:

Senam Gemulai para Bender

14.30.00 jino jiwan 1 Comments


-->

Apa yang membuat serial animasi Avatar: The Legend of Aang (ATLA) begitu menarik? Keunikan konsepnyakah? Atau unsur surprisenya? Karena saat ditayangkan pertama kali tak seorang pun menduga jika animasi dengan pendekatan gaya asia timur ini nyatanya dibuat oleh orang bule?
Tak diragukan lagi ATLA karya Aaron Ehasz, Bryan Konietzko, dan Michael Dante DiMartino ini segera menjadi gelombang fenomena masal yang merasuki tiap orang hingga layak rasanya bila ATLA menjadi legenda yang layak dikenang untuk selamanya. Tidak hanya orang Asia (dengan budaya klasiknya menginspirasi ATLA)—yang mengaguminya tapi juga mereka orang Amerika sendiri yang jauh dari kehidupan orang Asia. Tak ketinggalan anak-anak bahkan orang dewasa di Indonesia pun menikmatinya (Itu bisa dilihat dari pengaruh gaya ATLA dari sejumlah iklan produk makanan di tv nasional kita—atau gambar-gambar di kaos untuk anak-anak). Hollywood seperti biasa, selalu sanggup mengendus potensi melipatkan pundi-pundi mereka dari apapun yang punya fans base besar. Jika fans nya banyak, tidak ada salahnya untuk dicoba. Jadi tak heran ketika rumor ATLA akan dibuat versi live actionnya oleh Hollywood, sudah banyak pihak yang menanti, walau tak sedikit juga yang menyayangkan.
Perasaan fans sejati ATLA semakin campur baur ketika M. Night Shyamalan ditunjuk sebagai nahkoda film yang berseting di dunia alternatif itu. Sineas keturunan India yang sinarnya tengah meredup ini—yang belum mampu bangkit lagi sejak film terakhirnya Lady in The Water ambruk dicerca pasar, tentu saja cepat mengiyakan. Baginya ATLA versi layar lebar bagai batu loncatan untuk kembali meraih gelar suradara berkelas. Tapi apakah ia mampu mewujudkan salah satu serial animasi terbaik sepanjang masa ke layar lebar?
Protes ‘segelintir’ penggemar serial aslinya tak digubris, sementara harapan sebagian lainnya tetap terpelihara. Hingga akhirnya “The Last Air Bender” (TLAB) pun hadir dari rencana trilogi (sama seperti animasinya), judul ini dipilih demi menghindari kesamaan judul dan kerancuan dengan Avatar-nya James Cameron yang dirilis akhir 2009 lalu. Film dibuka dengan perkenalan empat elemen, sekilas mirip seperti animasinya, dalam gaya yang agak-kurang begitu elegan, lemah dan tidak berenergi. Plotnya secara garis besar sama seperti season pertama ATLA, Book One: Water dengan tambal sulam disini-sana dengan kisah yang dipercepat.
Diceritakan dua bersaudara suku air selatan, Sokka (Jackson Rathbone) dan Katara (Nicola Peltz) secara tidak sengaja menemukan Aang (dalam film dilafalkan Ang bukannya Eng), pengendali udara terakhir-sang avatar, diperankan oleh Noah Ringer. Mereka lalu bersama-sama memulai pemberontakan terhadap negara api kemudian membantu suku air utara menghadapi serangan negara api sambil menghindari kejaran Zuko (Dev Patel) yang ingin menangkap Sang Avatar demi mengembalikan harga dirinya.
Nyaris semua interaksi antar karakter dimanfaatkan oleh Shyamalan yang serakahnya sekaligus merangkap scriptwriter untuk memperkenalkan latar belakang tiap karakter habis-habisan. Akibatnya dialog terkesan kurang natural, lebih mirip orang yang sedang bertutur pada penonton. Hal ini bisa dimaklumi, memampatkan keseluruhan season Book One : Water dalam satu kali film berdurasi kurang dari 2 jam, memang bukan hal yang mudah dilakukan pembuat film manapun. Akibatnya banyak peristiwa penting yang dihilangkan dalam versi film. Belum lagi resiko jalannya cerita yang jangankan penonton awam, penggemarnya sekalipun bakal sulit memahami.
Soal efek spesial demi mendukung ‘skill’ semua karakternya dalam mengendalikan berbagai elemen alam tak perlu diragukan. Sebagaimana semua film modern produksi Hollywood lainnya efek spesial selalu menjadi suguhan utama yang mungkin jauh lebih membekas dari pada kisahnya sendiri. Mata akan dimanjakan dengan efek spesial (terutama menjelang akhir), meski tidak perlu terlalu sumringah menyaksikannya, karena masuk kategori biasa saja.
India: Fire Benders origin?
Satu yang cukup mengganggu adalah pergantian ras para pemainnya. Jika mengganti satu karakter penting dengan wajah yang ‘lebih mudah diterima’ barat buat sang tokoh utama dianggap belum cukup maka mengganti ras bagi keseluruhan peran secara radikal di dalamnya dianggap suatu keharusan.
Fans bertanya-tanya, sekaligus penasaran heran kenapa Dev Patel (Slumdog Millionare) yang punya wajah Asia, sehingga justru lebih cocok memerankan karakter Sokka malah kebagian peran sebagai Prince Zuko? Yang dalam ATLA malah ber-etnis China. Salah kasting kah? Nah, sosok bergaris wajah India ini pula yang membuat pemilihan seluruh barisan cast untuk angota Fire Nation terasa dipaksakan (karena harus menyesuaikan semua). Dimulai dari sosok Iroh (Shaun Toub), paman Zuko yang gak begitu ‘nyambung’ dengan keponakannya. Hingga ayah Zuko, Ozai raja negara api, yang berhubung Zuko-nya diperankan aktor India, maka ayahnya pun juga harus punya tampang ‘India’.
Rasanya tidak heran kalau Dev Patel, yang bukan kebetulan berasal dari negeri yang sama dengan si sutradara diplot jadi Zuko. Namun uniknya, performa yang paling lumayan malah jadi milik dia (meski tidak dominan) setidaknya jika dibanding lainnya. Ia mampu menampilkan emosi sang pangeran terbuang yang resah gulana berkaitan identitas dan tugasnya. Dari versi aslinya sendiri karakter Zuko memang yang paling unik sepanjang serial dan perannya cukup sentral. Selain karakter Sokka tentu, yang anehnya dalam film malah dibuat terlampau serius dan kaku. Padahal dalam serial animasi ATLA, Sokka adalah sosok dengan tingkah konyol-konyol idiot sekaligus cerdik.
Iroh pun tak luput dari perombakan, dari sosok yang bijak dan sangunis. Ia berubah jadi orang yang tidak jelas posisinya. Dan entah kenapa Fire Lord Ozai (Cliff Curtis) tidak terlihat meyakinkan sebagai seorang raja yang berkuasa, kejam dan, magalomaniak. Penampilannya berbeda jauh dengan Ozai versi animasi ATLA yang berkesan lebih angker. Bukankah lebih baik jika raja api ini tidak perlu ditampilkan lebih dulu supaya rasa penasaran penonton terbayar di sekuel selanjutnya?
Keseluruhan karakter yang diperankan bintang-bintang baru tampak kurang greget—kurang mantap. Cara mereka mengendalikan elemen yang mereka kuasai malah terlihat menggelikan sekaligus meragukan. Gerakan-gerakan mereka terkesan amat lembut, lambat, terlalu gemulai kurang gairah, hingga malah mirip orang yang sedang senam tai chi dengan efek pengendalian elemen (entah itu udara, air, tanah, dan api) yang begitu datar. Mungkinkah ini disengaja karena diceritakan bahwa mereka belum begitu mahir? Atau memang untuk lebih menekankan adegan laga akhir?
Usaha Shyamalan mencegah kemonotonan dengan menampilkan humor sayangnya berujung pada garingnya situasi, kelucuan yang amat mudah tertebak. Lemahnya pernokohan tampaknya memang telah dirancang dari awal demi menarik kalangan audiens yang lebih beragam. Bukankah penggemar ATLA terutama remaja dan anak-anak? Yang hampir pasti mengajak orangtua mereka. Sehingga kesan menghindari kompleksitas amat terasa. Apalagi premisnya juga simpel: Yang putih (kebaikan) akan selalu menang melawan hitam (kejahatan).
Maka seperti karya adaptasi kebanyakan, entah dari novel, komik, video game, serial televisi, atau animasi populer. Hasilnya akan selalu mengecewakan pihak fans, bahkan bagi yang sudah expect less sekalipun. Beruntunglah bagi yang belum menonton animasi aslinya. Tentu mereka bakal menemukan TLAB sebagai tayangan yang menghibur dan tidak tampil buruk-buruk amat. Yang dapat diharapkan para fans tentunya akan ada perbaikan lubang-lubang tersebut andai sekuel “Book 2: Earth” benar-benar akan dibuat, mungkin dengan perubahan sutradara dan scriptwriter baru yang lebih mampu melakukan eksplorasi kisah secara matang. Ya…siapa tahu.
Oh ya kalau anda cermat, akan ada penampakan ikon pariwisata kita yang sedang gencar dipromosikan menjadi keajaiban dunia yang baru itu.
Bending-o-meter: 5/10
Oleh Jino Jiwan untuk Bebas Ngetik

1 komentar: