MenJogjakan Sinetron

17.05.00 jino jiwan 0 Comments

-->
Sinetron dengan FTV bedanya apa sih? Kita tahu betul karakter keduanya toh dasarnya sama. Pembeda signifikan terletak pada durasi. Yang satu lebih panjang dan mbulet mbulet, yang satunya lagi singkat, tergesa-gesa, dan sekali tayang. Biang FTV dan sinetron tentu saja SCTV, alias Sinetron-Cinta-Televisi. Stasiun tivi yang selalu memajang sinetron tiap malam sampai benar-benar sudah larut ini, terhitung serriii…ing banget meng on air kan FTV berlatar Jogja. Ada apa sih di balik fenomena FTV Jogja jogja-an?

Sebagai propinsi yang makin melejit populasi pelajar dan mahasiswanya, Jogja menjadi sejenis wadah semaian ragam budaya luar dan lokal. Berkat perannya tersebut agaknya Jogja adalah lahan subur inspirasi dan menginspirasi bagi siapa saja. Oleh sebab itu, gak heran juga kisah tentang Jogja akan selalu ada penikmatnya. Mungkin karena alasan komersil FTV Jogja dibuat.

Sayangnya lalu lalang penggambaran Jogja lewat FTV dalam layar kaca tidak 100% akurat. Haruskah orang Jogja yang kotanya tampak dalam frame kamera, bangga dengan penggambaran FTV yang seolah tanpa riset itu? Seharusnya sih iya, tapi hanya kalau pendeskripsian visual tersebut benar adanya.

Karakter ber-etnis Jawa-Jogja dalam FTV dibuat begitu stereotip. Seolah-olah orang Jogja tipikalnya seperti itu. Mungkin dikiranya ke-Jawa-an orang Jogja sangat lucu dengan logat medok yang payahnya di medhok-medhok kan oleh aktor dan aktris amatir yang bahkan gak asli orang Jawa dengan tampang dan kulit cerah mereka. Logatnya itu loh, sangat mentah dan palsu. Sehingga kalau mau cermat lidah mereka sering keseleo sendiri. Keluar deh tuh logat ibukotanya. Pilihan bahasa dalam setiap scene amat janggal, campur baur teraduk-aduk gak jelas. Bahasa jawa di oplos dengan bahasa Indonesia, pokoknya yang dikejar nomor satu ya logatnya, sehingga terdengar seperti orang baru belajar bahasa Jawa saja. Dan ingat! Tidak semua anak memanggil bapaknya dengan sebutan “Romo”. Bahkan dalam kalangan darah biru sekalipun. Sungguh suatu pemerkosaan visual.

Jogja telah jauh berubah, Bung. Kamu akan sulit menemukan orang yang selalu ber-surjan plus blangkon di atas kepala dalam kesehariannya. Orang-orang bersepeda onthel pun hanya segelintir melintas di wilayah kota, terlibas kalah sama kendaraan modern. Kehadiran sepeda atau becak yang geraknya lambat malah dirasa mengganggu pengguna jalan yang semuanya makan bensin-solar. Masih soal tunggangan, kalaupun karakter orang Jogja di dalamnya dikisahkan naik motor, pilihan motornya pun sepertinya tidak jauh-jauh dari kisaran Honda 70 (pitung) atau Vespa yang masih kinclong dan banyak aksesorisnya. Ya iya, memang gak selalu, tapi hampir pasti iya.

Coba lihat pilihan seting tempat yang tampak begitu ingin meng-ikon-kan Jogja dengan lokasi yang itu-itu saja. Seolah di Jogja adanya cuman itu tok. Rumah beraliran joglo lah, yang sekarang susah ditemui. Tugu Jogja malam hari, stasiun Tugu, kisaran Malioboro, atau paling jauh ya Prambanan. Bahkan herannya pernah ada yang nyasar sampai ke Candi Borobudur! Halloooww? Tahukah mereka—para kreator cerita ini kalau Borobudur itu puluhan kilometer di luar Jogja? Selera pemilihan tempat yang payah!

Belum lagi kisah yang tawarkan, mudah ditebak saking sangat sederhananya. Salah satu karakter entah si cewek atau cowoknya diceritakan sebagai orang Jogja asli dengan latar adat budaya kental (plus logat yang lebay)—bertemu dengan orang ibukota yang mau berlibur ke kota budaya ini. Di awal-awal mereka hampir pasti terlibat dalam konfrontasi, perseteruan, saling benci pura-pura alias jaim-jaim-an tapi langsung ketahuan bahwa mereka akhirnya ditakdirkan saling jatuh cinta. Gampang kan? Kening gak usah berkerut. Otak yang ingin berpikir harus di-off dulu sementara.

Entahlah, ketikan ini memang cenderung bercabang antara jengkel dengan penggambaran Jogja yang mungkin benar untuk dua dekade lalu atau ketersesatan Jogja yang ciri khas Jogja-nya tambah lenyap. Tidak perlu percaya total dengan apa yang kamu lihat, soalnya FTV FTV itu malah bukan men-Sinetron kan Jogja, melainkan men-Jogja kan sinetron.

0 komentar:

7 Hal Yang Tidak Ingin Kamu Temukan Dalam Makananmu

21.23.00 jino jiwan 0 Comments

Oke, Kita semua setuju bahwa Kita cenderung akan membenci kejutan yang buruk. Kita tidak ingin menemukan sesuatu yang tidak terduga dan akan membuat Kita sebel, jijik, ngeri, muak, mual, ilfil saat menyantap hidangan yang ada di hadapan, mau itu di rumah sendiri, rumah temen, saudara, di restoran, warung, kedai, atau apapun namanya.

Apa yang tidak ingin kamu temukan dalam makananmu? Hmm…coba putar kembali ingatanmu, apa sih yang sanggup bikin Kamu sebel, jijik, ngeri, muak, mual, ilfil pas Kamu makan? Yakin deh, Kamu pasti pernah mengalami setidaknya satu atau lebih di antaranya atau minimal pernah mendengar orang lain kena sial macam begini. Tinggal Kamu mau ambil pening apa enggak. Kamu mungkin menganggapnya biasa aja karena sering Kamu alami. Walau sebenarnya daftar di bawah ini bisa langsung mengindikasi seberapa bersih pengolahan makanan yang Kamu lahap. Dan jika Kamu percaya dengan perkataan “We Are What We Eat”. Sudah sepantasnya alarm dalam kepalamu memberi warning untuk mulai bertindak dengan mengatakan “TIDAK” bila harus bertemu lagi dengan kejutan-kejutan dalam countdown berikut.
(Maaf, tidak semua foto dapat disertakan. Jadi harap bayangkan sendiri)

7.  Semut
Makhluk satu ini ada di mana-mana. Di tempat yang bahkan tidak kamu duga ada—Semut selalu ada dan kehadirannya selalu mengesalkan. Kamu tentu nggak lupa kan dengan pepatah gampang “Ada gula ada semut”. Ya…ya..semua orang juga tahu itu. Emang sih biasanya semut menyerang apa saja yang berkadar gula tinggi, tapi itu tidak selalu. Buktinya semut kalo kepepet toh mereka mau aja ngerubungin makanan apapun (terutama yang berkuah)—yang tidak terproteksi dengan baik. Lebih buruk lagi para semut akan berenang-renang untk kemudian rela mati di situ lalu tercampur-campur sampai sulit diambil satu-satu. Ya udah ketelen deh tuh semut.

6.  Batu
      Yap, batu. Ukurannya memang tidak seberapa, paling hanya beberapa mili hingga setengah centi, tapi kehadirannya sangat mengganggu kenikmatan ketika gigi sedang sibuk naik turun mengolah makanan dalam mulut. Lagi asyik mengunyah-nguyah eh ada suara “Kletus”. Suara batu kerikil kecil tergerus gigimu. Itu sama sekali bukan proses menyenangkan. Berbahaya sih enggak, cuman ya ngeselin aja. Kecuali kalo gigimu nyaris jadi puing-puing. Antara khawatir gigimu bakal berkurang lapisan emailnya dan kesal kalo Kamu ternyata harus menelan batu yang diragukan sterilitasnya—Kamu pasti akan berusaha mengolah lidahmu buat menemukan sisa batu lain yang belum terkunyah. Ah…nambahin kerjaan aja nih batu.

5.  Rambut
Entah rambutnya siapa yang Kamu temukan terselimpet di sela lauk dan butiran nasi di atas piringmu. Biar cuma sehelai-dua helai sehingga kelihatannya tidak mengganggu banget, tapi sepertinya bukan hanya itu masalahnya melainkan DARI BAGIAN MANA TUH RAMBUT BERASAL? Dari mahkota kepala, atau bawah hidung, atau dari lubang hidung?! atau dari bagian dagu, atau lebih buruk lagi dari pabrik keringat antara lengan dan dada? Apakah si pemasak waktu sedang mengolah masakan ybs sedang garuk-garuk kepala—sampai kutunya ikutan terjun? Apakah orangnya memasak sambil mengupil? Atau sambil cukur jenggot?
Sekedar saran nih,Kamu bisa kok mengidentifikasikan asal rambut itu berdasar karakteristiknya. Misal, kalo rambutnya panjang, tipis, mudah patah, berketombe (Eh eh kok malah jadi iklan sampo?)—ya berarti dari kepala. Kalo pendek dan runcing, ya berarti rontokan kumis. Kalo pendek, agak gemuk dan agak curly, nah… tuh rambut mungkin layak dicurigai. Misalnya nih, Kamu agak agak paranoid dengan asal si rambut Kamu dapat selalu berdoa tiap menghadapi persoalan satu ini: “Mudah-mudahan bukan dari ‘rambut yang satu itu’,Ya Allah”.

4.  Ulat
Sebenarnya ulat yang dimaksud adalah ulat jenis pemakan sayuran, bukan cacing uget-uget pemakan makanan yang busuk. Ulat kecil berkaki banyak, kuning kehijauan ini sering ditemukan dalam keadaan tewas di jenis sayuran yang disukainya. Biasanya sih dia ada di dalam kacang panjang atau buncis. Beberapa orang merasa kehilangan selera berkat ulat ini. Meski sebenarnya adanya ulat ini otomatis berarti sayuran yang Kamu makan bebas dari pestisida.

3.  Lalat
Nah, ini sih biangnya jorok. Selain karena kepakan sayapnya yang berisik, lalat sudah terprogram dari sononya untuk bertugas menjadi ‘pembersih’ segala. Entah apa yang membuat si lalat yang terkenal dengan reaksi kilat dan kelihaiannya itu bisa tercebur pada oseng kangkung kegemaranmu. Sekilas menemukan lalat mati dalam makananmu seperti hal yang remeh padahal lalat si penyebar wabah, pemakan kotoran, sampah, bangkai—membawa serta bermacam virus penyakit, bakteri dan telurnya ke mana pun ia hinggap. Dan lalat melakukan lebih dari sekedar memakan makanan yang diinjakinya, ia juga meludahinya, juga boker (alias e’e) sembari meletakkan telurnya. Jadi Kamu sudah punya cukup alasan kan, untuk tidak menelan apapun yang sudah diracuni oleh lalat.

2.   Kecoa
Kecoa terselip dalam makanan bukan cerita baru. Kamu pasti pernah mendengarnya, atau pernah mengalaminya kan? Konon katanya kecoa adalah binatang yang dapat terus hidup berhari-hari meski kepalanya telah terpenggal. Satu-satunya penyebab serangga menyebalkan ini menemui ajal (setelah tidak punya kepala) adalah semata karena kelaparan. Maklum akses makanan lewat mulut jadi lenyap. Ya, bagaimana Kamu bisa makan jika kepalamu entah dimana. Kita pun tidak pernah benar-benar tahu keakuratan fakta ini, karena FAKTANYA Kita terlalu jijik untuk mau menangkapnya lalu mau repot-repot memenggalnya hanya untuk membuktikan apa yang disebut sebagai fakta tersebut. Yang Kita tahu bahwa binatang satu ini kotor dan menjijikan, Titik! Dan mau makan apa saja termasuk sampah.
Itu sebabnya jika Kamu menemukan kecoa dalam makananmu, dijamin isi perutmu akan bergolak. Makanan yang barusan Kamu transfer dalam lambung serasa memanjat kembali ke lidah minta dikeluarkan. Kamu jadi berpikiran mungkin saja Aku tadi sudah menguyah kecoa tanpa sadar. “Hooeeekk…”

1.   Tikus
Ini lah puncak kejutan dalam hidangan yang paling tidak ingin Kamu jumpai. Jelas Kamu bakal sulit menemukan seekor tikus dalam piringmu. Dan tikus yang dibicarakan di sini bukan tikus yang didesas-desuskan diolah sebagai campuran bakso atau mie ayam oleh oknum pedagang kurang ajar. Melainkan tikus sungguhan yang masih sehat berbulu yang dia tidak sengaja tercebur dalam bahan makanan.
Pernah terbit cerita kalau ada sebangkai tikus yang mengapung dalam sepanci besar kuah soto di kantin sebuah sekolah. Tentu saja ini menggemparkan para pelanggan. Kurang jelas bagaimana nasib si kuah soto yang ketambahan ‘bumbu’ pelezat itu. Jadi bagaimana bisa seekor tikus mengontaminasi sepanci kuah soto? Skenario terbesarnya adalah si tikus sedang bermain-main (ya biasalah anal-anak) sambil berlarian lalu tidak sengaja terpeleset (maklum, masih amatir) lalu nyemplung dalam kuah soto panas. Si tikus rumah yang tidak jago berenang langsung tewas, meninggalkan kenangan buruk bagi pelanggan soto. Kenangan yang coba ditutup-tutupi oleh si penjual.

Sayangnya daffar ini bersifat sangat sementara alias masih bisa berubah tergantung sikon dan pengalaman. Tujuan dari ketikan ini bukan untuk menakut-nakuti, hanya biar Kamu waspada saja menjaga apa saja yang masuk dan terolah oleh perutmu. Satu yang pasti harus dihindari waktu mau makan adalah “kelaparan yang ekstrim”. Sebab rasa lapar yang berlebihan bisa menurunkan kewaspadaan terhadap makanan yang Kita makan. Apa sih yang nggak terasa lezat kalo sedang laper berat? Berhubung banyak hal tak terduga di luar sana, sekarang tugasmu untuk mengomentari. Pernahkah Kamu pernah menemukan surprise berbeda yang jauh lebih mengerikan lagi dalam makananmu?

0 komentar: