Bidik 2014 Dengan Nama Sayang

20.30.00 jino jiwan 0 Comments


Seberapa besar pengaruh panggilan sayang (alias nama singkat populer alias panggilan akrab) seorang pemimpin untuk sukses membuat dirinya dipilih rakyat?

Berikut segelintir contoh sukses:
Abdurrahman Wachid  nama sayangnya Gus Dur, sukses dipilih DPR mengalahkan Megawati.
Susilo Bambang Yudhoyono, SBY dan wakilnya Jusuf Kalla JK, sukses mengalahkan Megawati.
Fauzi Bowo Foke, sukses mengalahkan Adang Darajatun.
Joko Widodo Jokowi dan wakilnya Basuki Cahaya Purnama Ahok, sukses mengalahkan Foke.

Nama sayang tampaknya penting untuk meningkatkan kepopuleran terutama yang namanya panjang dan nama sayang yang lebih baru juga cenderung sukses mengalahkan nama singkat lawas yang sudah saatnya digusur.

Jadi buat yang mau maju mencalonkan diri, entah jadi apa. Apalagi buat 2014, penting mulai sekarang memikirkan panggilan akrab untuk didengung-dengungkan pada waktunya nanti. Berikut ini daftar orang yang sedang populer jadi capres (untuk saat ini). Orang-orang ini agaknya perlu untuk segera memikirkan nama singkat yang enak dilidah rakyat kalau mau sukses.

Berikut orang-orang yang katanya siap jadi calon presiden:

Prabowo Subianto ...? Masak jadi PS sih?

Megawati Soekarno Putri  ...? Cukup disingkat jadi "Mega" barangkali?

Wiranto  ...?

Mahfud MD  ...?

Sri Sultan Hamengkubuwono X  ...?

Anis Baswedan  ...?

Dahlan Iskan  ...?

H. Rhoma Irama  ...? 

Gita Wirjawan ...?


dan calon-calon berikutnya yang pada belum berani ngomong terus terang.

Mungkin karena itu pula capresnya Golkar juga hendak mencoba memanfaatkan tuah nama singkat (mungkin karena namanya terlalu panjang dan agak membuat orang ingat akan lumpur Sidoarjo), Aburizal Bakrie  ARB. Supaya orang bertanya siapa itu ARB? Pemimpin baru kah dia?

(JinoJiwan)

0 komentar:

Penyakit Manusia Gaul Ibu Kota #1

22.45.00 jino jiwan 0 Comments


Sekarang,...’terima kasih’ pada manusia-manusia gaul ibu kota, punya akun twitter seakan menjadi kewajiban dan bagian dari nggaya hidup. 

Aku berhenti membaca artikel di sebuah kolom “Kompas” gara-gara separuh artikel isinya kebanyakan menyebut konco-konco twitternya. Ini artikel, apa ajang pamer teman twitter sih? 

Sebagai orang yang bernapas di zaman peralihan teknologi tentu aku bukannya tidak punya akun twitter, hanya saja aku dalam tahap bingung. Sampai sebegitu pentingkah untuk terus menyebut akunnya. Sebegitu layakkah untuk ‘mengikuti’ seseorang? Membuat orang itu ngerasa penting dan ngerasa sangat hebat untuk punya...katakanlah sekian juta pengikut?

Twitter juga cenderung membuat orang ngomong singkat-singkat dan bawaannya nyombong. Terus kenapa kalau punya follower segitu? 

Di kolom dimana biasanya profesi seharusnya dituliskan malah terpampang akun twitternya. Jadi mungkin besok jika seorang pembecak dijadikan narasumber dalam sebuah berita, yang tertera selain namanya adalah juga akun twitternya.

Pembawa acara, pembawa berita, pelawak berdiri, semua memasang akun twitter di bawah namanya. Seolah jadi orang paling layak untuk disembah dengan mengharap orang lain untuk ‘mengikuti’nya.
Orang mamerin twitternya sama seperti pemilik BB kesiangan yang mamerin pin BB-nya. Aku pernah tau-tau dapat sms dari seorang teman yang isinya “ini nomor BB gue”. Hah? Apa mask-udmu, Saudara? Bukannya tanya dulu apa aku punya BB atau tidak. 

Beba bebe, siapa juga yang punya BeBe? Apalagi cuma buat nggaya. Alasan saja itu biar tidak gagap teknologi. Paling banter juga cuma buat sms-an, teleponan, nge-net(itu juga pakai paket murah kan?), dan untuk jepret sini sana. Jika seperti itu adanya pakai saja hape biasa dan beli kamera digital khusus yang lebih bagus hasilnya dari pada hape merek apapun. Akui saja kalau Saudara ngeluarin dan pegang BB itu di muka umum, pasti ngerasa hebat dan bangga kan? Jadi bukan sadar teknologi yang Saudara kejar, tapi ya nggaya itu tadi.

JinoJiwan untuk Bebas Ngetik

0 komentar:

Seberapa Top-kah Top Coffee?

16.19.00 jino jiwan 0 Comments


Seberapa jujur kah seharusnya sebuah iklan?
gambar:areamagz.com

Top Coffee adalah salah satu kasus iklan yang menurutku luar biasa dalam berpromosi. Mirip dengan kasus Mie Sedaap dulu (yang sama-sama berasal dari Wings Food) waktu beriklan demikian gencar berhadapan dengan merek mi instan produk Indofood yang telah jauh lebih dahulu mapan. Metode gencar ini agaknya berhasil menempatkan Mie Sedaap sejajar dengan produk dari Indofood, paling tidak dari sisi rasa. Tapi bagaimana dengan Top Coffee?

Memadukan Iwan falls dan Nikita Willy juga Samuel Zylgwyn, iklan produk kopi yang menyasar segala kalangan baik tua maupun muda ini tampak megah dan mewah, dibalut musik tangguh adaptasi dari film The Avengers, setidaknya itu yang terbit dari pikiranku tentang iklan Top Coffee yang kerap mampir di televisi. Iklannya secara visual sangat indah. Mampu menunjukkan kopi yang tampak sangat menggiurkan; panas, berbuih, dan berasap. Simak bagaimana kopi itu diaduk dan dituang. Hmmm, penonton seolah bisa menghirup uap wangi kopi dari iklan itu. Ditambah suara orang bule—yang entah siapa—menjelaskan bahwa kopi ini gabungan sempurna dari kopi arabica dan robusta. Tampil makin meyakinkan penonton. Lalu akhir-akhir ini iklannya kian disingkat jadi mengedapankan kehebohan masyarakat menerima Si Kopi Top ini. Coba lihat bagaimana iklan menampilkan bahwa konon jutaan orang sudah mencicipi kopi Top dan setuju bahwa rasanya memang “Top”.

Soal penamaan produk pun layak disoroti. Produk ini mengaku-ngaku “Top” yang secara harfiah bermakna paling, teratas, terdepan. Sungguh sebuah strategi penamaan yang harus diakui sangat cerdas, sama seperti penamaan Mie Sedaap yang mengaku paling sedap. Logo pun sangat mirip dengan logo Starbucks. Kalian bisa langsung mengidentifikasinya dari lingkaran hijau berlubang itu. Kasus pengadaptasian (yaitu bahasa lain dari “memirip-miripkan”) logo bukan hal yang sulit ditemui di dunia branding, jadi ini bukan masalah besar. Tapi tentu ikut memengaruhi persepsi keistimewaan produk di mata konsumen, yang ini kalian boleh percaya boleh tidak. Dan ternyata ada yang perlu merasa membahasnya, walaupun sudah jelas terlihat.

Soal harga? Bisa dibilang Top Coffee amat terjangkau. Bisa jadi ini nilai minus untuk iklan yang begitu mewah dan heboh atau sebaliknya nilai plus yang artinya “kopi mewah ini bisa anda dapatkan dengan harga terjangkau”. Apalagi disertai promosi “beli 2 bungkus bonus 1 bungkus” (paket 10 bungkus dapatnya 15 bungkus). Siapa yang tidak tergoda dengan promosi demikian kencangnya?

Apakah iklan yang megah dan gencar memang mampu mengubah persepsi lidah publik? Jujur aku penasaran akan apa yang dipikirkan oleh penikmat kopi tentang rasa Top Coffee. Karena aku sendiri yang bukan penggemar kopi menilai bahwa rasa Top Coffee ini bukan yang paling nikmat. Menurutku rasanya sangat tidak sebanding dengan kehebohan promosinya. Sehingga dengan setengah bercanda aku nyatakan bahwa Iwan Falls sendiri barangkali belum pernah mencicipi kopi yang diiklankannya. Kalau pernah, pasti dia sendiri yang akan mem-“Bongkar” iklan itu.

Menarik tentunya untuk melihat bagaimana sesama produsen kopi bereaksi terhadap iklan Top Coffee. Baru-baru ini Kapal Api ikut-ikutan bikin iklan melalui pendekatan yang mirip, dengan Agnes Monica sebagai duta iklannya—yang tentu saja sangat mahal bayarannya. Barangkali Kapal Api sudah khawatir akan posisinya atau malah mulai merasa tersaingi, sehingga merasa perlu membuat penegasan sebagai kopi paling enak disertai dengan bintang iklan yang lebih kontemporer. Padahal jujur saja menurutku kalau soal rasa Kapal Api masih lebih baik dari Top Coffee. Tapi itu pendapatku, bagaimana menurut kalian?

oleh JinoJiwan untuk Bebas Ngetik

0 komentar:

Kegagalan Rasa Fatigon Hydro

15.37.00 jino jiwan 2 Comments


Baru-baru ini aku dikejutkan dengan pengubahan nama produk minuman (isotonik?), dari yang sebelumnya Fatigon Hydro menjadi Hydro Coco. Sebagai pengamat iklan, sewaktu pertama kali iklan Fatigon Hydro pertama kali keluar aku penasaran untuk ikut mencoba. Agaknya orang lain pun seantusias aku. Produk tersebut cepat sekali ludes dari rak penjualan di salah satu supermarket. Hanya tinggal satu buah yang kemudian aku beli, untuk pertama kali dan terakhir kalinya. Kenapa begitu? Beberapa minggu kemudian aku kembali ke supermarket yang sama dan produk tersebut masih melimpah di rak penjualan. Untuk waktu yang lama produk Fatigon Hydro luput dari pengamatanku, hingga tiba-tiba terjadi pergantian nama.

Jika dibandingkan Mizone atau Pocari Sweat, Fatigon Hydro memang kalah jauh dari segi rasa. Kata iklannya sih air kelapa, namun lidahku mengatakan ini air kelapa yang dikontaminasi oleh suatu zat yang membuat rasanya jadi aneh. Maaf, tapi itu menurutku. Lagipula jika memang itu hanya air kelapa—sebagaimana positioning-nya sejak awal—buat apa calon konsumen mesti membelinya? Bukannya lebih mending beli kelapa asli yang rasanya lebih enak dan segar. Apa yang membuat Fatigon Hydro lebih unggul dari air kelapa asli? Tambahan vitamin dan mineral di dalamnya? Jadi posisi Fatigon Hydro memang kurang jelas. Mau berhadapan dengan siapa sebetulnya ia. Apakah pesaingnya itu Mizone, Pocari Sweat, Vitazone, Gatorade, Powerade, atau malah mau membuat pasar tersendiri sebagai minuman kesehatan yang berbeda total dengan lainnya? Jika dilihat dari positioning dan bentuk kemasan yang sebetulnya cukup unik dan menarik sih sepertinya mereka mau membuat pasar baru tersendiri.

Selain soal rasa, kekurangan adalah soal nama. Orang dengan gampang dapat saja menduga bahwa Fatigon Hydro berhubungan dengan Fatigon yang telah lebih dahulu mapan sebagai produk multivitamin berbentuk kaplet merah. Bagaimana kaitannya kok multivitamin mengeluarkan minuman air kelapa segar—selain karena produsennya yang sama? Apakah Fatigon Hydro itu sama dengan kaplet Fatigon yang diencerkan dengan air kelapa? Seperti apa rasanya, tidakkah tidak enak? Agaknya itu pilihan nama yang mengerikan. Pengasosiasian macam ini timbul dari penamaan yang kurang tepat. Nama yang tidak nyambung. Ataukah mungkin ada gejala kurang percaya diri dari produsen saat meluncurkan produk pertama kali sehingga merasa perlu numpang nama Fatigon?

Varian kemasan serta namanya. Sumber: sumber 21food.com myhydrocococom
Apa pergantian nama atau lebih tepat disebut peluncuran produk lama dengan nama baru ini ada kaitan dengan kesadaran produsen atas asosiasi nama tersebut atau memang bagian strateginya? Tidak diketahui, tapi langkah pergantian nama ini adalah langkah yang tepat dan layak diapresiasi, meski agak terlambat. Nama Hydro Coco ini jauh lebih memikat dan kuat dibanding menyangkutkan nama Fatigon. Aku heran kenapa tidak sedari pertama mereka melakukan itu. Tapi aku perhatikan positioning-nya tetap tak berubah, tetap sebagai “air kelapa asli”. Sehingga menimbulkan pertanyaan akan siapa sebenarnya yang disasar oleh produk ini? Orang kotakah yang dituju karena tidak ada pohon kelapa di kota? Orang yang tahu manfaat air kelapa untuk kesehatan tapi terlampau sibuk? Barangkali iya, tapi sepertinya enggak juga, kalau mau minum kelapa di kota besar masih bisa kalau mau mencari penjualnya di tepi-tepi jalan. Apa sih yang tidak tersedia di kota besar? Jikapun dilihat dari iklannya yang mengambil lokasi di pantai, apakah yang disasar adalah orang yang tengah wisata di pantai atau orang yang suka bepergian? Bukankah di pantai dengan mudah ditemui penjual buah kelapa segar?

(Jino Jiwan)

2 komentar:

5 Hal Yang Sering Anak Kos Katakan

18.41.00 jino jiwan 0 Comments


1.
Jika anda masuk ke dalam kamarnya, ini yang akan dikatakannya:
“Sori ya berantakan.”
Emangnya kapan sih kamar kosnya enggak berantakan?

2.
Jika anda sms dia dan dia tidak jua membalas sms anda. Tiga jam atau satu hari kemudian baru ada balasan berbunyi:
“Sori br blz gk ad puls.”
Mengisi pulsa adalah sesuatu yang sulit dilakukan namun tak kunjung membuat mereka mengirit pulsa karena mereka lebih sering nelpon dari pada sms.

3.
Jika anda menelpon dia berkali-kali dan dia tidak menjawabnya sama sekali, dia akan bilang:
“Sori baru bangun.”

4.
Jika anda bertanya, sudah makan belum? Jawabannya hampir pasti:
“Belum.”
Kalo jawabnya “Udah”, mungkin anda kurang lengkap tanyanya. Yang dimaksud udah ini mungkin kemarin atau dua hari yang lalu.

5.
Jika anda bertanya apakah si anak kos sudah ngerjain tugas, biasanya dia akan jawab.
“Belum, males ah”

Benar?

by JinoJiwan for bebasngetik

0 komentar:

Antara Jokowi, GnR, dan Sting

18.37.00 jino jiwan 0 Comments

Entah kebetulan atau (memang) kebetulan konser GnR ditunda dimana saat bersamaan konser Sting melenggang. Jokowi, sang gubenur yang dicintai dengan sangat oleh media massa malah lebih memilih menonton Sting. Ia pun diliput tengah nonton konser Sting dari kelas festival. Kita pun dibuat terkagum olehnya kan? Gubenur nonton dari kelas festival!!! Salut? Tunggu dulu. 

Aneh, karena bukan sekali dua kali dikabarkan kalau Jokowi itu suka musik cadas, dimana seharusnya dia memilih menonton GnR yang kemudian ditunda dengan alasan kemananan panggung. Konser GnR pun dipindah ke (ajaibnya) lokasi yang sama dengan konser Sting, dengan sebegitu mudahnya promotor bisa deal lokasi secara mendadak? 

Ajaibnya (lagi) Jokowi hadir juga di konser tersebut, lagi-lagi dari kelas festival! Entah dengan tiket yang sudah dipesan sebelumnya, atau jatah tiket re-fund akibat penundaan konser sehari sebelumnya. Jika memang demikian adanya kecurigaanku maka Jokowi pasti merasakan nikmatnya jadi Gubenur Jakarta—salah satu orang paling kuat di negeri ini setelah Presiden RI—bisa berkuasa nonton konser musisi luar negeri yang hampir selalu cuma digelar di sana. Iya, ini memang murni kecurigaan tanpa bukti. Kalian yang ngefans Jokowi boleh saja murka dengan tulisan ini, tapi aku pun termasuk pengagum Jokowi dengan segala sepak terjangnya dan jika betul ini yang terjadi, aku sangat sangat kecewa.

0 komentar: