Blunder Wall's Ice Cream Day

12.54.00 jino jiwan 0 Comments

Pagi itu matahari belum beranjak terlalu naik, acara di Alun-alun Selatan Yogyakarta (Alkid) pun baru saja dimulai, tapi pengunjung sudah pada bubar. Bubarnya tidak mudah, jalan seputaran Alkid macet padat bin berat. Tampaknya mereka kecewa karena pesaing untuk mendapat sebungkus es krim terlampau berlimpah ruah. Iya, Minggu pagi itu ada ajang nasional serentak di kota-kota tertentu se-Indonesia, sebuah hajatan yang layak dihujat: Wall’s Ice Cream Day atau harus disebut: Wall’s Ice Crap Day.

Entah media mana yang dimaksud oleh kedua pembawa acara, kata mereka ada 40-an media yang meliput acara Wall’s Ice Cream Day tanggal 11 Mei 2014 itu. Klaim semacam ini barangkali dibentuk dan diada-adakan saja biar seolah hebat. Karena pada kenyataannya acara yang berlangsung di Yogyakarta berlangsung seolah tanpa persiapan matang. Tidak ada informasi sebelumnya mengenai “kupon penukaran es krim,” tidak ada informasi jelas mengenai kapan es krim dibagikan, tidak ada kantong parkir yang memadai di lokasi, tidak ada cukup tenda untuk berteduh dari garangnya sinar matahari Jogja.

Hingga muncul dugaan di benak bahwa ajang ini ilegal (atau semi-ilegal). Sebab tidak terlihat sama sekali pihak polisi untuk urusan pengamanan atau paling tidak untuk mengatur jalan yang super macet. Bisa dibayangkan, jika dijanjikan 12.500 batang es krim gratis (katanya untuk pengunjung pertama), dan jika satu orang hanya boleh mendapat satu batang es krim artinya akan ada 12.500 orang memenuhi lapangan. Itu bukanlah jumlah yang sedikit. Pada kenyataannya jumlah pengunjung membludak lebih dari itu.

Aku yakin banyak yang merasa tertipu. Dan inilah akibatnya.

Bangga karena bisa bikin macet
Pengunjung yang memilih untuk beli es krim di minimarket dekat rumah
Diri ini sudah niat datang karena penasaran, tanpa tahu ada iming-iming 12.500 es krim gratis, itu juga dari iklan di tv. Sebuah acara yang inovatif kalau boleh dibilang begitu. Mendekatkan/mengedukasi (manfaat) es krim ke masyarakat atau semacam itulah, sekalian peluncuran ikon/logo baru yang tidak penting. Memang cukup menggiurkan kalau yang dibagikan adalah es krim yang paling mahal itu (tahu kan merek apa?). Jika pun tidak, bayangkan andai satu batang nilai es krim yang dibagikan (gratis) hanya senilai Rp. 3000,- saja, dikalikan 12.500. Itu jelas uang yang banyak. Sayang nominal itu gak sepadan dengan kekonyolan sosial (dan waktu) yang diderita pengunjung dan kota tempat helatan berlangsung (juga pada Wall’s sendiri). Tengok apa yang terjadi di Surabaya, di mana Bu Walikota sempat geram dibuatnya. Tanaman di taman kota sampai hancur terinjak-injak hanya demi sebatang es krim gratis.

Twitter anehnya dipenuhi kicauan para penjilat yang bahkan mungkin tidak hadir langsung di lapangan untuk melihat kenyataan. Ini yang kujumpai ketika malamnya aku mengecek #WallsIceCreamDay di Twitter. Rupanya sama seperti medan politik yang membutuhkan para simpatisan (maksudnya pengiklan), acara ini juga dipenuhi para pengiklan, yaitu orang yang memang dapat duit dari menyiarkan kicauan bernada positif alias memuja-muji sesuatu ke para pengikut.

Para mupengers es krim (gratis)
Mbaknya sedang memberi penjelasan tata cara dapat es krim gratis untuk ke-100 kali
"Wah, ada truk es terbuka. Serbu!"
Begitu aku sudah di atas motor mengitari Alkid siap melaju pulang dan bersumpah untuk mengetik sebuah tulisan tentang ajang ra urus ini, sirine itu berbunyi. Sirine pertanda penukaran kupon gak jelas dengan es krim gak jelas (mungkin bisa juga tanpa kupon, siapa yang tahu?). Lalu pemandangan yang sungguh tidak layak itu meledak di hadapan. Lautan manusia dengan tergopoh berlarian menyerbu tenda-tenda dan truk-truk pengangkut es krim hanya demi es krim harga 3000-an atau paling pol seharga 7000-an. Tak hentinya aku ditaburi rasa takjub dengan mereka yang rela berpanas dan bersikutan demi sebatang es krim gratis. Kemudian aku sadar bahwa apapun yang dibalut kata “GRATIS” di negeri ini amat kuat menyihir orang untuk rela melakukan apapun, termasuk diminta untuk manut memakai kaos warna merah. Jadi, panitia dan EO-nya yang terlampau meremehkan arti kata “GRATIS” boleh makan mentah-mentah tuh niatan untuk mencetak rekor Muri. Sungguh sebuah cakaran besar di wajah Wall’s dan Unilever.

0 komentar:

Kemasan Kopi Botol, Sebuah Ulasan Kecil

21.10.00 jino jiwan 0 Comments

Kemasan botol plastik memang unggul dari sisi kepraktisan. Praktis dalam arti, mudah dibawa kemanapun tanpa khawatir akan penyok, dan bila sudah dibuka dapat diminum kapan saja. Tinggal ditutup kembali maka ia aman untuk dibolak balik tanpa khawatir isinya akan tumpah, berbeda dengan minuman kaleng atau kotak yang mudah penyok dan kalau sudah dibuka perlu segera dihabiskan, serta tentu saja kurang keren. Dengan kata lain, kemasan botol meningkatkan nilai minuman itu sendiri. Nilai apa? Yang pasti adalah nilai “gaya.” Bahwa orang yang menentengnya akan terlihat lebih gaya.

Ini berlaku juga bagi semua jenis minuman dalam botol. Apa misalnya? Yang paling mudah disebut adalah teh hijau botolan atau minuman sari buah berbulir (ber-pulpy), di mana keduanya juga jadi tren. Minuman kopi yang ikut-ikutan hadir dalam kemasan botol, memberi kemudahan bagi penggemar kopi untuk menikmati tingkat yang diperoleh teh hijau dan jus berbulir. Dengan kemasan botol pula, kopi jadi lebih mendekat ke masyarakat yang masih belum minat minum kopi sebagai bagian dari gaya hidup. Ini menjelaskan, mengapa kopi botolan sementara ini masih didominasi kopi latte (alias kopi-susu), bukan jenis kopi berat.

Seperti sudah disampaikan dalam ketikan sebelumnya. Ada lima merek yang tampak bersaing di sini. Mulai dari Kopiko 78°C, Good Day (dengan Funtastic Mocacinno & Tiramisu Bliss), De’Koffie (original, mocha, latte), Caféla Latte, dan yang hadir belakangan Nescafe Smoovlatte.

Semua merek kopi botolan
Jika diperhatikan, ada sesuatu yang unik dengan kemasan-kemasan kopi botolan tersebut. Yang paling terlihat adalah elemen verbalnya: penggunaan  bahasa Inggris yang begitu kental. Mulai dari nama produk hingga keterangan yang ditonjolkan.

"TujuLapan"
Tengoklah merek Kopiko 78°C. Produk yang mencoba memberikan edukasi mengenai rasa dan aroma kopi terbaik diperoleh dengan cara ekstrasi pada suhu 78°C. Cara bacanya bukan “tujuh puluh delapan derajat celcius,” melainkan “seventy-eight degrees.” Ini bisa dilihat dari iklan tv-nya. Jika memang yang dimaui oleh Kopiko adalah pembacaan secara bahasa Indonesia. Tentu mereka akan memilih memakai penyebutan berbau Indonesia di iklannya, misalnya “TujuLapan Drajat.” Kesan apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar Kopiko TujuLapan? Terdengar norakkah? Atau malah mirip rokok?

Kopiko di sini tidak hanya menjual sisi ke-barat-baratan dari minuman kopi. Tapi nama 78°C dipilih karena sanggup meningkatkan posisi di mata konsumen. Semua berkat keunikan dari nama. Yang cerdas adalah nama produknya sendiri berkonotasi pada kualitas kopi.

Olahan Latte memang berasal dari luar, jadi agaknya wajar bila semua kopi-kopi ini tidak (atau segan alias sungkan) memajang label “kopi-susu.” Benar bahwa yang dimaksud kopi-susu atau susu-kopi (yang disebut lebih dahulu berarti kuantitasnya lebih tinggi) di Indonesia, dapat berbeda—dari segi komposisi—dengan kopi latte. Namun, kita kan tahu kalau latte itu ya kopi-susu. Dengan begini, kopi-kopi ini tengah membangun citra bahwa mereka ini menghasilkan produk kopi seasli atau nyaris setara dengan kopi luar.

kaya janji
Pada kemasan Kopiko tertulis: “High Quality Coffee, Mixed with Milk.” Jelas-jelas bahasa Inggris. Padahal mereka bisa saja memuat “Kopi Kualitas Tinggi, Dengan Susu.” De’Koffie—yang sayangnya tidak teramat unik dari segi nama—juga mengedepankan ke-barat-baratannya dari nama merek. Ini tidak sepenuhnya hal yang buruk, justru menunjukkan kepercayaan diri tinggi dari produsennya bahwa produk mereka akan dimengerti oleh konsumen, atau analisis yang lebih sederhana adalah: segmentasinya ditujukan pada orang yang sudah mengenyam pelajaran bahasa Inggris (atau kalangan yang ingin dinilai sebagai kelas atas, karena kemampuan bahasa Inggris juga masih dianggap kemampuan kelas atas). Lagi-lagi ada nilai “gaya” di sini.

Di sisi lain, konsumen toh kian terbiasa dengan bahasa Inggris ala kemasan makanan/minuman di Indonesia, sebab bahasa Inggris sudah amat sangat melekat dengannya. Kita terbiasa dengan kata-kata: sale, new, fresh, regular, forte. Saking seringnya digunakan, tanpa membuka kamus kita sudah tahu apa arti coffee dan milk dalam bahasa Indonesia. Begitu juga kata original yang sudah ada kata serapannya menjadi orisinal. Anda sendiri mungkin sudah atau pernah tergoda untuk menyusun dan bermain kata dengan bahasa Inggris andai meluncurkan produk ciptaan sendiri kan?

fun & bliss
Merek Good Day memakai bahasa Inggris, nama untuk varian kopi mereka juga berbau bahasa Inggris. Apa itu Tiramisu Bliss dan Funtastic Mocacinno selain gejala peremukan bahasa (atau justru kreatif)? Good Day (hari yang indah) menjual diri sebagai kopinya anak muda. Nama ini menjanjikan sensasi kegembiraan dan ini bisa tergambar tanpa harus mengerti apa itu arti bliss maupun fun, terimakasih pada ilustrasi pada kemasannya yang penuh warna-warna pastel. Karena itu juga cita rasanya pun menyesuaikan. Beda dengan Nescafe Smoovlatte yang lebih keras, Good Day hadir lebih ringan dari sisi rasa.

desain premium
Untuk Nescafe Smoovlatte, aku sedikit bingung dengan pelabelan “Minuman Kopi Susu Lembut dan Beraroma Smooth..,” karena bagiku tidak terasa perbedaan yang amat mencolok antara seluruh produk yang kupertemukan di sini. Tapi yang jadi masalah bukanlah pendustaan kemasan, sebab ini hanya soal kecerdikan produsen memilihkan apa yang akan disampaikan dalam kemasan, sehingga nantinya persepsi konsumen sejalan dengan apa yang dimaui. Kita sebagai konsumen dijanjikan kopi lembut dan diharapkan untuk mengiyakan segera setelah meneguknya.

Satu keunggulan Nescafe Smoovlatte, adalah nama besar Nescafe. Dan jika masih mau dipaksa, apa lagi keunggulannya. Maka aku akan jawab: kemasannya yang memikat mata mampu menjanjikan sesuatu yang setara dengan produk kelas premium. Ada sesuatu yang mahal dari desain, tata letak setiap elemen desainnya (terutama permainan warna monokrom), serta pemilihan kata, termasuk “kopi susu lembut” tadi. Ada “kesederhanaan” yang tidak ditemukan dari kopi botolan lainnya. Kesederhanaan itu dikuasai oleh pengolahan nama Smoovlatte yang kuat.


dengan bhs. Indonesia
Yang beda adalah merek Caféla Latte. Nama mereknya berbau barat, dan cukup sederhana penyusunannya. Hanya gabungan dari kata cafe dan latte. Produknya dibuat di Thailand, tapi keterangannya malah “Dengan Susu dan Krim,” memakai bahasa Indonesia. Jadi Indofood sepertinya ingin dikesankan bahwa produknya buatan/diperuntukkan bagi konsumen dalam negeri. Tapi sekali lagi nama produk masih beraroma bahasa Inggris.


Intinya, kemasan-kemasan kopi botolan ini menjual nilai gaya, bahwa ini adalah  kopi yang seolah asli buatan barat. Ada janji terhadap kualitas rasa terutama dari pemilihan nama merek dan elemen verbal berbahasa Inggris. Kenapa? Sebab dalam dunia per-kemasan-an, sesuatu yang berasal dari barat masih punya nilai jual lebih tinggi daripada bahasa Indonesia terlepas dari apakah produk itu dibuat di dalam negeri atau tidak.

(Jino Jiwan/Restu Ismoyo Aji)

0 komentar:

Tren Kopi Botolan

20.55.00 jino jiwan 0 Comments

Setelah tren white coffee mulai surut—meskipun masih ada saja produsen yang mengeluarkan produk baru, bahkan beriklan di tv untuk mencoba menginformasikan apa sih definisi sebenarnya dari white coffee—kali ini hadir jenis produk kopi-kopian yang sepertinya sedang serta akan menjadi tren: minuman kopi siap minum dalam kemasan botol. Dan sebagaimana umumnya, yang namanya tren pasti akan meluas dan melibatkan banyak pemain, termasuk pemain-pemain besar dunia perkopian.

Minuman kopi botolan muncul setelah terlebih dahulu kopi siap minum hadir dalam kemasan kotak (model semacam Tetra Pak) yang akrab digunakan oleh produk susu UHT, serta kemasan kaleng yang lazim dipakai minuman ringan karbonasi. Bedanya, adalah varian rasanya untuk sementara tidak merambah ke kopi ‘berat’ (alias seduhan kopi murni/espresso). Kebanyakan kopi botolan bermain di kopi latte (alias kopi-susu). Jadi barangkali ada hubungan dengan tren white coffee (alias susu-kopi) yang pernah marak sebelumnya.

Sekarang kita jadi tahu kepada siapa produk-produk ini ditujukan. Yap! Bukan pada penggila kopi sejati yang sudah kecanduan kafein atau mereka yang beranggapan kopi-susu bukan buat para ‘pemberani’. Silakan amati kemasannya yang cenderung menjual sesuatu yang ‘ringan’ bin creamy. Hal ini tampak dari pemilihan warna yang didominasi coklat muda-coklat tua dan atau putih, padahal mereka ini jelas bukan susu coklat.

Setidaknya ada lima merek yang kelihatannya bersaing di sini. Berdasarkan penelusuranku dari toko satu, ke minimarket lain. Berhasil dikumpulkan merek Kopiko 78°C, Good Day (dengan Funtastic Mocacinno & Tiramisu Bliss), De’Koffie (original, mocha, latte), Caféla Latte, dan belakangan yang sudah hadir iklan tv-nya, Nescafe Smoovlatte.

Sebagai catatan saja Kopiko 78°C diproduksi oleh PT Tirta FresIndo Jaya (Mayora), Good Day diproduksi oleh PT Hokkan, De’Koffie diproduksi oleh PT Triteguh Manungal Sejati untuk PT Suntory, Caféla Latte diproduksi di Thailand dan diimpor oleh Indofood Asahi, Nescafe Smoovlatte juga diproduksi di Thailand dan diimpor oleh Nescafe untuk Indonesia.

Dari pengamatanku merek Kopiko 78°C adalah yang pertama hadir di toko. Aku tidak yakin apa mereka yang pertama kali mengeluarkan produk kopi dalam botol, tapi yang jelas setelah produk Kopiko, tren minuman kopi siap minum selain kemasan kotak pun menyeruak.


Kurasa tidak perlu terlalu berpanjang-lebar mengupas soal rasa dari produk-produk ini. Karena sudah banyak blog lain yang secara detail melakukannya. Dari segi rasa, Kopiko 78°C memang istimewa. Bahkan belum bisa dikalahkan oleh Nescafe Smoovlatte yang menurut lidahku berada di peringkat kedua atau ketiga. Yah, rasa tidak bisa bohong walaupun harga Nescafe Smoovlatte lebih mahal. Ternyata buatan luar negeri belum tentu cocok untuk lidah lokal. Nescafe Smoovlatte bagiku kurang manis, walau memang itulah yang dijual oleh Nescafe, yaitu less sugar coffee atau semacam itu. Lagi pula tidak ada yang hebat dari pelabelan “Minuman Kopi Susu Lembut dan Beraroma Smooth..,” karena perbedaannya dengan produk lain yang kutuliskan di sini tidaklah banyak. Buat penyuka kopi yang tidak terlalu manis pasti akan cenderung memilih yang satu ini.



Produk lain yang bermain di kopi botolan adalah Caféla Latte dari Indofood Asahi. Rasa manisnya lebih terasa dibanding Nescafe Smoovlatte. Jika diminta memilih mana yang lebih enak. Agak sulit menentukan, karenanya aku cenderung memberi posisi yang setara antara Nescafe Smoovlatte, Caféla Latte, dan De’Koffie Latte.

Sementara De’Koffie yang iklannya dibintangi Rio Dewanto, varian Latte-nya mengungguli De’Koffie Mocha, apalagi yang Original. Secara keseluruhan De’Koffie terasa agak masam. Apa memang begini rasa kopi asli Indonesia? Bukan berarti tidak enak sih, tapi kesan itulah yang tertinggal di lidah. Entah apa itu yang dimaksud dengan “Kaya Rasa Kopi” (“Rich Coffee Taste”), yang menurut keterangan di kemasannya bahwa produk ini “diproses dengan pemulihan aroma kopi”. Tapi yang menarik adalah hadirnya ampas lembut kopi dalam De’Koffie sehingga membuatnya bagai kopi asli (non-instan) seduhan sendiri.

Produk Good Day, sebaliknya. Terasa sangat ‘Indonesia’. Indonesia gimana maksudnya? Maksudku kopi Good Day, baik Tiramisu Bliss maupun Funtastic Mocacinno tidak sanggup membekas di lidah selain rasa manis belaka, rasa kopinya sangat ringan dan terbantu oleh aromanya. Bagiku Tiramisu Bliss Coffee sedikit lebih nikmat dibanding Funtastic Mocacinno Coffee.

Melihat banyaknya pemain kopi yang bertarung di kopi botolan, tinggal menanti siapa yang akan bergabung selanjutnya, Kapal Api atau Wings Food mungkin?

(Jino Jiwan)

0 komentar: