Plural Plural Apaan Sih?

23.25.00 jino jiwan 0 Comments

Semakin ke sini kata pluralitas kian membingungkan. Adakah ia sama dengan sekularisme? Apakah ia sama dengan multikulturalisme?

Sebagai muslim yang belum teramat taat, aku tidak paham dengan orang beridentitas Islam yang gaya-gayanya itu mau sok “mengakomodir perbedaan” (bukan sekedar menerima perbedaan), tapi jatuhnya malah mencampuradukan antara yang memang tuntunan (sunnah) agama dengan penafsiran dirinya sendiri.

Ambil contoh ketika ada yang menanyakan kabar, orang ini malah menjawab “puji tuhan, kabar baik.” Temannya ini yang menanyakan kabar karuan alisnya berkerut, terheran lalu menanyakan alasan dia menjawab seperti itu. Orang ini lalu menguraikan bahwa “Alhamdulillah kan artinya sama saja dengan puji tuhan.” Padahal jawaban demikian sangat ambigu karena kita sudah memasuki wilayah simbol. Simbol yang amat kuat, sehingga anak TK saja mungkin tahu arahnya. Lalu apa selanjutnya? Mengubah “Allahuakbar” (dalam ibadah sholat) jadi “Tuhan Yang Agung” hanya karena artinya sama?

Ini pula yang digunakan jadi mainan oleh para capres cawapres tempo hari. Biar dibilang peduli nan toleran ber-bhineka-is-pluralis sejati, mereka menyampaikan salam panjang yang tidak lazim dirangkai namun tak punya makna jelas. “Assalamualaikum, Om Swastiatu, Shalom, Selamat malam.” Coba saja diartikan kata-per-kata, apa ada maknanya? Tidak, maknanya sudah hancur lebur demi kepentingan sesaat. Ujungnya jelas, mereka ini cuma mau meraih suara dari orang-orang yang menurut sangkaan mereka tengah tersingkirkan dalam struktur sosial masyarakat.


Plural yang menjadi tujuan seharusnya bukan mau mengaburkan batas atau identitas. Jika identitas kian kabur, maka bukan keragaman lagi namanya. Arah pluralisme yang mencong seperti ini layak dipertanyakan karena berpotensi memecah belah. Menerima perbedaan sebagai identitas bukan berarti menyatukan keberbedaan menjadi ketunggalan. Menghormati perbedaan bukan dengan cara merayakan hari raya keagamaan secara bersama-sama atau menghadirinya dengan alasan agar saling memahami nilai-nilai sang Liyan. Mengetahui dan menyadari perbedaan, tidak mengganggu lainnya dengan saling melihat ke dalam diri masing-masing sembari menjauhi dominasi dapat sebagai langkah awal yang sudah lebih dari cukup untuk menjaga perbedaan tidak meretak. Untukmu lingkupanmu, untukku lingkupanku. 

0 komentar:

Kontemplasi Jilbab

13.26.00 jino jiwan 0 Comments

Bagiku jilbab (atau hijab?) mampu memengaruhi persepsi mengenai kecantikan seorang perempuan. Jika ditanya seperti apa perempuan ideal untuk dijadikan pasangan hidup, salah satunya aku akan menjawab: “kalau bisa sih yang berjilbab.”  Tentunya bukan yang terus-terusan berjilbab sampai-sampai di dalam rumah (atau di depan suaminya) pun berjilbab, melainkan berjilbab yang proporsional—yang cerdas menempatkan sandangannya dalam beragam situasi.


Barangkali ini ada hubungannya dengan pendidikanku di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyaah (MA), sehingga membuatku terbiasa bertemu perempuan berjilbab. Teman-teman perempuan di sekolah masih bisa tampil menawan hati dalam balutan seragam jilbab. Jilbab sama sekali bukan penghalang untuk menunjukkan pesona diri mereka. Buatku yang ada malah rasa “hormat” (mendekati salut), karena pastinya tidak mudah untuk mengenakan jilbab di negeri tropis nan lembab seperti Indonesia. Maksudku, laki-laki tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya memakai jilbab, ya kan?

Memang benar “berjilbab” tidak serta merta membuat si perempuan ini seorang yang taat pada perintah Tuhannya, tidak lantas membuat dia paling mulia dan bebas dari perbuatan jelek. Sering sekali kudengar ucapan-ucapan berkesan meremehkan semacam, “kalau hanya kepalanya yang berjilbab, toh percuma saja,” atau “yang penting mah hatinya berjilbab.” Namun ucapan model begini cenderung menafikan bahwa jilbab sendiri adalah simbol. Setidaknya perempuan yang berjilbab sudah meraih dan menerapkan simbol itu pada dirinya untuk ditunjukkan dalam interaksinya dengan orang sekitar terlepas apapun tujuannya.

Mau jilbab yang dikenakannya itu masuk ‘genre’ jilbab gaul atau jilbab lebar tidak masalah buatku, kecuali...jilbab ninja alias jilbab bercadar. Jilbab bercadar membuatku tidak nyaman. Aku merasa itu tidak terlalu elok bahkan sok, terlebih yang seluruhnya berwarna hitam dari atas hingga bawah. Seperti ada sesuatu dalam diriku mengatakan bahwa pemakai jilbab model ini adalah seorang yang fanatik atau fundamentalis. Suatu prasangka memang, yang aku sendiri tidak yakin apakah prasangka ini bentukan dari tontonan atau bacaan tapi begitulah kenyataannya. Selain itu jilbab bercadar telah merenggut identitas pemakainya. Dari mana kita bisa mengenali dia jika hanya matanya yang tampak? 

Bukankah wajah adalah bagian identitas paling utama? Meski begitu sebagai laki-laki aku juga harus mengakui bahwa wajah perempuan (meskipun ia berjilbab) masih berpotensi mengalihkan perhatian dan waktuku walau itu hanya sekelebatan, lagi pula ‘pengalihan’ ini juga tidak memberi kebaikan bagiku. Dari sini aku berusaha menghargai perempuan-perempuan bercadar yang berniat hendak menjaga diri, meskipun masalahnya mungkin dari keegoisan laki-laki sendiri.

Lumrahnya perempuan muslim Indonesia yang berjilbab patut disyukuri. Sedikitnya ini menunjukkan mereka bangga dengan keislaman mereka dan tidak takut dengan prasangka buruk di luar sana tentang jilbab. Sayang memang jika jilbab sekarang seolah hanya jadi sekedar tren, dan yang namanya tren tentu akan cepat menguap lalu lenyap. Di sisi lain, hati ini ikut senang menyaksikan kreasi-kreasi model jilbab baru yang unik dan menarik, namun kebaruan sekaligus menggerus hakikat sejati dari jilbab. Maknanya jadi bergeser. Jilbab berubah jadi penarik perhatian (lawan jenis) yang mana bukan begitu tujuan awalnya. Ataukah tren jilbab itu termasuk “hidayah” yang senantiasa didengungkan? Akan jadi pertanyaan yang sulit dijawab.

(Restu Ismoyo Aji)


0 komentar:

Estetika Desain dan Refleksi Diri

01.14.00 jino jiwan 0 Comments

Estetika dalam dunia desain (utamanya) komunikasi visual sering menimbulkan perdebatan, karena konon konsep tentang keindahan—yang merupakan padanan kata dari estetika—tidak selalu mengalami kesepakatan. Bahwa suatu keindahan atau kecantikan akan berbeda bergantung pada siapa yang menilai. Misalnya ketika seseorang diminta memberi penilaian terhadap sebuah karya desain. Bisa jadi orang itu akan mengatakan “bagus,” sedangkan orang lain dapat mengatakan sebaliknya. Sebuah isu subjektivitas tak berkesudahan.

Gerandong
Udang Grandong?
Kita semua setuju “estetika” dipadankan dengan “keindahan.” Tetapi keindahan seperti apa sih yang diawang-awangkan ini, apa yang menjadi ukurannya? Samakah ia dengan “kreativitas” yang seringkali digumamkan seseorang dalam memandang suatu karya...katakanlah iklan, “hm, kreatif nih iklan!” Sementara ada saja desain yang dicap “terlalu sederhana,” dilabeli “wagu,” dan “ndeso.” Namun sesungguhnya mereka menyimpan estetikanya sendiri yang lebih layak diapresiasi, desain-desain yang kadang telah disesuaikan dengan apa yang menjadi tujuannya, meskipun hal ini barangkali tidak disadari sepenuhnya oleh desainer tersebut.

Estetika dalam desain (utamanya Desain Komunikasi Visual) perlu bergerak dari prasangka orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa “keindahan” dalam desain berbeda ruang dari kreativitas. Pun kreativitas sendiri harus terus didorong supaya tidak terjebak dalam kesetaraan arti dengan “kenyelenehan-keanehan-kekomedian-(menimbulkan) keterkejutan” semata, seperti yang sering diterima secara luas bahkan oleh desainernya sendiri. Keduanya, estetika dan kreativitas adalah satu.

Khas Ciamis
Estetika "Basreng"
Estetika butuh makna ‘baru’, pemahaman baru. Yaitu keindahan yang memiliki dan mengandung tujuan. Tujuannya boleh jadi mulia tapi bukan dalam bingkai moral (semata) melainkan ber-tujuan yang bijaksana dan bertangung jawab dalam praktiknya. Pada tujuan inilah estetika dapat bebas bermain-main. Namun, yang paling penting adalah bagaimana tujuan ini dikomunikasikan, karena kunci untuk membuat sebuah gerakan adalah pada komunikasi.

Permainan estetika membutuhkan etika. Etika di sini harap tidak dimaknai sebagai seperangkat aturan yang mengekang kebebasan dalam mengekspresikan apa yang dituju oleh desainer. Karena etika letaknya ada di depan sebelum seorang desainer mulai mendesain, ia tidak sama dengan hukum yang menjatuhkan vonis setelah pelanggaran terjadi.

Etika dalam mendesain diperoleh dari refleksi diri terhadap pengalaman. Pengalaman hendaknya mampu mengendalikan seorang desainer dari keinginan untuk melayani hasrat liar estetik-nya yang kerap kali tanpa kejelasan. Pengalaman desainer mengatakan bahwa sering terjadi negosiasi—dalam arti sebenarnya—dalam arti yang sudah sering kita dengar sehari-hari. Pertanyakanlah pada diri: pantaskah desain ini untuk suatu khalayak tertentu? Apakah waktunya sudah tepat? Sesuaikah pesan-pesan yang akan disajikan kepada khalayak? Adakah yang harus dikurangi atau ditambahkan? Akankah desain ini diterima dan tidak menimbulkan kehebohan (atau justru ingin agar ada kehebohan)? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah bentuk negosiasi baik dengan diri sendiri maupun dengan orang-orang yang (mungkin akan) berkepentingan terhadap desain itu.

Koleksi kemasan teh
kemasan teh pun punya estetika
Desainer yang baik bukan hanya berpikiran menjual atau menanamkan pesan saja, namun yang mampu menghayati bagaimana tujuannya bisa dikomunikasikan, jika sudah maka ia pasti dapat mengatasi pertanyaan-pertanyaan di atas dengan mudah. Refleksi diri selain sebagai etika juga berfungsi sebagai objektivisme yang subjektif atau subjektivisme yang objektif. Dengan begini persoalan estetika yang sarat akan perspektif berbeda dapat teratasi.


Dalam industri desain yang hitungannya berbau uang dari menit hingga jam, seorang desainer seringkali tidak mungkin melakukan penelitian detail seperti idealnya ketika mahasiswa menggarap tugas kuliah, terlebih tugas akhir yang merupakan proyek besar akademiknya. Keterbatasan ini tentu bukan penghalang bagi desainer. Sebaliknya rangkaian ini sudah menjadi setelan-wajib desainer. Tak ubahnya seperti seperti pemain sepakbola yang sudah bisa memperkirakan apa yang akan dilakukannya atau akan dibawa ke arah mana bola dikaki. Rangkaian ini sudah menjadi kebiasaan atau lebih tepatnya “jiwa” seorang desainer. 


Desainer harus bangga karena mereka bukan hanya sibuk merenung dan memikirkan atau hanya sampai dalam tahap mencoba menjelaskan atau mencoba menawarkan solusi abstrak. Mereka sudah melebihi dari apa yang dilakukan para kritikus/filsuf visual, sebab desainer sudah melakukannya sendiri, telah membuat tindakan. Mereka menawarkan solusi nyata yang dengan itu mereka jadi punya pengalaman yang kemudian akan digunakan untuk belajar tanpa henti dengan tidak hanya mendekonstruksi tapi juga merekonstruksi segala fenomena visual (yang sosial) dari refleksi diri demi tercapainya kebaruan-kebaruan dalam desain. 

0 komentar: