Mediatisasi Photoshop

00.15.00 jino jiwan 0 Comments

Suatu hari ketika aku masih bekerja di sebuah perusahaan jasa desain grafis, ilustrasi manual yang tengah digarap tanpa sengaja tercoret pada bagian yang tidak diinginkan, dan itu tidak gampang dihilangkan begitu saja karena dibuat memakai drawing pen. Saat itulah sekilas aku membayangkan betapa asyiknya jika bisa meng-undo coretan itu macam software komputer yang biasa kupakai tanpa harus bersusah payah menggambar ulang di kertas baru. Tinggal menekan tombol Ctrl dan Z pada papan ketik, masalah pun terselesaikan. Nyaris tidak disadari pola pikir demikian hampir selalu terlintas: andai kehidupan nyata ini seenak operasional komputer.

Untungnya produk akhir desain grafis selama bekerja di perusahaan tersebut seluruhnya memang harus dicetak sehingga gambar mentah tetap perlu melewati proses pengeditan. Pada akhirnya penggunaan mesin pemindai dan komputer tetap wajib. Setelah ditransformasikan dalam format digital salah coret tadi tinggal dihapus memakai penghapus virtual (yang namanya eraser!), dilanjutkan mempertajam goresan dengan memainkan gamma correction, levels, atau curves, dari sini gambar lalu diwarnai dengan kuas (brush) atau paint bucket tool sesuai keinginan. Semua dilakukan via Adobe Photoshop. Kedengaran sangat teknis sih, tapi percayalah langkah-langkah tadi tidak lebih rumit dibandingkan bila mengerjakan rangkaian proses menggambar itu murni secara manual. Proses desain, menggambar, dan mengolah foto telah dimudahkan (boleh dibaca: diambilalih) sepenuhnya oleh Photoshop.

Photoshop merupakan software pengolah gambar raster (gambar yang berbasis dot dalam grid pixel) buatan Adobe System yang dibuat untuk  Windows dan Mac. Photoshop jelas bukan satu-satunya pemain di pasar pengolah gambar, ada puluhan lainnya namun kalah populer. Wikipedia sampai menyebut Photoshop sudah menjadi standar industri pengolahan gambar raster secara de facto. Aku sih menduga kepopuleran Photoshop berkaitan dengan momentum kemunculannya yang  bertepatan dengan kelahiran kamera-kamera digital kelas compact (atau kerap disebut kamera saku), selain karena memang pionir dalam software pengolah foto. Saking populernya muncul istilah Photoshoping atau Photoshoped untuk menyebut proses pengolahan dan objek gambar/foto hasil olahannya, terlepas dari software yang digunakan.

Iya, aku masih pakai Cs3. Karyaku ada di deviantart jika mau lihat
Terimakasih pada Thomas dan John Knoll yang mulai bekerjasama membuat tools pengolah foto agar bisa diterapkan pada komputer personal di akhir 1980-an. Mereka mungkin tidak pernah menduga bahwa apa yang berawal dari minat mereka pada fotografi, ruang gelap, dan komputer Mac bakal sepopuler saat ini. Karya mereka ImagePro dilirik oleh perusahaan software Adobe lalu disempurnakan menjadi apa yang dikenal sekarang sebagai Photoshop (http://www.storyphoto.com/multimedia/multimedia_Photoshop.html). Sejak tahun 1990 itulah revolusi dalam fotografi merebak. Perlahan peran kamar gelap dan rol film 135 mm tergantikan oleh kian umumnya kamera digital dan penggunaan Photoshop.

Tak Bisa Tanpa Photoshop
Dalam konteks fotografi Photoshop umum digunakan untuk memanipulasi gambar/foto, dari operasi sederhana semisal memotong foto (cropping), mencerahkan-menggelapkan gambar, mengubah nuansa warna, menghilangkan jerawat dan kerutan atau memuluskan kulit pada foto wajah, hingga ke hal yang lebih kompleks seperti digital imaging berupa penambahan atau penggabungan dua atau lebih objek dalam satu gambar. Sedangkan dalam konteks proses desain grafis dan menggambar (membuat ilustrasi) Photoshop kerap digunakan dalam penataletakan (pengomposisian), pewarnaan gambar, penambahan huruf, sampai ke konversi format file.

Kenyataannya keseharian profesi-profesi seperti desainer grafis, ilustrator, dan fotografer baik amatir maupun profesional memang telah sangat dimediatisasi oleh Photoshop. Photoshop mampu menggantikan kerumitan manual sampai-sampai orang secara sukarela beradaptasi. Beralih dari kerja manual ke digital dan berubah menjadi “pengguna” yang masuk dalam ketergantungan, sehingga pemakaian Photoshop dirasa sangat perlu dan (seolah) tidak tergantikan. Lebih jauh lagi, orang dengan profesi-profesi di atas lalu diidentikkan dengan Photoshop dalam menjalani pekerjaannya. Desainer grafis dianggap sebagai desainer grafis bila dia duduk menghadap komputer mengerjakan desain di Photoshop, demikian berlaku bagi “ilustrator” yang menggambar dan mewarna pakai Photoshop dan “fotografer” yang mengolah foto dengan Photoshop. Hebat ya? 

Hal yang kurang lebih serupa sebenarnya juga terjadi pada hampir segala profesi kantoran, ketika proses tulis menulis telah tergantikan secara umum oleh (salah satunya) pengoperasian Microsoft Office (terutama Microsoft Word), profesi tertentu seperti sekretaris menjadi terikat dengannya. Modernitas dan teknologi telah menggantikan kerja manual ke arah apa yang dinilai lebih cepat dan efisien.

Pengguna yang Dimediatisasi
Mediatisasi menurut Hjarvard (2008) terjadi ketika muncul proses perubahan kondisi sosial yang disebabkan oleh perubahan media. Media dengan logikanya telah menjadi institusi independen yang terkait dengan institusi lain dalam kehidupan masyarakat sehingga masyarakat akan beradaptasi dan menjadi bagian dari institusi itu bahkan menciptakan ketergantungan.

Mediatisasi Photoshop yang terjadi adalah yang disebut Hjarvard sebagai mediatisasi langsung (direct mediatization), sebuah mediatisasi yang “kuat” karena menggantikan kegiatan yang sebelumnya dilakukan dengan bersentuhan langsung menjadi termediasi. Selain itu aforisme McLuhan (Eymeren, 2014) paling dikenal: “Media adalah Pesan” merujuk keadaan bahwa media memiliki karakter yang mempertajam asosiasi manusia pada skala ruang dan waktu serta tindakan. Media memperpanjang ‘tangan’ manusia untuk berbuat lebih daripada yang bisa dilakukan sebelumnya. Pembabakan era menurut McLuhan menyebut pula bahwa setiap era akan mengandung apa yang sudah dipakai pada era sebelumnya.

Dengan Photoshop, seorang fotografer dapat memoles ulang (retouch) foto, menambahkan filter sesuai keperluan untuk mendapatkan efek-efek yang tidak dapat diperoleh dari segi praktikal sehingga dia tidak perlu memotret ulang dalam kondisi yang sama. Metafora-metafora (terutama visual) juga diadaptasi dari kamera dan aksesorisnya. Ambil contoh menu filter dan photo filter dalam Photoshop.

Dalam Photoshop istilah brush (kuas) masih dipertahankan, padahal tidak benar-benar ada kuas berupa alat lukis dari batang kayu berbulu di ujungnya melainkan kuas virtual yang hanya representasi kuas di alam nyata. Photoshop menggantikan tangan pengguna dalam memegang kuas dengan perantara mouse. Pengguna tidak perlu repot lagi memilih kualitas cat, mengaduknya dengan air atau minyak untuk menemukan campuran yang pas, atau mencuci kuas dan palet yang kotor. Semua proses ini sudah diperantarai parameter-parameter visual yang virtual. Artinya teknologi ini mampu memperpanjang fungsi tubuh manusia, bahkan mampu menutupi keterbatasan kemampuan (skill) manual dari penggunanya.

Schulz dikutip Hjarvard (2008) menyebutnya sebagai peleburan aktivitas yang menggantikan interaksi langsung desainer dengan alat-alat gambar manual. Dalam situasi demikian Photoshop jelas memudahkan pekerjaan seorang desainer grafis, ilustrator, dan fotografer. Belum tentu seorang desainer grafis/ilustrator yang kemampuan manualnya kurang, maka karya digitalnya akan kurang. Meskipun jelas apa yang bisa dicapai pada pengerjaan manual tidak akan bisa dicapai dengan digital, terlebih lagi sebaliknya. Tetapi pengerjaan digital di Photoshop makin menyamai pengerjaan manual. Terkadang sampai dalam tahap di mana pengguna Photoshop tidak lagi merasa perlu tahu cara kerja software, dan merasa tidak perlu tahu atau merasa tidak peduli lagi pada repotnya cara kerja manual lalu melupakan dan tidak ingin menostalgia lagi selain dengan tujuan membandingkan nyamannya proses berkarya yang telah dimediatisasi oleh Photoshop.


(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)

0 komentar: