Gadis Bakso

17.02.00 jino jiwan 3 Comments

Pembaca yang budiningsih (“budiman” sudah terlalu mainstream). Berikut ini adalah cerita mengenai cinta, kasih, dan pengorbanan manusia. Cinta bukan hanya timbul dari sepasang kekasih (baik hetero maupun homo). Cinta pun bisa pada makanan. Kadang bahkan kecintaan pada makanan bisa mengubah jalan hidup seseorang. Cerita ini diinspirasi dari orang-orang nyata yang barangkali berada di dekat anda, cobalah tengok kisaran anda. Harapanku sebagai pengetik, semoga pembaca yang budiningsih tidak beroleh hikmah apapun dari kisah ini.

...
Tersebutlah seorang gadis yang hidup di tengah kepadatan kota di antara sesaknya tetumbuhan beton-beton. Namanya tidak diketahui namun orang-orang mengenalnya dengan sebutan “Gadis Bakso” karena gadis ini pencinta bakso dan makan bakso setidaknya setiap dua hari sebanyak enam porsi.

Berlawanan dengan hobinya terhadap bakso, wajahnya justru bergelimang cahaya dan termasuk manis pada zamannya. Barangkali ini disebabkan sejenis minyak dari bakso yang keluar dari setiap pori-pori wajahnya, minyak itulah yang melumasi sekujur wajah dan membuat sinar matahari memantul. Dengan begitu wajahnya pun bercahaya.


bakso
Gadis Bakso menurut tafsir seorang ilustrator
Pada suatu hari Gadis Bakso datang ke warung langganannya, “Warung Bakso Bawang Uleg” yang terletak di pengkolan jalan lingkar kota. Perutnya tengah bergemerincing saking laparnya. Sudah tiga hari ini dia tidak makan (bakso). Tapi betapa kecewanya dia mendapati warung bakso itu tutup.

“Aduuhh...kok tutup ya?” Gumam Gadis Bakso. Kamu bisa mendengar suaranya biarpun mulutnya mengatup  karena aslinya cerita ini adalah naskah FTV yang gagal dibuat. “Ah, kali aja warung bakso Pak Brewok buka. Ke sana ah.” Gadis Bakso melangkah dengan hati riang seperti raut mukanya yang selalu disetel ceria itu. Setibanya di depan warung bakso Pak Brewok, dia terdiam dan bermenung. Warung itu juga tutup.
Tiba-tiba...

Seseorang menabraknya. Gadis Bakso terdorong, ia terjerumus ke trotoar yang berlubang. Bajunya jadi belepotan air selokan yang mambu bukan kepalang.

“Aduuhh...eh, astaghfirullah...innalillah...” Gadis Bakso berusaha bangkit tapi selokannya lebih dalam dari tinggi tubuhnya.

Seorang yang menabraknya ternyata adalah seorang laki-laki berbadan tegar. Perawakannya bagai laki dari Bima, eh...maksudku seperti Bima karena dadanya lebat berbulu, tanda seorang lelaki jantan.

“Kamu diem di situ kok gak pake mata?!” hardik laki yang seperti Bima itu dengan nada tinggi. Dari dalam selokan Gadis Bakso hanya melihat siluet. Laki yang seperti Bima mengulurkan tangannya untuk menolong Gadis Bakso. Tapi Gadis Bakso tiada menyambut. “Kenapaa?!”

“Saya,...kita bukan muhrim...” Gadis Bakso menunduk.

Saat itu juga laki yang seperti Bima itu tertegun. Baru kali ini selama hidupnya ada gadis yang seperti ini. Sudah keadaannya terdesak tapi masih mampu menjaga diri. Laki yang seperti Bima itu segera memakai sarung tangan sepeda motor. Diulurkannya sekali lagi kedua tangannya. Kali ini tangannya disambut. Gadis Bakso pun diangkatnya keluar dari selokan. Seketika itu juga dia terpesona dengan wajah Gadis Bakso yang bermandi cahaya...meskipun bau selokan.

“Aku dikenal sebagai Pria Tongseng karena aku suka makan tongseng, siapa namamu? Sudah menikah belum?” nada suara laki yang mengaku bernama Pria Tongseng mendadak terdengar lunak nan lembut.

Pertanyaan yang serba ada apanya membuat Gadis Bakso bertingkah seperti kucing Persia dilempari ikan asin murahan, malu-malu tapi mual. “Nama saya Gadis Bakso, jangankan menikah...pacaran saja belum Mas...” jawab Gadis Bakso dengan nada getir.

“Jadi kamu Gadis Bakso yang terkenal itu?”

Gadis Bakso hanya mengangguk sambil menundukan pandangan mengulum senyum.
“Maaf tadi aku nabrak kamu.” Pria Tongseng menoleh, di dapatinya warung bakso Pak Brewok tutup. “Kamu lagi mau nyari bakso ya?”

Lagi Gadis Bakso hanya mengangguk sambil tetap menundukan pandangan mengulum senyum.

“Emang kamu belum dengar? Harga daging sapi kan lagi mahal. Mereka gak pada kuat beli daging sapi. Jadi semingguan ini mereka pakai daging tikus atau celeng atau semacamnya, aku gak yakin...karena ketahuan mereka pun digerebek warga.” Pria Tongseng mengatakan itu semua seolah tanpa dosa.

Demi mendengar kenyataan itu Gadis Bakso hanya menggeleng sambil tetap menunduk, tapi kali ini senyumnya pudar. Perutnya mendadak bergemuruh, gemuruh itu naik ke dada. Ia berusaha menahan gejolak itu tapi gagal, di tambah aroma selokan yang di sekujur bajunya kian tajam saja menusuk hidung. Jadilah ia menyemburkan muntahan mengeluarkan sisa-sisa bakso dari tiga hari lalu yang telah diolah dalam perut. Muntahan itu mengucur deras menyerbu dada bidang Si Pria Tongseng.

Kini giliran baju dada celana Pria Tongseng yang belepotan. Belepotan serpihan mungil bakso tiga hari lalu yang mendekam di usus Gadis Bakso. Ujudnya sudah kehijauan dan berlendir. Aromanya segar, khas muntahan yang diperam lama.

Sisa muntahan berwarna keputihan mengalir di sudut bibir Gadis Bakso. Dia bahkan tidak berusaha menyekanya. Pria Tongseng yang tadi niatnya mau mentraktir semangkuk tongseng pun jadi kehilangan selera. Tanpa berkata sepatah kutukan pun Pria Tongseng balik badan dan berlari sekencangnya menuju kosnya sambil berharap akan menabrak gadis lainnya, Gadis Soto, Gadis Gado-gado, atau Gadis Mi Afuy barangkali, kita tidak tahu pasti.

Demikianlah, mereka pun hidup menempuh jalan masing-masing dan bahagia selama-lama-lamanya. Mereka lalu berjalan menuju matahari tenggelam yang berwarna jingga dengan pasangannya masing-masing. Musik yang indah pun mengalun syahdu seiring tulisan SEKIAN yang muncul di layar komputermu. Petualangan Gadis Bakso (Insya Allah) masih akan berlanjut. Menjelajahi dan menyambangi setiap warung-warung bakso yang berdiri di dekat kos atau rumahmu. Nantikan hikayat Gadis Bakso #2.

...

Cerita ini fiktif belaka. Bila terdapat kemiripan dan kesamaan dengan orang-orang di kehidupan nyata di sekitar anda, hal tersebut (mungkin bukan) kebetulan semata wahai pembaca yang budiningsih.

Jino Jiwan

3 komentar:

Asal Usul Banyumambu

18.21.00 jino jiwan 4 Comments

Konon pada zaman ketika dinosaurus masih hidup, kali-kali di daerah (yang sekarang dikenal dengan nama) Jakarta tidaklah se-mambu seperti saat ini. Setidaknya tidak mambu-mambu banget. Itu terbukti dengan temuan penelitian terbaru Prof. Paleojavanicus bahwa di fosil usus dinosaurus (spesies: Entahlahsaurus) yang ditemukan di daerah Kalimantan tidak terdapat residu air mambu kali Jakarta. Karena itulah mambunya kali-kali Jakarta hingga saat ini masih menjadi misteri yang membuat bingung para ahli (atau yang merasa dirinya ahli).

Berdasarkan penelusuran ngawur yang dilakukan oleh seorang jurnalis sesat yang menerapkan metode etnoacakkadut terungkaplah cerita sebab musabab mambunya kali Jakarta. Kisah ini dituturkan kepadaku sebagaimana penuturan Si Jurnalis Mletho ditemani secangkir kopi panas di sebuah kantin kampus terkenal. Kisah ini  tentu sudah mengalami pemblasukan seperlunya sesuai kaidah yang diakui olehku sendiri. Oh, dan aku sudah sediakan kamus atau daftar kata-kata rumit dalam ketikan ini. Selamat Menyiksadiri.

...
Pada tahun sebelum ada tahun, terdapatlah sebuah kerajaan bernama Banyupetak. Kerajaan ini wilayahnya luas sekali belum lagi istananya yang berhektar-hektar lebarnya, lebih luaslah daripada sawah plus rumahmu apalagi kamar kosmu yang apek itu. Dan sama seperti kisah negeri dongeng lain, rakyat kerajaan ini ceritanya hidup sejahtera gemah ripah loh di Jawi, dan tentu saja serba nrima apa adanya.


Peta kuno kerajaan Banyupetak (hijau), daerah yang kuning adalah istana raja
Seperti nama kerajaannya, sang raja bernama Raja Banyupetak. Dia adalah raja yang bijak lagi sana sekaligus narsis (menurutku) karena menamai kerajaan sesuai namanya sendiri. Raja Banyupetak beristrikan seorang ratu yang termasyur kecantikan dan kemolekannya pada masanya bernama Banyuputih. Ratu Banyuputih tingginya kira-kira lebih tinggi sedikit dari Si Jurnalis Mletho, kulitnya sebetulnya tidak secerah namanya, tapi bolehlah jika kau bayangkan dia seperti Raisa, kata Si Jurnalis. Aku sendiri tidak membayangkan Ratu Banyuputih sebagai Raisa, aku membayangkan dia seperti artis porno favoritku atau...favoritmu juga bisalah atau siapa saja terserah kepadamu. Jika kau bayangkan dia seperti dosenmu yang paling hot juga sakarepmu.

Dikisahkan, hingga tahun ketujuh perkawinan mereka belum juga diberi keturunan. Andai ketika itu Sang Raja mau kawin dengan putri-putri kerajaan lain mungkin dia sudah beroleh calon-calon putera mahkota, tapi Sang Raja tetap setia dengan satu istri saja. Setidaknya yang diakui. Mereka sudah mencoba berbagai cara, berbagai posisi, dan berbagai lokasi tapi hasilnya tetap nihil.

Suatu hari Raja Banyupetak hendak melupakan masalah ini dengan berburu. Kegemarannya memang berburu dinosaurus. Ketika dia tengah mempersiapkan diri untuk berburu, Si Jurnalis menampakkan batangnya (mungkin hidung mungkin yang ‘lain’nya) maka diapun diajak ikut bersama rombongan berburu. Mereka mengendarai makhluk semacam salamander sebesar kuda, kata Si Jurnalis. Aku bertanya apakah makhluk itu sejenis trenggiling? Si Jurnalis Mletho malah bertanya balik trenggiling itu apaan? Karena malas menjelaskan aku biarkan dia melanjutkan ceritanya.

Untuk lebih mudahnya mari kita anggap saja mereka saat itu sudah berbicara dengan bahasa Indonesia yang fasih meski belum dengan tata bahasa baku, kata si jurnalis. Aku setuju saja. Kata dia bahasa yang digunakan di masa itu sangat sukar binti sulit. Butuh waktu tahunan dan teknik khusus untuk menguasainya sebagaimana dia lakukan. Bahasa Banyu begitu mereka menyebutnya. Rombongan pun berangkat menuju Hutan Larangan (karena namanya selalu begitu, kata Si Jurnalis). Di Hutan Larangan segenap makhluk bersemayam, termasuk para dinosaurus paling mengerikan yang pernah ada.

“Hai Jur,” Sang Raja memanggil Si Jurnalis, “aku ingin kau melihat aku berburu dinosaurus.”

“Dinosaurus yang macam mana Tuanku?” tanya Si Jurnalis.

“Dinosaurus satu ini amat lihai karena dia bisa terbang dan menyelam sekaligus. Bentuknya ganjil lagi aneh.” Raja menghentikan kudanya, eh...salamandernya. Dia turun dan merentangkan busur dengan mata panah setajam silet dan mengarahkannya ke leher Si Jurnalis.

Si Jurnalis bingung dengan tindakan Raja. “Merunduk!!!” Teriak Raja.

Begitu Si Jurnalis merunduk seketika itu juga anak panah melesat dan mengenai seekor dinosaurus di atas pohon. Dinosaurus itu bergedabrukan kemudian berkebyuran ke kali di dekatnya. Rombongan pemburu segera mendatangi dinosaurus yang telah jatuh ke air itu. Setelah diangkat dari air oleh para prajurit kelas coro tampaklah seekor dinosaurus yang tidak jelas bentuknya, antara katak, cacing, dan gajah.

Tiga makhluk ini perlu melakukan "Fusion" seperti Trunks dan Goten di DBZ
untuk melihat ujud dinosaurus yang dimaksud
“Apa nama dinosaurus macam ini Rajaku?” tanya si Jurnalis.

“Entahlah...” Jawab Raja termangu, “tapi sepertinya dagingnya tak enak di makan. Lempar kembali ke air!”

Para prajurit kelas coro itu pun mendorong bangkai dinosaurus malang, membiarkannya jadi santapan ikan.

Sore harinya rombongan pemburu itu pulang.

...
Waktu pun berlompatan. Suatu hari Raja Banyupetak bergembiraria, rupanya Ratu tengah mengandung. Akhirnya berhasil juga. Tiap hari Sang Raja mengelus-elus perut ratunya yang makin membesar dan membesar (bayangkan Raisa hamil, Bung! Betapa seksinya). Hingga tanpa terasa tiba bulan-nya melahirkan. Sang Raja gelisah menanti anak pertamanya dan cemas akan keselamatan Sang Ratu.

Anak yang dilahirkan Ratu Banyuputih ternyata bukan berbentuk umumnya manusia. Dia masih berujud...bayi tentu saja. Tapi bayinya lebih mirip seekor dinosaurus yang tidak jelas antara katak, cacing, dan gajah, entahlah..., yang pasti ini membuat Raja Banyupetak murka dan malu.

“Dinda, kau tega nian selingkuh dengan dinosaurus yang entahlah namanya itu.” Sentak Raja saat menimang bayi itu, “kalau mau selingkuh mbokyao setidaknya sama Si Jur sekalian yang masih manusia, jadi aku punya alasan untuk memenggal lehernya.” Suaranya bergetar.

“Kanda, tega nian menuduhku berbuat seperti itu...” Isak Ratu Banyuputih. “Aku akan menerjunkan diri ke kali di depan istana bersama bayi ini.” Sang Ratu merebut bayi entahlah itu ke pelukannya.

Ratu lalu melanjutkan, “...jika aku memang selingkuh dengan dinosaurus yang entahlah itu maka banyu kali itu akan mambu. Tapi jika aku tidak selingkuh dengannya dan Kandalah yang kuwalat dengan si dinosaurus maka kali itu akan mambu.” Si Ratu berlari ke arah kali depan istana tanpa memberi kesempatan Raja untuk bereaksi. Tepat sebelum Sang Ratu menceburkan diri ke kali saat itu juga dia menyadari kesalahucapannya, tapi semua terlambat. Langit telah mendengar dan menggelegar. Sumpah telah dijatuhkan.

Semenjak itulah kali-kali di daerah (yang sekarang disebut) Jakarta jadi mambu.

...
Sewaktu kutanyakan bukti foto atau video kepada Si Jurnalis Mletho, dengan raut runyam dia langsung menyiramkan kopi panas dari cangkirnya ke arahku...tapi tidak kena, aku menghindar dengan sigap. Air kopi itu meluncur menodai rok seorang gadis yang naasnya kebetulan lewat. Jika ini adalah naskah FTV aku berani jamin Rp. 100 juta itu cewek pada akhirnya akan jatuh rindu ke pelukan si Jurnalis Mletho, tapi kenyataannya si gadis mendaratkan stiletonya ke jidat si Jurnalis Mletho. Kenaasan berpindah, akibatnya jurnalis kita kontal menabrak tembok sehingga cerita “Asal Usul Banyumambu” tidak rampung. Jadi ini adalah kesalahanku ketika separuh dari cerita di atas sebenarnya adalah hasil karanganku sendiri. Kuharap engkau tidak menyesali keputusanmu untuk membaca ketikan ini hingga rampung karena engkau tidak mendapat faedah apapun apalagi pesan moral yang berarti dari cerita ini.

Daftar kata yang sangat rumit:
Bahasa Banyu: adalah bahasa nasional kerajaan Banyupetak. Disebut begitu karena cara penduduk kerajaan ini bicara mirip seperti orang yang berbicara dalam air

Entahlahsaurus: adalah spesies dinosaurus temuan Prof. Paleojavanicus, seorang paleontologiawanistis yang terkenal di kalangan keluarganya sendiri. Entahlahsaurus diduga adalah dinosaurus berjenis antara karnivora dan herbivora yang hidup di masa...lalu. Fosilnya yang tersisa adalah usus sepanjang 2 meter. Ujud pasti Entahlahsaurus tidak diketahui hingga saat ini, tapi Prof. Paleo cukup yakin bahwa bentuknya mirip belut dan hidup di tiga tempat: pepohonan, udara, dan air

Etnoacakkadut: adalah metode yang diturunkan dari bukan-disiplin antroponari.  Metodenya adalah dengan cara menaiki mesin waktu untuk kembali ke masa lalu, ikut hidup bersama orang-orang masa itu, bertapa, belajar olah kanuragan, lalu kawin dengan orang di masa itu lalu menjadi kakek moyang untuk dirinya sendiri

Mambu: artinya sama dengan angin perut yang keluar dari perut dan kamu nikmati sendiri

Mblasuk: adalah seperti melemparkan diri ke pohon salak sambil telanjang bulat

MenyiksaDiri: adalah tidak bekerja tapi ikut kuliah mahal, tiap hari baca buku seberat 5 kuintal, jarang mandi jarang tidur sering melek, dan cuma bisa main game Solitaire, Zuma, dan Feeding Frenzy

Mletho: adalah seperti separuh otaknya yang ngetik ketikan ini dan seluruh otaknya yang selesai membaca ketikan ini

Rumit: adalah seperti hidupmu atau seperti ketikan ini yang dibaca secara serius seperti hidupmu yang selalu serius

(Jino Jiwan)

4 komentar:

Jalan di Pawai FKY 27

00.54.00 jino jiwan 0 Comments

Sore itu matahari berpendar hangat. Kadang awan menyela mencipta bayang-bayang teduh. Angin berembus sejuk menambah santai suasana. Pawai eDan-eDanan FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) ke 27 akhirnya dilepas jam setengah empat. Itulah yang dinanti-nanti. Warga tampak antusias meruyak tak karuan menyaksikan. Cukup ramai meski tidak terlalu juga. Tahu dari mana bila mereka antusias? Dari tingkah mereka yang berlintasan, berpose duduk berbaring berfoto dengan jiwa riang di tengah jalan Kaliurang selatan Selokan Mataram di kisaran kampus UGM. Jarangnya jalan aspal satu ini bersahabat dengan para pejalan mereka nikmati betul. Sungguh keramaian dalam ‘kelengangan’ yang tak biasa.

Jalanan lengang
Jalur arak-arakannya tidak panjang. Kurasa hanya tiga kali lapangan sepak bola. Jalur ini bagiku adalah jalur terbaik nan ideal untuk menggelar pawai (kecuali trotoarnya yang sudah diinvasi pedagang kaki lima) dibanding Jl. Malioboro atau jalan yang membentang dari UNY ke Bundaran UGM, atau Jl. Ahmad Dahlan ke Keraton yang selalu (terlalu) padat kendaraan dan manusia. Barangkali ini juga karena ajang Pawai FKY tidak seakbar Jogja Java Karnival yang sudah berapa tahun tidak dihelat. Yang jelas lebih sedikit enaklah disawang dibandingkan Festival Museum atau Pawai Pisowanan. Hanya sayangnya kendaraan pengiring di pawai kali ini tidak berhias alias apa adanya belaka. Aku tidak terlampau memperhatikan kontingen dari mana saja yang tampil. 

prajurit keraton

Ada rombongan orang berpenampilan layaknya “badut” atau mungkin berdandan ala punakawan (aku tidak mengerti). Ada prajurit keraton yang sudah embah-embah. Ada jathilan nan atraktif ada pula jathilan yang sudah loyo meski disorot oleh kamera para penonton. Ada pula marching band yang memainkan lagu-lagu kontemporer, cukup menghibur namun sepertinya butuh nasehat Ivan Gunawan soal kostum. Yang paling kuamati hanya wajah-wajah manis rombongan penari yang datang bergelombang, meliuk luwes lagi genit. Dalam hati aku berharap akulah yang digeniti para penari centil ini. Sampai kemudian aku sadar umur, mereka itu sepertinya anak-anak seusia SMA atau anak kuliahan yang didandani sampai kelihatan dewasa.

Genitnya...
atraktif dan kemayu
Rombongan penari yang satu ini cuma pakai kaus kaki

Ah, tanpa dirasa sudah nyaris jam 5 sore tapi pawai belum kunjung usai. Tampaknya iring-iringan masih panjang, sepanjang jarak antar peserta pawai yang mencapai puluhan meter. Padahal diri ini belum sempat ngashar. Tiba-tiba pula kepikiran tas yang kutitipkan ke Manajer KBM di kampus sana. Ya sudah, berbaliklah aku melangkah cepat di jalan-yang-bukan-trotoar. Kapan lagi bisa jalan bebas di jalan raya. Ya, kapan lagi? Tanpa sengaja aku melihat ke atas, burung-burung penghuni pepohonan UGM beterbangan kian kemari. Mungkin mereka penasaran dengan keramaian di bawah mereka. “Yah, manusia segitu gumunnya sama jalan sepi. Kami dong lewat langit yang lapang tiap hari. Kasihaan...”

0 komentar:

'Wakil Rakyat' dalam Wakil Rakyat Bermalam (2)

16.00.00 jino jiwan 0 Comments

Sambungan dari ketikan sebelumnya.

Idealisasi Wakil Rakyat

Acara ini jelas mau menunjukkan seperti apa wakil rakyat ideal. Kantor DPR RI yang nyaman dan sejuk menjadi awal sebuah perjalanan “jauh” yang akan dilakoni Si Anggota DPR RI (Sa’duddin). Anggota DPR RI kita rela meninggalkan kenyamanan ini demi menunaikan tugas. Perjalanan memakai mobil menunjukkan jauhnya jarak tempuh antara kantor DPR RI dan rumah konstituen di sebuah desa di Bekasi Utara. Perjalanan berlangsung dramatis lewat transisi gambar: ruang kantor, jalanan aspal sempit, sungai besar untuk disebrangi memakai perahu getek, dan sebuah desa yang dilawankan dari kemegahan kota. Desa di sini ditampilkan dengan membingkai pola pikir tertentu mengenai desa. Desa adalah ruang tidak tertata, sampah berserak di tepi jalan setapak, pohon-pohon pisang dan kelapa tumbuh tak teratur, hingga rumah Pak Adhim yang separuh berdinding batako dan anyaman bambu. Rumah Pak Adhim pun dikisahkan jauh dan sulit dijangkau sehingga perlu memakan waktu beberapa menit berjalan kaki.  

Drama dibangun kala tiga orang anak kecil datang mengamen di desa! Di emper sebuah rumah yang bukan rumah orang berpunya! Bagaimana mungkin tiga orang anak kecil mengamen di tempat semacam ini bukanlah pertanyaan. Sebab cerita ini dibuat demi pencitraan si anggota DPR. Saat malam datang satu keluarga duduk bersama di ruang tengah bersama Sa’duddin. Ruang tengah adalah ruang di mana keakraban setiap orang yang duduk di sana dibangun melalui perbincangan. Di sinilah puncak peran wakil rakyat (ideal) terhadap yang diwakilinya yaitu mendekati, mendatangi, dan memberi, untuk merasakan seperti apa jadi ‘rakyat’ dan memberi kesempatan bagi rakyat yang diwakilinya untuk menyampaikan aspirasi (alias mengobrol diselingi keluh kesah). Aspirasi yang (idealnya) akan dibawa ke ruang sidang untuk dibahas demi membuahkan kebijakan/Undang-Undang. Bukan soal apakah obrolan di ruang tengah adalah situasi yang sungguh terjadi dan nyaman bagi setiap orang yang terlibat. Yang penting adalah “peran” anggota DPR RI telah dimainkan dan sudah menjadi nyata lewat keakraban Sa’duddin dan keluarga Pak Adhim dalam ruang simulasi acara televisi.

Setelah wakil rakyat dan si rakyat berpisah dari layar kaca. Fokus tayangan malah beralih pada kegiatan Sa’duddin. Di sini Wakil Rakyat Bermalam berfungsi jadi semacam kendaraan demi menampakkan kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan. Ini bisa dilihat dari rangkaian adegan-adegan sebelumnya. Acara ini lalu menjadi ajang bagi anggota DPR RI untuk memamerkan/ memasarkan realisasi visi misinya (janji-janinya) semasa masih menjalani kampanye melangkah ke Senayan. Di ujung acara Sa’duddin mereferensi cita-cita kedua anak Pak Adhim dan secara tidak langsung ketiga anak yang mengamen di desa Sukatenang dalam kaitannya dengan peresmian acara/gedung yang baru saja dilakukannya. Penghubungan ini dilakukan juga secara visual di mana di belakang Sa’duddin dihadirkan dua anak kecil yang memegang piala, tanda prestasi pendidikan.

‘Wakil Rakyat’ dalam Bingkai Kamera

Kameraperson dengan kameranya mewakili mata pemirsa yang menyaksikan. Sudut-sudut pengambilan gambar dipilih demi mendukung ‘cerita’ petualangan si wakil rakyat. Posisi kameraperson dalam acara seolah ditiadakan terlepas perannya yang penting, dalam arti ia tidak diajak berinteraksi dan tidak disertakan secara sengaja sebagai bagian dari rombongan menginap. Kamera adalah ‘subjek’ pasif yang mengganti posisi pemirsa. Dengan posisi menonton seperti ini pemirsa seolah tidak punya posisi tawar untuk mengambil sikap kritis terhadap apa yang disajikan kamera. Padahal sudut kamera bukan hanya perkara pemotongan/peralihan gambar tetapi juga soal representasi.
Sudah pagi...saatnya pulang
Pemilihan konstituen yang akan didatangi dan rumahnya akan diinapi adalah juga persoalan memilih ‘wakil rakyat’ yang dianggap mewakili ‘rakyat’ secara keseluruhan. Wakil rakyat tidak saja berkonotasi pada anggota DPR. Tetapi ‘wakil rakyat’ di dalam acara ini adalah buah dari pemilihan berdasarkan pertimbangan hiburan. Tak pelak pemilihan ini menimbulkan masalah pada representasi ‘wakil rakyat’, yaitu peliyanan rakyat secara luas, walaupun niat awalnya justru sang liyan itu yang diangkat.

Demi menimbulkan efek tertentu, dalam hal ini rasa simpati pemirsa kepada rakyat yang didatangi lebih-lebih lagi kepada anggota DPR RI maka pemilihan ‘wakil rakyat’ yang diinapi pun bersyarat. Mereka tidak akan pernah berasal dari kelas menengah apalagi atas. Mereka sengaja dipilih dari kalangan bawah dengan penanda-penanda khas yang diulang dan mengulang pada episode-episode selanjutnya/sebelumnya. Penanda ini paling terlihat pada aspek fisik/penampilan ‘wakil rakyat’: orang-orang miskin melarat dengan upah kerja dibawah standar, baju dan wajah penuh kelusuhan, rumah berdinding bambu berlantai tanah/semen, dan pekerjaan buruh tani/bangunan atau serabutan.

Pemilihan lokasi juga selalu merujuk pada tempat-tempat ‘terpencil’ atau dikesankan seolah jauh dari pusat kota besar (Jakarta). Lokasi ini sudah dipilih berdasar konstruksi tertentu, yaitu lokasi yang ada di sekitar pemirsa (‘rakyat’ pada umumnya). Pemirsa tidak akan pernah tahu kenyataan mengenai lokasi tempat tinggal si konstituen, kecuali pemirsa secara bukan kebetulan berdomisili di sekitar tempat syuting. Lokasi dipilih untuk menimbulkan kesan "baik" bagi anggota DPR yang mau bersusah payah mendatangi konstituen. Di sini kata “rakyat” yang oleh KBBI didefinisikan sebagai penduduk suatu negara atau orang kebanyakan/biasa telah mengalami penyempitan makna untuk secara khusus menyebut warga ekonomi menengah bawah/miskin.

Acara belum selesai, belum selesai sampai anggota DPR menunjukkan kinerjanya
Dengan demikian Wakil Rakyat Bermalam sudah jatuh pada eksploitasi kemiskinan dari ‘wakil rakyat’. Keluarga Pak Adhim dan keluarga lain yang rumahnya diinapi dimanfaatkan demi kepentingan citra wakil rakyat di DPR RI. Namun ini bukan sekedar eksplotasi dari pihak pembuat acara, di mana anggota DPR RI turut terlibat. Pemirsa sendiri (diam-diam) memang menginginkannya sebab pemilihan ‘wakil rakyat’ sebagaimana diungkap di atas adalah bagian dari kode-kode tayangan yang menghibur. Tayangan penghiburan rakyat kecil ini telah lama dikerjakan oleh industri televisi lewat pembentukan citra-citra tontonan yang menimbulkan kesenangan dan menumbuhkan harapan-harapan dari pemirsanya, harapan agar hidupnya bisa lebih baik setelah didatangi anggota DPR RI atau harapan agar suatu hari rumah mereka akan diinapi juga oleh anggota DPR. Dari sudut pandang keluarga yang diinapi. Kedatangan anggota DPR RI yang dulu dicoblosnya dalam pemilu legislatif pastilah suatu anugrah dan kebanggaan. Dalam bayangan mereka, mereka akan dapat menyampaikan keluh kesah kehidupan sehari-hari terlebih Si Wakil Rakyat juga ikut melibatkan diri merasakan dan mengetahui kegiatan keluarga yang diinapi. 

Senutup

Bagiku Wakil Rakyat Bermalam terjebak antara format tayangan yang mesti menghibur dengan cara meniru pola-pola tayangan sebelumnya dan keinginan menjadi alat penghubung wakil rakyat dengan konstituennya. Untuk keperluan itu situasi dan interaksi yang tercipta antara keduanya terkadang seperti dibiarkan tampak sealamiah mungkin tanpa ada take ulang atau berusaha meyakinkan pemirsa bahwa memang begitulah adanya yang terjadi. Kesan demikian bisa dilihat dari bahasa tubuh yang menyiratkan kecanggungan juga keraguan antara anggota DPR RI dengan konstituennya. Tampak seperti tidak ada prosedur/arahan tertentu dari pihak pembuat acara, yang besar kemungkinan seluruh kru tidak terbiasa menggarap acara sejenis. Akibatnya dari segi hiburan, Wakil Rakyat Bermalam telah gagal. Bukan saja karena para anggota DPR RI berusaha keras menjadi seorang aktor televisi tapi nama mereka telah kalah mentereng dari aktor sungguhan. Jika ada yang dihibur tentunya adalah para anggota DPR RI itu sendiri apalagi yang petualangan menginapnya disiarkan siaran televisi paling luas jangkauannya di Indonesia. Citra DPR RI hendak dibangun ulang, meruntuhkan mitos lawas yang seakan sudah mantap melekat pada diri mereka bahwa mereka hanya menghamburkan uang atau sibuk saling sikut antar fraksi tanpa prestasi. Berganti jadi wakil rakyat DPR RI yang juga sosok manusia dengan hati dan kepedulian terhadap rakyat yang diwakili.

(Restu Ismoyo Aji)

0 komentar:

'Wakil Rakyat' di Wakil Rakyat Bermalam

17.12.00 jino jiwan 0 Comments

Menunjukkan diri berdialog langsung di hadapan rakyat, itulah pesan dari tayangan televisi Wakil Rakyat Bermalam di TVRI setiap Senin-Jumat pukul 9:30 WIB tahun 2015 (sepertinya sudah berhenti tayang nih). Dialog ini maksudnya ingin membangun kepercayaan rakyat kepada wakil rakyat di DPR RI dan menjembatani kerenggangan gara-gara pemberitaan media massa atas kinerja DPR RI. Ia juga bermaksud mendekatkan hubungan keduanya: bahwa keduanya saling membutuhkan.  

Dalam acara berdurasi 30 menit ini seorang perwakilan anggota DPR RI dikisahkan menyambangi rumah seorang konstituennya untuk menginap sebanyak satu malam. Di permulaan acara seorang anggota DPR RI ini menyampaikan kepada pemirsa bahwa dirinya akan melakukan perjalanan dalam rangka mendengar aspirasi rakyat langsung di rumahnya. Lalu dengan ditemani seorang asisten dan atau seorang sopir, anggota DPR RI ini berangkat menuju rumah konstituen di daerah pemilihan asalnya. Di rumah tersebut, wakil rakyat ini kemudian menghabiskan sehari semalam berkumpul, makan bersama, mengobrol, lalu menginap, dan ditutup dengan berpamitan kepada keluarga yang diinapi pada keesokan paginya. Cerita model begini selalu berulang di tiap episode dengan hanya sedikit perbedaan.

Tanggal 17 Juni 2015 lalu bintangnya adalah Pak Sa’duddin (mantan bupati Bekasi?) anggota DPR RI dari fraksi PKS. Di ruang kantornya dia bilang kepada asistennya tentang rencana kunjungan ke daerah asal pemilihannya di Bekasi. Dia juga mengajak pemirsa (dengan menatap ke kamera) untuk mengikuti perjalanannya. Sepanjang perjalanan berkendara, di dalam mobil Sa’duddin bercerita pentingnya mendengar aspirasi rakyat. Untuk sampai ke lokasi dia dan rombongan mesti menumpangi getek menyebrangi sungai (seolah tidak ada jalan lain). Di desa Sukatenang, Sukawangi, Babelan, Bekasi Utara dia bertanya kepada warga sekitar rumah Pak Adhim konstituennya. Seorang warga (yang sebetulnya pemeran pembantu) bersedia mengantar Sa'duddin. Sembari mengantar inilah terungkap bahwa pekerjaan Pak Adhim adalah serabutan.


Rumah Pak Adhim yang separuh bertembok batako dan hanya berdinding anyaman bambu rupanya kosong. Pemiliknya tengah menggembala kambing di persawahan, sehingga mereka pun menunggu. Selama menunggu di emper rumah tiga orang anak kecil datang mengamen (beneran!). Sa’duddin bertanya mengapa mereka tidak sekolah. Dijawab oleh salah seorang anak bahwa mereka tidak memiliki biaya. Kepada warga yang mengantar tadi Sa’duddin menitipkan ketiga anak itu agar disekolahkan.


Tak berapa lama Pak Adhim tiba di rumah. Seusai menggiring kambing-kambing masuk kandang dia menyambut Sa’duddin dengan memegang tangannya erat. Mereka berkenalan dan mengobrol sejenak. Ketika malam datang, Sa’duddin duduk bersama satu keluarga itu di ruang tengah sembari membincangkan kegiatan Pak Adhim dan istri, juga cita-cita kedua anaknya yang ingin menjadi dokter dan ustaz. Rekaman pekerjaan Pak Adhim sebagai buruh tani dan bangunan tersaji di layar menyelingi percakapan.


Menjelang tidur Sa’duddin duduk dengan tatapan menerawang (ke atas gitu) diiringi ucapan kagumnya kepada Pak Adhim dan keluarganya. Dia pun tidur di ruang tengah beralas tikar. Keesokannya Sa’duddin dan Pak Adhim sholat subuh di masjid sebelum kemudian dia pamit berangkat kembali ke Jakarta. Tayangan ternyata masih berlanjut menyoroti kegiatan Sa’duddin meresmikan sebuah acara/gedung yang lantas ditutup dengan pesannya mengenai pentingnya pendidikan bagi anak-anak sebagai sarana meraih cita-cita mereka.

Pinjam Sana Pinjam Sini

Sebagai sebuah acara Wakil Rakyat Bermalam sungguh bukan tayangan biasa dan jelas berada di luar jalur utama acara yang menarik minat pemirsa, makanya ia diberi jatah waktu pagi hari di saat orang pada umumnya masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Jika boleh milih pastilah para anggota DPR ingin agar acara ini disiarkan stasiun televisi swasta pada sore hari. Namun cuma TVRI yang menyiarkan. Berhubung TVRI itu tv pemerintah, tentu mereka punya kepentingan. Mungkin supaya kepercayaan masyarakat kepada wakil rakyat mereka di parlemen tetap terjaga. Ini sebabnya sidang-sidang DPR juga rajin disiarkan oleh sejumlah stasiun televisi.  

Di sisi lain acara ini sebenarnya hendak menampilkan sudut pandang berbeda terhadap DPR RI yang sering dibantai oleh media massa melalui berita-berita yang menyudutkan kinerja mereka. Berita ini punya dampak terhadap turunnya angka keikutsertaan rakyat pada pemilu legislatif. Wakil Rakyat Bermalam dikreasikan untuk menjawab keraguan rakyat atas kinerja wakil mereka di DPR RI. Bahkan Wakil Rakyat Bermalam barangkali juga dipicu rutinitas Jokowi sebelum menjadi presiden yang gemar blusukan terutama semenjak menjabat gubernur DKI Jakarta. Perhatian besar media massa pada agenda blusukan Jokowi ikut menimbulkan kebutuhan bagi anggota DPR RI untuk diperlakukan dengan cara serupa (yaitu Eksis!). Bagi anggota DPR RI Wakil Rakyat Bermalam adalah semacam panggung kontribusinya bagi negara dan rakyat. Panggung yang sayangnya tak jauh dari panggung drama.

Wakil Rakyat Bermalam dan acara sejenisnya tidak dapat sepenuhnya disebut reality show ataupun feature. Tayangan televisi adalah bentuk simulasi yang sempurna. Simulasi membuat tayangan ini seolah nyata dan malah lebih nyata dari kenyataan. Supaya menginapnya anggota DPR RI di rumah konstituen menarik ditonton, diciptakanlah cerita runtut dengan nalar-nalar sintagmatik yang dipinjam dari tayangan-tayangan sejenis dari televisi swasta. Tayangan populer semacam Jika Aku Menjadi, Bedah Rumah, Jalan-jalan Selebritis, dll. dipinjam oleh Wakil Rakyat Bermalam. Pemirsa yang sudah biasa menonton acara sejenis diajak ikut membangun urutan cerita dengan menyusun bayangan-bayangan terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya di setiap adegan sama seperti yang dilakukan oleh pembuat acara ketika menata ‘cerita’ anggota DPR yang akan mendatangi rumah konstituen.

Lanjut ke ketikan berikutnya.

(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)

0 komentar:

Moco Preman Pensiun, Bahar dan Hape

22.30.00 jino jiwan 0 Comments

Lanjutan dari tulisan sebelumnya:

Sinetron-sinetron kita memang cenderung pasrah dalam menghadapi kematian aktornya. Si aktor yang berpulang pun akan diceritakan meninggal betulan. Tentu tanpa sempat menampakkan bagaimana si karakter yang diperankan meninggal. Agaknya itu jadi satu-satunya cara menghormati aktornya yang wafat betulan di luar rencana awal. Ini terjadi karena pembuatnya sama sekali tidak melakukan langkah preventif atau menyiapkan sesuatu yang tidak terduga, semisal kematian aktor. Jika industri film Hollywood bisa lolos dari kejadian macam ini berkat kecanggihan teknologi CGI, di mana kematian seorang aktor di tengah pembuatan film bukan merupakan penghalang untuk tetap menghadirkannya secara hidup (seperti Paul Walker di Furious Seven, dll.). Maka berbeda dengan industri sinetron, terlebih sejak rating didewakan yang berujung pada kejar tayang demi mengisi slot tayang tiap harinya.
Preman sekeluarga
Setidaknya masih untung Preman Pensiun tidak mencemplungkan diri dalam pembelokan murahan macam operasi plastik (seperti sinetron edan Tersanjung) yang melegitimasi digantinya seorang aktor dengan aktor lainnya. Bayangkan saja jika peran Kang Bahar diganti oleh aktor kawakan lain seperti Dedy Mizwar. Preman Pensiun memilih cara aman yang bisa diterima oleh kebanyakan penonton. Sama seperti Si Doel Anak Sekolahan yang kehilangan Benyamin Sueb, Engkong Tile, Pak Bendot, dan Basuki yang lantas seluruh karakter yang mereka perankan ikut dimatikan.

Tapi kematian Didi Petet dan dimatikannya karakter Kang Bahar mau tak mau amat terasa menyisakan lubang besar pada cerita. Kisah pengejaran kalangan pesaing (Kang Jamal) untuk masuk ke keluarga Kang Bahar jadi tidak relevan. Setidaknya pada awal-awal masa transisi ketika Kang Bahar diceritakan berpulang, lubang ini terasa menganga. Di sini aku salut akan energi kreatif (tim) penulisnya. Menuliskan cerita yang akan ditransformasi ke dalam sinetron dengan durasi tayang 1 jam setiap hari pastilah tidak mudah. Cerita dibelokkan sedemikian rupa supaya kelicikan Jamal masih bisa menemukan tempat dalam cerita. Peran kementoran Kang Bahar kemudian diisi oleh Kang Idris yang buat Kang Mus penting untuk memuluskan jalan tobatnya dari preman.

Antara Ponsel dan Lisan

Satu keberhasilan Preman Pensiun adalah sentuhan kontemporernya. Lihat latar-waktunya yang HARI INI dan ada di ‘dekat kita’? Preman Pensiun mengajak penonton percaya bahwa preman-preman ini ada sungguhan dan bukan sekedar sinetron.
Karier: copet, jalan hidup: copet
Ketergantungan teknologi adalah sebuah isu khusus dalam sinetron ini. Ponsel (hape) memegang peranan sangat penting dalam memerantai bukan hanya komunikasi antar karakter dalam cerita tapi terutama komunikasi dari karakter-karakter tersebut kepada penonton. Di tengah konvergensi teknologi dalam sebuah hape di mana di dalamnya tergabung nyaris segala fungsi—pemutar musik, radio, senter, kalkulator, internet—melebihi fungsi awal hape yang hanya untuk menelpon dan mengirim/menerima pesan (sms), nyatanya hape dalam Preman Pensiun tidak pernah digunakan lebih dari menelpon. Tentu penonton harus melupakan sejenak, bagaimana karakter-karakter dalam Preman Pensiun yang jika bukan preman maka dia adalah pencopet atau penjual cilok bisa dengan mudah dan leluasa menelpon tanpa merasa sayang pulsa, seolah mereka semua pengguna satu provider komunikasi yang satu menit bicara hanya 50 Rupiah.

Preman Pensiun
gadis penipu Preman pensiun
Tuh, kan nih sinetron ini mengajarkan betapa menelpon itu murah biayanya dan "efektif!"
Mengapa demikian? Sebab dalam sinetron sesuatu berujud TULISAN sulit dinarasikan jika bukan dengan LISAN. Lewat hape yang sangat lisan itu cerita pun bisa sampai ke penonton. Bayangkan andai penulis naskah mengisahkan salah seorang karakter ber-sms-ria pastilah sms itu akan dibacakan langsung kepada penonton, agar penonton paham apa yang dituliskan oleh si karakter. Sinetron Tukang Ojek Pengkolan yang bagiku kurang nikmat disaksikan (karena mencoba keras mengekor Preman Pensiun) melakukannya di saat salah satu karakternya meng-update status (Facebook?). Semua update statusnya dilisankan dengan keras sebagai upaya menimbulkan kelucuan yang buatku justru tidak lucu.

Omong-omong, tahu hal baik apa yang diajarkan oleh sinetron ini? Adalah agar kita semua para penonton jika mau terima telepon saat sedang berkendara ya minggirlah dan berhenti dulu baru terima telepon. Aman berkendara, orang lain pun selamat.

Senutup

Bila ada komplainku pada sinetron ini tak lain soal penayangannya yang menembus—waktu sholat terpendek—maghrib, apalagi kemarin di bulan puasa. Sehingga mau tidak mau menimbulkan kecurigaan dan dugaan juga tuduhan(ku) kepada pemilik stasiun televisi atau setidaknya manajer jadwal acara bahwa tujuannya adalah supaya penonton Preman Pensiun tidak pensiun menonton meskipun sudah datang waktu sholat. Iya mungkin agak berlebihan. Tapi sinetron ini bikin aku malas beringsut ke masjid atau ia hanya alasan yang kubuat-buat demi membenarkan tindakanku. 

(Jino Jiwan)

0 komentar:

Moco Preman Pensiun, Komedi dan Kriminalitas

00.47.00 jino jiwan 0 Comments

Lanjutan dari tulisan pertama:

Mudah melihat bagaimana Preman Pensiun ini sebetulnya berdialog dengan dua seri film The Godfather. Penonton tidak sungguh tahu siapa lawan dan kawan, siapa memata-matai siapa terutama di kalangan preman-preman kelas bawah. Tetapi cukup diberi tahu mana yang protagonis (pihak Muslihat) dan mana yang antagonis (pihak Jamal). Tentunya minus kekerasan dan kebrutalannya, sebab hanya ada empat jenis sinetron di Indonesia: komedi, romansa, remaja, dan dakwah, atau gabungan dari tiga di antaranya. Dan Preman Pensiun memilih jalan komedi. Tentu akan menarik melihat andai sinetron ini digarap dengan pembawaan serius. Sebab kurasa tak akan kalah menarik.

Preman Pensiun
Koboy, eh preman ding
Karena ke-komedi-an inilah Preman Pensiun mengajak penonton melihat sisi lain preman, bahwa mereka juga manusia. Preman pun ditampilkan ngantukan walau badan bertato, dan bertampang seram bin gahar. Kelakuan mereka pun kadang kikuk dan konyol. Bukan hanya preman tapi nyaris semua punya perwakilan karakter yang berperan bagai abdi/punakawan dalam pewayangan atau istilahnya mereka ini adalah comic relief. Sayangnya peran comic relief-nya jadi terlampau banyak: Ubed (dari kalangan copet tobat), Pipit (dari kalangan preman), Ceu Edoh (dari kalangan sipil), dll. Semua dikreasikan demi memecah tawa penonton. Dunia premanisme dan sekitarnya sudah disimulasikan demi hiburan penonton.
Untuk kota sebesar Bandung dan ke”legenda”an Kang Bahar yang digembar-gemborkan, sangat tidak mungkin rasanya melihat preman-preman di Preman Pensiun sangat amat minim. Bahkan tidak sampai hitungan seluruh jari tangan kanan-kiri. Sungguh sangat mustahal! Belum lagi representasi lokasi kekuasaan ‘hanya’ mencakup pasar, jalan, dan terminal yang itu-itu saja. Mana preman dari Pasar Baru? Preman-preman tempat wisata dan belanja?
Preman pensiun
"ayo kita pesen Prengees prengees
Pilihan sosok preman bisa jadi memang dirasa tepat dan pas dari sisi mata dan bayangan yang selama ini mencantol di benak penonton, kendati bisa dibantah bahwa dengan visualisasi seperti itu Preman Pensiun pun terjebak kepada eksplotasi visual mengenai steriotipe sosok preman yang serba sangar, di mana semuanya (kecuali Muslihat yang jauh dari imaji preman pada umumnya) memakai atribut lumrah seorang preman: gondrong atau rambut skinhead, bertato, bertindik, kumisan, berewokan, berkalung, bergelang, pakaian didominasi warna hitam dan bahan jins. Tahu apa lagi yang kurang? Rokok! Aneh kan preman kok gak merokok? Lenyapnya rokok jelas suatu bentuk negosiasi pembuatnya supaya ia bisa diterima penonton dan bisa ditayangkan di jam premium. Aku cukup yakin, beberapa aktor ini aslinya merokok juga. Andai nuansa Preman Pensiun dibuat lebih serius dan gak terhalang regulasi pemerintah yang melarang menyajikan orang merokok di layar televisi pasti mereka (para preman dan copet) bakal kelihatan merokok di sini. Bagaimanapun rokok adalah bagian penting dari karakterisasi sebuah dunia nyata dan malah mungkin juga merupakan bagian dari steriotipe itu sendiri.
jaket jins, tindikan, atribut serba hitam, kalung, dan tato adalah khas preman
Pemilihan lokasi juga tergolong unik buatku yang bukan orang Bandung. Karena sinetron ini tidak memilih tempat-tempat “gemerlap dan ikonik”, malah ia mencoba memperkenalkan sudut-sudut kota yang baru dan belum banyak diketahui penonton. Bahkan sisi kota yang dipilih jauh dari arketipe-nya Bandung. Landmark terkenal seperti Gedung Sate bahkan tidak kelihatan. Tidak seperti perlakuan FTV di SCTV yang berlatar tempat Yogyakarta yang terus menyorot tugu, pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Malioboro. Jika itu belum cukup, FTV akan menyajikan pemuda berlogat Jawa supermedok, bersurjan, dan berblangkon, lalu naik andong demi menghadirkan keotentikan “Jogja” nan dangkal di mata penonton. Di Preman Pensiun hal itu tidak terlihat. Orang Sunda tampil apa adanya sewajarnya seperti orang saat ini, yang dengan begitu ia membangun kedekatan fisik kepada penonton.
Copet copet binal
Tindak kejahatan yang ditampilkan memang terbatas pada pencopetan, penodongan, dan penjambretan. Nyaris tidak ada bentuk kriminalitas lain. Ketegangan ditimbulkan pula dari persaingan sesama preman yang berebut lahan “bisnis” uang setoran keamanan. Padahal jelas ada banyak ragam kejahatan lain yang lebih meresahkan dan bisa memperkaya cerita. Misalnya pencurian kendaraan bermotor, begal, orang mabuk-mabukan, pedagang makanan yang dagangannya nggak sehat, kejatahan dengan gendam/hipnotis, pelecehan seksual, pembobol rumah/pencuri, bahkan narkoba hingga pembunuhan. Kenapa tidak disertakan?
Preman pensiun
Preman pensiun
Duo penodong yang selalu bernasib sial
Barangkali karena kejahatan lain tadi dirasa terlalu serius bagi penulisnya. Pencopetan dipilih karena dikategorikan oleh pembuat sinetron sebagai sesuatu yang ringan dan bisa ditertawakan bersama, dan yang penting adalah sudut pandang HIBURANnya. Pembuatnya ingin agar penonton punya perspektif tertentu kepada pencopet, bukan pada tindak kejahatan lain yang lebih ‘berat’. Bagaimanapun sinetron ini berposisi sebagai sinetron komedi. Lagi pula  sedari awal pencopetlah yang dihadirkan, istilahnya sudah terbangun keterikatan antara karakter-karakternya dengan cerita dan penonton. Mungkin pula penulis naskah merasa cerita copet inilah yang sudah disukai penonton dengan pengulangan nasib kecopetan di tiap episode dan mereka terjebak bersamanya.

Sadar gak, sinetron ini ironisnya tidak pernah berlatar waktu malam hari. Padahal preman lebih banyak yang merupakan makhluk-makhluk nokturnal. Secara teknis mungkin sulit syuting malam hari. Energi untuk lampu penerangan harus lebih besar bukan? Malam hari akan sangat menarik untuk dibahas terutama dari sisi kriminalitas yang bisa ditangani oleh para preman. Sekali lagi, kurasa akan menarik juga jika melihat sinetron ini digarap dengan nuansa serius, bukannya komedi. Sehingga apa-apa yang kusebut luput dari sinetron ini di atas mendapatkan ruangnya juga.

(Jino Jiwan)

Lanjut ke bagian penutup (?)

0 komentar: