Merakit Hulu ke Candi Sukuh

13.39.00 jino jiwan 0 Comments

Walau letaknya dekat dengan puncak Gunung Lawu, kisaran Candi Sukuh di Karanganyar tidak bisa disebut dingin. Setidaknya kamu tidak betul-betul butuh jaket di sini. Tapi ini mungkin kasus khusus karena rombongan kami (prodi Kajian Budaya & Media UGM) baru sampai di lokasi sekitar jam 11 gara-gara berangkat dari kampus baru jam 8 pagi. Cukup siang memang, wajarlah bila suasana sudah memanas. Sepertinya matahari musim kemarau memang gemar mengeringkan apapun yang diterpanya, gunung yang semestinya dingin tidak dingin lagi. Niat awalnya sih ‘kuliah lapangan’ bertajuk Genealogi Seksologi atau semacamnya, tapi yang didapat malah petualangan lapangan: mendaki kaki gunung dengan durasi lebih dari 30 menit.

Berakit kita ke hulu
Jalur menanjak ke Candi Sukuh ini sungguh istimewa, terutama bagi yang tidak terbiasa. Bayangkan saja, sudut kemiringannya bisa mencapai 45° yang terus terbentang tanpa henti sepanjang kira-kira 3 kilometer(?) dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Mau bagaimana lagi wong rombongan kami naik bus sementara bus tidak mungkin ikut naik dan memutar di lokasi candi. Karena kondisi ekstrim inilah aku yakin jika kamu melakukannya(berjalan kaki) setiap hari selama 30 hari bukan hanya kamu punya kemampuan setara dengan anak-anak lokal yang sering naik turun tanjakan dari rumah ke sekolah, tapi kamu sudah pasti siap untuk menaklukkan gunung paling ganas di muka Indonesia. Aku pun ikut jalan kaki tanpa bisa memproyeksikan bahwa baru dua hari berikutnya linu di kaki-kaki ini pulih. Masih untung banyak temannya. Jika tidak aku bakal memilih ngojek saja seperti dilakukan sebagian di antara kami.

Warga lokal yang luar biasa tangguh
Separuh perjalanan aku dapat kesempatan beristirahat dan bukan kebetulan kawan-kawan juga sedang istirahat sambil menanti mereka yang masih tercecer di bawah. Baru di sini angin sejuk berembus, jauh lebih menyegarkan daripada AC bus. Cukuplah untuk menyingkirkan penat dan peluh sekaligus mengisi tenaga. Dari lokasi yang tinggi ini pula terlihat betapa jauhnya jarak yang sudah kami tempuh.
...

Candi Sukuh adalah candi yang aneh. Selain karena tema (erotisnya), bentuk, dan bahan batunya tidak selazimnya berasal dari zaman Majapahit, letaknya pun terbilang jauh dari lokasi yang diyakini merupakan letak ibukota di Trowulan sana. Sayangnya harapan untuk melihat Candi Sukuh secara langsung yang sudah kubangun jauh dari sebelum ada rencana kunjungan ke candi ini jadi hancur lebur.

Sesampainya di candi ingin sebenarnya aku mengucap “semua keletihan itu terbayar sudah,” selayaknya artikel-artikel tentang wisata yang sering kalian baca, tapi bukan itu yang terjadi dan bukan itu yang kurasa. Candi utama yang semestinya jadi suguhan utama ternyata tengah dipugar. Kecewa? Jelas! Tidak nampak ada kegiatan perbaikan candi yang artinya renovasi ini bakal memakan waktu lama. Dengan begitu tidak banyak pula sisa dari bangunan masa lalu ini yang dapat dipandangi selain enam(?) panel relief, tiga gerbang (dua di antaranya hancur), dan beberapa arca tanpa kepala. Pemandangan gunung yang coba dijual menurutku agak mengingatkan Candi Ijo di Jogja yang karena sudah terlalu siang jadi nampak kurang indah.

Tiap hari selama ratusan tahun Si Bulus harus berhadapan dengan arca ini
Mahasiswi Kajian Budaya sedang mengamati artefak budaya
Batu = statu
Perkuliahan dari dua dosen: Pak Budiawan dan Pak Kris tidak benar-benar kusimak. Aku meng-asyik-kan diri memotret sana dan sini, berharap kameraku bisa merekam keadaan candi sebelum dibongkar (beberapa bulan lalu?), atau bahkan merekam keadaan candi di masa Kerajaan Majapahit masih ada di peta Nusantara. Pembayangan-pembayangan ini sedikit meredam kekecewaanku. Mungkin keletihan diri ini tak seberapa dibanding orang-orang zaman Majapahit dulu yang dipaksa mengangkat dan mengangkut,  menatah dan menata batu-batu, apalagi di zaman itu jalannya jelas belum semulus sekarang. Kekecewaanku kurasa belum sebanding dengan kekecewaan pekerja proyek candi masa itu jika tahu candi ini dibongkar tapi tidak kunjung dipasang kembali.

Ah, sudahlah. Terkadang merakit ke hulu tak selalu disusul berenang ke tepian. Better luck next time! Lain kali aku akan ke sini bawa motor sendiri.


Hey, foto terakhir ini hasil editan di Sotosop. Aku menghilangkan sejumlah objek dan menambahkan candinya. Tidak teramat hebat tapi setidaknya ini yang bisa kulakukan.

(Jino Jiwan)

0 komentar:

Bulan Blogging dan Sang Pemenang

22.55.00 jino jiwan 0 Comments

Ketika mendengar peluncuran “proyek” penulisan bareng-bareng mahasiswa KBM (prodi Kajian Budaya & Media UGM) bertajuk Bulan Blogging KBM aku termasuk ke dalam kalangan yang bergembira-ria. Beberapa bulan sebelumnya (barangkali tidak ada yang mengingat), aku sempat menyampaikan betapa asiknya jika angkatan KBM 2014 punya blog bersama. Bayanganku ketika itu adalah blog tersebut bakal diisi tugas-tugas kuliah. Keinginanku sih hanya ingin belajar dari garapan kawan-kawan kuliah, karena menurutku tulisan dan kasus yang mereka angkat ajaib-ajaib. Mungkin blog itu bisa sekalian untuk memperkenalkan kepada khalayak umum seperti sih apa kajian budaya dan media sebagai salah satu ‘disiplin’ yang ‘gak disiplin’.

Bulan Blogging hadir lebih longgar (ini terbaca dari segi tema tulisan yang diangkat oleh para penulisnya), bukan hanya soal tugas kuliah yang membosankan dan tidak “menyenangkan” karena hukumnya wajib. Model tulisan bebas semacam ini ternyata justru menarik. Perjumpaan kawan-kawan dengan dunia sekelilingnya pun sebenarnya tak jauh dari warna akademis meskipun tidak bermaksud akademis. Hanya sayang tidak seluruh mahasiswa KBM angkatan 2014 ikut serta di Bulan Blogging dengan berbagai alasan. Dari 18 orang hanya 11 yang aktif ikut serta.

Jika ada yang kurasa mengganjal tak lain adalah sistem denda Rp. 20 ribu per hari (kemudian dikurangi menjadi 10 ribu) untuk setiap kali peserta absen menulis di blog-nya. Awalnya menurutku denda ini adalah gagasan gila dan tidak mahasiswawi. Sebagai orang yang otaknya terus menerus dijejali teori-teori mengenai ketimpangan sosial selama kuliah dua semester aku sulit menerimanya. Bagiku berkarya/menulis (atau sering aku istilahkan “mengetik” di blog ini) tidak bisa dipaksa karena akan mengorbankan kualitas. Maklumlah ideologi ke-nyeni-an masih membekas dalam hati. Bagiku penting untuk bisa berkarya kapan saja, sebebasnya, senikmatnya, semaunya, tanpa tekanan. Aku bilang begini karena pernah merasakan situasi di mana menggambar—sebuah kegiatan yang biasanya aku nikmati—tidak terasa nikmat lagi di kala ia dilakukan sebagai rutinitas (maksudku: kerja). Tapi aku mengerti elemen per-MAIN-annya. Sistem denda dipakai demi menambah keseruan permainan. Iya, Bulan Blogging adalah sebuah game selain karena denda ini adalah bagian dari kesepakatan mayoritas. Lagi pula Bulan Blogging hanya berlangsung selama 31 hari. Itu tidak sulit-sulit amat sebab tak harus berupa tulisan, bisa apa saja (foto bahkan gambar).

Bulan Blogging akhirnya memaksaku mengaktifkan dua blog lain yang lama tidak aktif demi menyiasati ragam tulisan. Aku tidak ingin blog-ku yang ini (bebasngetik) dipenuhi 31 tulisan dalam sebulan, terasa gak indah aja dan akan tampak tidak konsisten jika di bulan-bulan berikutnya aku tidak menghasilkan tulisan dalam jumlah yang sama. Untuk membebaskan diri dari penulisan menulis setiap hari (karena waktu itu KBM mengadakan acara pemutaran film “Buka[n] Rahasia”), aku membuat jadwal hingga sebulan yang terbagi dalam tiga blog. Yang paling gampang ya bikin ulasan buku. Tinggal memfoto sampulnya lalu dibaca ulang secara lompat-lompat. Ulasannya pun bukan ulasan serius, lebih mirip komentar pribadi dan membandingkan apa yang kurasakan saat membaca ulang dengan pembacaan terdahulu. Blog satunya lagi  lebih sederhana karena kuisi dengan gambar-gambar stok lama yang belum sempat discan atau belum diwarnai. Yah, keterpaksaan pun kadang membuahkan hikmah. Beberapa orang sepertinya memang harus dipaksa supaya mau dan supaya bisa.

Sekarang sesudah ajang Bulan Blogging berlalu kawan-kawan KBM sekali lagi bersepakat, kali ini untuk memilih pemenang secara mufakat. Masing-masing peserta diminta menentukan tiga penulis [blog] terbaik menurut versinya sendiri. Tadi sudah kusebut bahwa Bulan Blogging ini semacam game, jadi pasti harus ada pemenangnya (walau agak aneh sebetulnya, buat apa ada tiga pemenang toh yang menang ya cuma satu, to?). Berdasar kesepakatan pula si pemenang inilah yang akan menerima hadiah uang denda senilai ratusan ribu Rupiah, sekalian diharapkan agar sang pemenang mengembalikannya kepada seluruh peserta (boleh dibaca: menyantuni) dalam bentuk traktiran makanan. Menurutku ini sungguh sebuah langkah demokratis dan berdaya mandiri, menendang jauh usulan awal yang hendak melibatkan (beberapa) dosen sebagai pihak penilai (yang mana justru jadi otoritatif).

Sebelum menentukan pemenangnya aku ingin menyampaikan tulisan ternikmat versiku dari setiap peserta Bulan Blogging.

A. Hair menuliskan kisah dibalik cerpen yang dipersembahkan kepada kekasih sebagai hadiah hari ulang tahun kebersamaan. Sampai di situ saja sebetulnya kisah ini sudah terasa menyentuh (aku enggan bilang “romantis” karena kata ini agak njijiki di kupingku), tapi cerpennya sendiri amat unik dan punya cita rasa personal yang amat dalam.

Aulia T. menulis semacam perenungan soal di ruang seperti apa seorang akan menjadi tua yang membuat aku juga ikut berpikir lebih jauh: apakah kebahagiaan dan kedamaian berada di mana uang berputar? Sepertinya sih tidak.

Dimas P.P. menulis “sejarah” mengapa seseorang bernama Dini menua (pikirannya) lebih cepat daripada seharusnya. Sekalipun twist-nya terbaca namun aku menikmati alurnya.

Cerita Dhini A. tentang mata air di desanya menggali kenanganku soal mata air (yang barangkali mirip) di daerah Temanggung yang dulu kerap kupakai mandi semasa kecil.

Tulisan Djarwo unik karena dia masih terus membawa semangat filsafatnya. Secara reflektif dia menggugat pahlawan paling berjasa bagi Jepang dan masa kecilku lewat pertanyaan-pertanyaan yang akan membuat si penulis naskah berpikir ulang sebelum membuat film.

Tulisan F.F. Armadita (Dita) tentang para tukang ojek dan jasa-jasa mereka di tengah padatnya Jakarta membuatku berpikir ulang soal kota ini. Ternyata masih banyak orang-orang yang gak selalu mikirin uang di sana.

L. Sunarko L. (Levi) menceritakan refleksinya mengenai tujuan hidup setelah teringat sebuah dialogdi The Alchemist. Sebuah refleksi yang kuakui membikin pikiran ini jadi kian riuh. Mungkin(kah) hidup yang “mengalir” akan lebih menenangkan jiwa(?).

Di awal Bulan Blogging Mayarani N.I. (Ilmi) menuliskan serangkaian “gugatan” terhadap konsep pernikahan. Tulisannya terngiang hingga kini. Gayanya khas, pertanyaan disampaikan bertubi-tubi dengan tanpa menuntut jawaban. Seperti(biasa)nya dia tengah geregetan. Menurutku sih gampang saja: orang menikah lebih dikarenakan tekanan sosial.

Tulisan Neli F. yang menceritakan setahun di KBM, terutama pendapatnya mengenai situasi awal-awal perkuliahan, seorang gadis yang meminta-minta seluruh nomor hape mahasiswa, hingga soal kejutan kisah asmaranya yang baru aku ketahui belakangan.

Yul R. (yang namanya mirip nama asli Julia Perez) bermaksud menulis jalan-jalannya ke Taman Pelangi Jogja, tapi yang kutangkap malah ada gurat-gurat kesepian di tulisannya J. Gaya tulisannya ceria, seakan ditulis sambil senyum-senyum, sedikit mengingatkanku pada adik sepupu yang masih SD tapi sudah sering nge-blog.

Sungguh sulit buatku untuk menentukan pemenang. Kenapa? Tulisan-tulisan ini tidak bisa untuk di”kompetisi”kan karena tidak berada pada tingkatan yang sama untuk dinilai. Tahu kan? Seperti umumnya lomba-lomba lain yang selalu punya tema sama sebagai pengikat demi mempermudah kriteria penilaian. Bayangkan bagaimana menilai tulisan curahan hati yang dihadapkan dengan perbincangan sastra tingkat tinggi; kegalauan cinta dengan kegalauan lingkungan; pembicaraan superhero dengan cerpen; foto-foto caffe dengan film favorit. Bagiku setiap tulisan/karya punya kekuatan sendiri yang beda dari lainnya. Jika dipaksakan jatuhnya adalah pada preferensi masing-masing penilai atau ada pada tingkatan ‘kebutuhan’ dari si pembaca sendiri pada hari itu yang mana bergantung pada gejolak emosinya (alias kedekatan emosional, seperti sudah kulakukan di atas sewaktu memilih tulisan favoritku dari seluruh peserta Bulan Blogging). Kecuali bila memang ini yang dicari(?), yaitu ke-subjektivitasan bukan ke-objektivitasan seperti yang selalu digaungkan oleh para dosen(?).

Maaf, tapi dengan gaya (sok) diplomatis aku akan bilang: bagiku pemenangnya adalah semua peserta yang sudah ikut serta. Atau jika dilarang bermental diplomatis dan normatif maka aku akan bilang pemenangnya adalah mereka yang tidak absen menulis selama 31 hari alias mereka yang tidak terkena denda (yang mana ada empat orang, ehm...:). Atau justru para peserta yang terkena denda-lah yang menang karena tanpa mereka maka tidak akan ada uang hadiah. Tidak ada uang hadiah berarti tidak ada pemenang. Bila ini tidak diterima sebagai alasan maka aku bilang: pemenangnya adalah yang punya ide untuk bikin Bulan Blogging, tidak, bukan hanya yang punya ide tapi mereka yang mewujudkan Bulan Blogging dan mendesainnya. Oh, tidak, tidak, tidak, bukan. Pemenangnya adalah Sang Admin, karena tanpa perhatiannya link-link tulisan dari setiap blog peserta bisa saja tidak termuat. Tapi jika memang dipaksa untuk memilih, baiklah. Aku akan memilih Yenny S. (Mace) Kenapa? Karena suaranya berkelas platinum dan aku baru tahu itu ketika kami semua ke Candi Sukuh...ah nggak bukan hanya itu tapi karena namanya selalu ada meskipun tidak ada tulisannya.

Demikian kawan, terima kasih.

Lebih jauh soal Bulan Blogging, klik di sini.

(Restu Ismoyo Aji) 

0 komentar:

Nenek Moyangmu Seorang Peraut

18.36.00 jino jiwan 0 Comments

Nak, malam ini aku hendak menceritakan kisah yang sudah lama engkau pertanyakan. Sebuah hikayat termegah tentang nenek moyangmu yang termashyur akan keberanian dan kenekatannya. Dia hidup di masa susah tapi pantang berkeluh kesah. Dia selalu maju terus pantang mundur, bahkan ketika menghadapi marabahaya sekalipun dia tidak akan mundur tetapi berbalik putar haluan dan lari. Itulah nenek moyangmu, Nak. Nenek moyangmu adalah...

Seorang peraut...(musik pembuka dimainkan!)

Ini gambar nenek moyangmu, Nak
Pada suatu siang, nenek moyangmu tergugah dari keberlamunannya. Dia sadar harus berbuat sesuatu agar dia tidak ditelan sejarah dan dilupakan, supaya ceritanya terus diceritakan dan dikenang, supaya nenekmu tidak bikin malu dia punya cucu, yaitu ya kamu itu! Pikirmu siapa lagi ha? Dia ingin agar lagu-lagu usang yang senantiasa disyahdukan dan biasa dia lahap sewaktu dininabobokan oleh bundanya mampu menemui alam nyata, bukan cuma mimpi di hari bodong belaka. Dia ingin menjadi seorang...peraut!

Kamu tahu kan lagunya yang mana? Iya tepat yang itu! Memang lagu yang itu yang ku maksud. Mari kita berdendang bersama-sama, Nak.

“Nenek moyangku seorang peraut.”
“Gemar mencari pisau nan tajam.”
“Merajang pensil, tiada kendur.”
“Meme..........”
...
Apa? Kau tidak hapal? Bukan itu lirik lagu yang pernah kau dengar? Ya sudah, tidak apa-apa jika kau tidak hapal. Mungkin versi lagu yang kau dengar sudah direvisi guru TK-mu untuk menutupi kebenaran...kebenaran tentang kisah Sang Peraut Agung.

Baiklah jika begitu, biar kuteruskan ceritanya.

Nenekmu memulai petualangannya sebagai peraut dengan mencari mata pisau yang tajam. Dia memulai pencarian mata pisau dari dapur, tempat wanita biasanya berada sejak zaman nenek moyangnya nenek moyangmu. Tapi tidak ada mata pisau yang tajam di sana. Semuanya tumpul.

Maka dengan kuasanya dia meraih segenap pisau tumpul itu dan lantas mengasahnya dengan batu kali yang dia pungut di pinggir kali. Siang malam dia bekerja keras menajamkan pisau, sementara pagi dan sore dia duduk-duduk mencari kutu di rambutnya sendiri atau di rambut simboknya atau menyapu latar kadang disambili ngeteh...Ya, iyalah, masak kerja tanpa istirahat. Kan bisa lelah. Kalau sampai dia lelah dan stres bisa-bisa kamu gak akan ada sekarang. Jangankan kamu, romo-mu ini juga tidak akan ada.

Nah, biar kulanjutkan ceritanya. Kini dia telah memiliki empat...bukan, lima batang pisau yang tajam dan siap digunakan untuk memuluskan karir sebagai peraut. Tapi, dia lupa sesuatu yang paling penting jika ingin menjadi seorang peraut.

Yakni...pensil! Pensil bukan sembarang pensil, melainkan pensil istimewa!
Oh, nak. Kamu tidak bisa membayangkan betapa puyeng nenekmu memikirkan sebatang pensil. Dia ini papa pensil. Dia tiada berpunya pensil. Di masa itu sebatang pensil istimewa harganya sungguh di luar jangkauan tangannya.
Saking panjang pedangnya sampai tidak muat di gambar ini
Namun semua berubah ketika nenekmu bertemu calon kakekmu. Seorang kapiten yang pedangnya panjang dan tiapdia berjalan suaranya “prok oprok oprok jadi apa.” Kakekmu si kapiten pedang panjang memberi nenekmu sebatang, tidak bukan sebatang tapi lima batang pensil istimewa. Tentu dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Sebatang pensil itu nenekmu gunakan untuk menggarap soal EBTANAS/  UNAS/ UAN/ UN. Lalu sebatang selanjutnya dipakai mengerjakan soal-soal UMPTN atau SPMB atau SBMPTN, membulati nama, membulati jawaban tanpa letih. Haaaahhh, kau tak akan percaya mereka membuat hingga puluhan istilah untuk satu hal yang sama ketika itu.

Sebatang pensil berikutnya mengantarkan nenekmu jadi PNS di kementrian kekalutan dan periklanan. Tempat yang sesuai karena Kapiten Pedang Panjang juga mengabdi di situ.

Sebatang pensil berikutnya lalu menjadi mas kawin perkawinan kakek moyangmu Kapiten Pedang Panjang dengan nenek moyangmu Sang Peraut hingga aku pun....


Nak..., kamu sudah tidur? Tapi ceritanya belum selesai ini. Ini kisah tentang batang pensil terakhir...Nak? Nak..?

(Jino Jiwan)

0 komentar:

Masjidil Haram dalam Bingkai

16.38.00 jino jiwan 0 Comments

Sepulang dari ibadah haji tahun 2011 orang tuaku meminta agar foto keduanya sewaktu beribadah haji dicetak. Satu berlatar Kabah sedangkan satunya lagi berlatar menara jam Royal Hotel Mekah. Tidak cukup di situ. Seperti rerata orang pulang dari berhaji atau umroh, ada bermacam oleh-oleh bernuansa “Haji.” Di antaranya dua buah poster foto bergambar Masjid al Haram (Masjidil Haram) dan Masjid Nabawi kurang lebih berukuran A2. Dua poster ini lalu dibingkai kayu bercat keemasan dengan kaca dan lampu fluorescent di baliknya, sehingga ketika saklar dinyalakan, kedua masjid ini akan tampak bercahaya. Masing-masing foto dan poster berbingkai itu dipajang pada dinding ruang tamu dan ruang tengah. Biaya pembingkaian serta instalasi tidak bisa dibilang murah, namun pemajangannya yang ada di “ruang privat namun publik” agaknya menyiratkan suatu hal yang sepadan.

Aku berhaji maka aku ada
Jelas sulit menghindari kesan ingin pamer bahwa “diriku ini sudah berhaji.” Tapi bukankah praktik serupa telah lama dilakukan? Bahkan sejak teknologi foto masih menggunakan kamera analog atau malah sejak teknologi fotografi belum akrab dipakai masyarakat. Misalnya orang suka menunjukkan album foto diri yang berpose di depan suatu bangunan terkenal atau tempat wisata di kota lain atau luar negeri kepada tamu, foto wisuda, atau memajang piala dan medali buah prestasi tertentu, hingga memajang suvenir khas (uang kertas, gantungan kunci, miniatur rumah adat) dari daerah tertentu pada meja/bupet ruang tamu, termasuk membentangkan karpet/permadani raksasa bergambar Masjidil Haram di dinding. Benda-benda material tersebut fungsinya telah melebihi fungsi mereka yang pada awalnya dimaksudkan sebagai penghias ruang, menjadi tanda yang dikonsumsi dan dikomunikasikan citranya oleh tuan rumah bersama dengan para tamu.

Masyarakat spectacle, begitu Debort (2002) menyebutnya. Adalah ketika relasi sosial antar manusia dimediasi oleh imaji, yaitu sebuah cara pandang masyarakat terhadap dunia yang kian dimaterialisasikan. Pada masyarakat spectacle konsumsi atas citra didorong untuk menunjang produksi barang komoditas. Perasionalan atas tindakan konsumsi tumbuh dalam iklim demi pengidentifikasian diri di tengah kehidupan sosial. Debort menyebut ada permainan sistem standardisasi oleh kapitalis untuk mengendalikan masyarakat. Sehingga mereka menjadi patuh bahkan bangga dalam perannya sebagai konsumen. Kehidupan bukan sekedar dinilai dari kepemilikan namun juga pada pemameran atau mempertontonkan status diri.

Berdasar pemaparan Debort, dapatlah disampaikan bahwa perilaku orang-orang yang telah menjalani ibadah haji tak lepas dari apa yang didefinisikan sebagai spectacle, di mana melalui benda-benda seperti poster foto Masjidil Haram dan foto diri di depan Masjidil Haram, mata uang Saudi Riyal, suvenir pintu Kabah, dan  permadani bergambar Masjidil Haram di ruang tamu, orang yang pulang dari berhaji sudah mengonsumsi citra dengan memperantarai hubungan sosial dirinya lewat benda-benda itu (termasuk orang tuaku di dalamnya).

Sisi sosiologi sebuah benda (seni) mengungkapkan bahwa suatu benda tidak lepas dari konteks sosialnya (Zolberg, 1990:9). Poster dan foto diri bersama masjid ini berkaitan dengan ibadah haji itu sendiri sebagai bagian dari tuntunan agama sekaligus tuntutan sosial.

Ibadah haji adalah pilar yang terakhir kali disebut dalam Rukun Islam. Ibarat bangunan maka ia adalah proses dan “tanda” dalam menggapai kesempurnaan status seorang muslim di mata masyarakat (dan Tuhannya), dan konon karena beratnya perjalanan haji maka orang Islam cukup melakukan setidaknya satu kali seumur hidup, itupun bila mampu. Beratnya ibadah haji, terutama di masa ketika perjalanan ke tanah Arab dari wilayah Nusantara/Indonesia hanya bisa melalui jalur laut dan darat yang memakan waktu bulanan hingga tahunan, mendorong pemberian gelar “haji” oleh masyarakat setelah orang yang berhaji kembali ke negerinya. Perjalanan sedemikian berat dari rentang sejarah berimbas pada kepercayaan bahwa orang yang mampu berhaji (karena dianjurkan hanya sekali seumur hidup), pastilah orang yang berada secara finansial (walaupun keyakinan semacam ini bisa saja dibantahkan). Gelar “haji” tidak lagi cukup melegitimasi diri karena gelar haji sudah menjelma kode sosial pelengkap ke-Islam-an, maka oleh-oleh berujud fisik menggantikannya sebagai bukti otentik bahwa yang baru saja pulang sungguh datang dari tanah suci. Proses sosial demikianlah yang membentuk kebutuhan pada konsumsi tanda, konsumsi demi melayani status ke-haji-annya.

Tentu saja gambar, foto, hingga karya kriya/seni berbagai bahan dan rupa yang menampilkan Masjidil Haram lengkap dengan Kabahnya dapat dengan mudah diperoleh di dalam negeri. Tetapi dengan membeli poster bergambar Masjidil Haram di tanah aslinya: Arab Saudi, ada legitimasi lebih meskipun bisa jadi tidak selalu berbanding lurus dengan harga mentereng. “Keorisinalitasan” ini yang dikejar oleh pembelinya tanpa mau peduli bahwa itu merupakan bentuk komodifikasi atas komoditas, terlepas dari lokasi produksi benda itu yang mungkin lebih dekat dari asal negara orang yang berhaji (umumnya buatan Cina).

Masjid Nabawi dalam bingkai keemasan

Pergeseran atas bentuk legitimasi pergi haji—dari oleh-oleh benda kriya/seni ke fotografi—selain karena makin ringkas dan mudahnya kamera juga karena foto mempunyai karakter yang unggul dalam merepresentasikan kenyataan dibandingkan gambar atau benda kriya. Foto menjelma menjadi arena mempertontonkan kebenaran, kebenaran bahwa orang ini benar-benar telah beribadah haji, kebenaran yang ujungnya jatuh pada upaya pemosisian diri di tengah masyarakat lewat perantara imaji. Foto juga memenangkan legitimasi melalui penghadirannya yang berada di ruang privat tetapi bersifat publik: ruang tamu. Setiap tamu yang datang berkunjung akan disuguhi “tanda” yang mewartakan bahwa tuan rumah sudah pergi jauh ke Arab Saudi untuk menjalani ibadah haji, dan bila itu dirasa kurang, barangkali foto Masjidil Haram tadi akan ditingkahi dengan cerita-cerita dan kenangan menakjubkan tentang tanah suci.

Masalah lalu muncul ketika siapa saja, bahkan yang belum pernah berhaji atau melaksanakan ibadah umroh bisa bebas memajang gambar Masjidil Haram di ruang tamunya. Ya, di era reproduksi mekanis—digital, siapa yang berhak melarang suatu pengomsumsian tanda? Entah apapun motivasi orang yang tidak/belum berhaji memasang gambar Kabah. Tidak ingin kalahkah dari yang sudah berhaji? Ingin dikira sudah berhajikah? Ataukah justru suatu bentuk pengharapan agar suatu hari bisa beribadah haji? Apapun yang melatarbelakangi perilaku tersebut, ‘hak eksklusif’ yang hendak ditujukkan hanya kepada orang yang sudah berhaji seolah lebur dan mengabur. Gambar Masjidil Haram yang biasa-biasa saja tidak lagi cukup menunjukkan bahwa seorang pernah menjalani beratnya berhaji.
Dari sini gambar dan foto Masjidil Haram menyimpan perang atas status dan makna, hingga mampu membentuk visualitas dalam masyarakat, visualitas yang  membentuk akan pentingnya daya pembeda. Unsur intrinsik yang biasa berada di wilayah estetika ternyata juga menyentuh sisi sosial. Zolberg (1990:27) menuliskan bahwa suatu karya seni adalah bentukan anggota masyarakat nan kompleks dan jauh dari label sederhana. Walker dan Chaplin (1997:76-77) menyebutnya “selera,” yaitu suatu bentuk resepsi di mana konsumen dan produsen bersama-sama membentuk selera baru dalam masyarakat, yang selera tersebut sering dirancang untuk tetap ada pada waktu tertentu sebelum akhirnya tergantikan. Becker (1982:39) mempertegasnya dengan mengatakan bahwa kriteria atas estetika adalah karakteristik aktivitas kolektif. Gambar boleh menyajikan objek yang sama namun tampilannya haruslah ‘beda.’ Pada tampilan yang beda inilah makna dan status terus dibentuk. Maka diciptakanlah gambar-gambar atau foto sisi lain Masjidil Haram (termasuk gambar pintu emas Kabah), diciptakanlah cara membingkai gambar/foto yang secara konsensus dinilai layak dihargai lebih tinggi dari lainnya. Sebaliknya, ada saja gambar atau foto lain yang tampak tidak pantas ‘disajikan’ di ruang tamu rumah orang yang lebih berada dan karenanya harganya lebih rendah, yang jika dilihat sekilas saja sudah tampak hirarki kualitasnya.

Masjidil Haram dalam bingkai keemasan dengan lampu fluorescent di baliknya menjadi salah satu yang dilingkupi keeksklusivitasan bagi orang yang baru pulang dari berhaji. Bingkai berukir dengan warna keemasan menjadi ciri fisik yang terlihat kelasnya dibandingkan gambar Masjidil Haram yang tidak berbingkai. Namun hanya soal waktu sebelum gaya pembingkaian seperti ini akan mencapai titik jenuh. Bukan saja ketika karya itu semakin lumrah ditemui di setiap rumah yang menyebabkan nilai gengsinya menurun, tapi juga karena makna akan status akan selalu diperbarui oleh segenap anggota masyarakat. Hal demikian dihadirkan untuk melayani diri ini yang selalu haus akan unsur pembeda-yang-tidak-biasa, yang tidak lain adalah unsur yang-tidak-dimiliki-oleh-orang-lain

Model Produksi

Walker dan Chaplin (1997:77) menyebut model produksi, distribusi, dan konsumsi yang perputarannya bukan sebagai pengulangan, melainkan perputaran yang secara berbarengan dan berturutan, di mana setiap putaran selalu berbeda karena selalu ada perubahan dalam masyarakat. Kini sudah tidak jelas lagi siapa yang lebih berkontribusi terhadap nilai elitis dan estetis dalam produksi gambar Masjidil Haram dan pembingkainya.  
Apakah fotografernya? Belum tentu juga, sebab siapapun bisa mengambil foto dengan kualitas cukup baik hari ini, asalkan memiliki kamera dan akses ke lokasi pemotretan. Atau jangan-jangan yang lebih berjasa justru perusahaan pembuat kamera dengan lensa kamera? Tapi apalah arti kamera tanpa keberadaan fotografer?

Dapatkah peran besar ada di percetakannya? Amat diragukan, karena kini kualitas cetak nyaris seragam apapun merek mesinnya. Bisakah pabrik pembuat mesin cetak, pabrik tinta cetak, ataukah operator cetak lebih kuat peranannya? Bisa jadi, namun mesin cetak hanyalah satu metode produksi.

Apakah orang yang diserahi untuk membingkai serta memasang instalasi kabel dan lampu fluorescent di balik poster lebih mumpuni dari mereka yang berprofesi sama? Belum tentu, mereka juga masih membutuhkan jasa tukang kayu, penjual cat kayu, serta pemasoknya. Bahkan ada teknik-teknik pengukiran dan pengecatan yang berpengaruh terhadap hasil dan harga akhir dari suatu produk bingkai.

Benarkah pemesannya (klien) jauh lebih besar peranannya? Mengingat tidak akan ada produksi tanpa ada permintaan, yang kemudian menciptakan paradoks bahwa tidak akan ada permintaan tanpa produksi. Kenyataannya toh seluruh individu secara anonim berperan serta dan turut memberi pengaruh pada setiap elemen karya tersebut. Proses produksi, distribusi, konsumsi tidak tegas meletakkan posisinya pada posisi tertentu, entah sebagai masyarakat penyangga, konstruksi sosial seni, atau lembaga sosio kultural. Menciptakan karya Masjidil Haram dalam bingkai tak lain adalah sebuah kerja kolektif yang luas.

Berhaji yang merupakan bagian dari Rukun Islam menyiratkan kepada pemeluknya untuk memasrahkan diri menjalani serangkaian ibadah dengan menapaktilasi sejarah penyebaran agama yang diimaninya secara langsung di tanah Arab. Membutuhkan tidak saja kesiapan fisik dan mental, serta biaya yang jelas tidak sedikit, orang-orang Islam yang pergi berhaji menjadi terbebani tidak saja di hadapan Tuhannya tapi lebih-lebih secara sosial. Sebuah proses rumit yang sayangnya tidak akan bisa sepenuhnya dilenyapkan di mana proses itu kemudian berimbas pada visualitas sebagai status sosial. Masjidil Haram dalam bingkai akan terus menempa makna legitimasi bagi orang-orang yang berhaji.

Sumber Boleh Ngutip
Becker, H.S., 1982. Art Worlds. Los Angeles: University of California Press.

Debort, G., 2002. The Society of The Spectacle. Canberra: Hobgoblin Press.

Walker, J.A., Chaplin, S. 1997. Visual Culture, An Introduction. New York: Manchester University Press.

Zolberg, V.L., 1990. Contructing a Sociology of The Arts. 1990. New York: Cambridge University Press.

0 komentar: