Merakit Hulu ke Candi Sukuh

13.39.00 jino jiwan 0 Comments

Walau letaknya dekat dengan puncak Gunung Lawu, kisaran Candi Sukuh di Karanganyar tidak bisa disebut dingin. Setidaknya kamu tidak betul-betul butuh jaket di sini. Tapi ini mungkin kasus khusus karena rombongan kami (prodi Kajian Budaya & Media UGM) baru sampai di lokasi sekitar jam 11 gara-gara berangkat dari kampus baru jam 8 pagi. Cukup siang memang, wajarlah bila suasana sudah memanas. Sepertinya matahari musim kemarau memang gemar mengeringkan apapun yang diterpanya, gunung yang semestinya dingin tidak dingin lagi. Niat awalnya sih ‘kuliah lapangan’ bertajuk Genealogi Seksologi atau semacamnya, tapi yang didapat malah petualangan lapangan: mendaki kaki gunung dengan durasi lebih dari 30 menit.

Berakit kita ke hulu
Jalur menanjak ke Candi Sukuh ini sungguh istimewa, terutama bagi yang tidak terbiasa. Bayangkan saja, sudut kemiringannya bisa mencapai 45° yang terus terbentang tanpa henti sepanjang kira-kira 3 kilometer(?) dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Mau bagaimana lagi wong rombongan kami naik bus sementara bus tidak mungkin ikut naik dan memutar di lokasi candi. Karena kondisi ekstrim inilah aku yakin jika kamu melakukannya(berjalan kaki) setiap hari selama 30 hari bukan hanya kamu punya kemampuan setara dengan anak-anak lokal yang sering naik turun tanjakan dari rumah ke sekolah, tapi kamu sudah pasti siap untuk menaklukkan gunung paling ganas di muka Indonesia. Aku pun ikut jalan kaki tanpa bisa memproyeksikan bahwa baru dua hari berikutnya linu di kaki-kaki ini pulih. Masih untung banyak temannya. Jika tidak aku bakal memilih ngojek saja seperti dilakukan sebagian di antara kami.

Warga lokal yang luar biasa tangguh
Separuh perjalanan aku dapat kesempatan beristirahat dan bukan kebetulan kawan-kawan juga sedang istirahat sambil menanti mereka yang masih tercecer di bawah. Baru di sini angin sejuk berembus, jauh lebih menyegarkan daripada AC bus. Cukuplah untuk menyingkirkan penat dan peluh sekaligus mengisi tenaga. Dari lokasi yang tinggi ini pula terlihat betapa jauhnya jarak yang sudah kami tempuh.
...

Candi Sukuh adalah candi yang aneh. Selain karena tema (erotisnya), bentuk, dan bahan batunya tidak selazimnya berasal dari zaman Majapahit, letaknya pun terbilang jauh dari lokasi yang diyakini merupakan letak ibukota di Trowulan sana. Sayangnya harapan untuk melihat Candi Sukuh secara langsung yang sudah kubangun jauh dari sebelum ada rencana kunjungan ke candi ini jadi hancur lebur.

Sesampainya di candi ingin sebenarnya aku mengucap “semua keletihan itu terbayar sudah,” selayaknya artikel-artikel tentang wisata yang sering kalian baca, tapi bukan itu yang terjadi dan bukan itu yang kurasa. Candi utama yang semestinya jadi suguhan utama ternyata tengah dipugar. Kecewa? Jelas! Tidak nampak ada kegiatan perbaikan candi yang artinya renovasi ini bakal memakan waktu lama. Dengan begitu tidak banyak pula sisa dari bangunan masa lalu ini yang dapat dipandangi selain enam(?) panel relief, tiga gerbang (dua di antaranya hancur), dan beberapa arca tanpa kepala. Pemandangan gunung yang coba dijual menurutku agak mengingatkan Candi Ijo di Jogja yang karena sudah terlalu siang jadi nampak kurang indah.

Tiap hari selama ratusan tahun Si Bulus harus berhadapan dengan arca ini
Mahasiswi Kajian Budaya sedang mengamati artefak budaya
Batu = statu
Perkuliahan dari dua dosen: Pak Budiawan dan Pak Kris tidak benar-benar kusimak. Aku meng-asyik-kan diri memotret sana dan sini, berharap kameraku bisa merekam keadaan candi sebelum dibongkar (beberapa bulan lalu?), atau bahkan merekam keadaan candi di masa Kerajaan Majapahit masih ada di peta Nusantara. Pembayangan-pembayangan ini sedikit meredam kekecewaanku. Mungkin keletihan diri ini tak seberapa dibanding orang-orang zaman Majapahit dulu yang dipaksa mengangkat dan mengangkut,  menatah dan menata batu-batu, apalagi di zaman itu jalannya jelas belum semulus sekarang. Kekecewaanku kurasa belum sebanding dengan kekecewaan pekerja proyek candi masa itu jika tahu candi ini dibongkar tapi tidak kunjung dipasang kembali.

Ah, sudahlah. Terkadang merakit ke hulu tak selalu disusul berenang ke tepian. Better luck next time! Lain kali aku akan ke sini bawa motor sendiri.


Hey, foto terakhir ini hasil editan di Sotosop. Aku menghilangkan sejumlah objek dan menambahkan candinya. Tidak teramat hebat tapi setidaknya ini yang bisa kulakukan.

(Jino Jiwan)

0 komentar: