Bias Berita di Media

19.57.00 jino jiwan 0 Comments

Pernyataan seorang pejabat pemerintahan daerah ternyata bisa sangat kontroversial dan rumit. Ini yang menurutku menimpa walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti, politisi PDIP pada bulan Maret 2015 yang berpendapat bahwa Idham Samawi, mantan bupati Bantul tidak layak dijadikan tersangka korupsi terkait dana hibah ke Persiba Bantul. Alasannya adalah karena mengelola olahraga lebih banyak pengorbanannya. Menyusul pernyataan itu muncul dua kubu berseberangan bereaksi atas pernyataan sang walikota; kubu Paguyuban Kawula Bantul Berjuang (PKBB) yang mendukung perkataan Suyuti, sekaligus pendukung Idham Samawi. Di seberangnya ada Jaringan Anti Korupsi (JAK) DIY yang menentang dan melaporkan Suyuti ke DPRD dan KPK gara-gara pernyataan itu. Menariknya tiga buah surat kabar yang beredar di Yogyakarta pada Kamis, 20 Maret 2015: Kedaulatan Rakyat (KR), Tribun Jogja, dan Sindo secara tersurat menuliskan berita dengan pembingkaian yang berbeda atas peristiwa yang sama.

Distorsi informasi pemberitaan lumrah terjadi. Perbedaan penyampaian berita ini terjadi karena tidak ada sensor formal (dari negara seperti di era Orba dengan Departemen Penerangan-nya), melainkan media-media yang saling bersaing pada ranah ekonomi politik. Dan media memang punya kemampuan untuk itu, untuk merancang dan mengarahkan persepsi masyarakat. Pada tataran lebih jauh bias editorial berita tersebut bekerja dalam apa yang dipaparkan oleh Herman dan Chomsky dalam buku terbitan 1988, Manufacturing Consent sebagai model propaganda media.

Model propaganda mencakup lima filter yang menyangkut kepentingan berbagai pihak dan memengaruhi berita yang sampai di hadapan pembaca. Pertama adalah faktor kepemilikan media dan orientasi profit di mana kepemilikan media dikuasai segelintir orang kaya dan karenanya kuat secara politis. Kedua, faktor iklan akan memaksa media terlibat dalam kompetisi pemberitaan demi merebut pemasukan darinya, yang pada ujungnya menaikkan profit. Ketiga, sumber berita media bergantung pada pemerintah dan pendapat para “ahli” atau disebut “informasi resmi,” karena bahkan media besar sekalipun tetap tidak dapat menjangkau keseluruhan peristiwa yang terjadi dalam sehari sehingga membutuhkan informasi dari sumber resmi pemerintah. Keempat, adalah flak (kritikan pekerja/lembaga pers dalam berbagai ujud untuk membuahkan berita) yang sebenarnya justru berkerja dengan diakomodir oleh media-media juga. Kelima, disebut filter antikomunisme atau dapat dibaca sebagai “ideologi yang dianggap musuh bersama” untuk membenarkan langkah-langkah politis yang diambil demi menguasai wacana dan pasar dunia. Dengan model ini kekuatan status quo bisa dipertahankan. Namun bagi Herman dan Chomsky wacana di balik berita dan siapa pihak-pihak yang diuntungkan serta siapa yang coba dipengaruhi oleh pemberitaan bisa diungkap.

Kedaulatan Rakyat, 20 Maret 2015, hal. 1
Judul berita pada halaman pertama KR (20/3) adalah, “Soal Idham Rela Berkorban di Olahraga, ‘Kawula’ Bantul Bela Pernyataan Haryadi.” Beritanya berkisar pada aksi massa PKBB di gedung DPRD Kota Yogyakarta dalam memberi dukungan pada Suyuti. Berita ini menyertakan foto beberapa laki-laki dari pihak PKBB membawa kertas bertuliskan kata-kata dukungan (versi onlinenya). Berita ini anehnya hanya menyajikan pendapat dari satu pihak saja (yaitu PKBB) tanpa sedikitpun menyebut rivalnya (JAK) yang melaporkan pernyataan Suyuti. Aksi JAK ditiadakan (baca: disenyapkan) oleh KR. Koordinator aksi, Noor J. Langga menjadi satu-satunya sumber kutipan dalam berita, bahwa menurut Langga, Suyuti mengerti benar seluk beluk pengelolaan olahraga dan semestinya hal itu dianggap sebagai bentuk kepedulian kepada kasus yang menimpa Idham, bahwa apa yang dikatakan Suyuti bukan merupakan bentuk intervensi hukum atas kasus yang menimpa Idham Samawi.

Untuk sekedar membandingkan, Tribun Jogja (20/3) menurunkan kedua peristiwa dalam satu berita yang sama di halaman 13 dengan judul: “Haryadi di Laporkan ke KPK,” (versi online tapi sedikit berbeda) Bahkan porsi foto diberikan lebih besar kepada pihak JAK yang memampang amplop berisi laporan atas pernyataan Suyuti ke DPRD DIY dan KPK. Berita pelaporan JAK juga menempati awal pemberitaan dengan mengutip pendapat perwakilan JAK—Tri Wahyu, baru kemudian disusul berita mengenai aksi PKBB yang mendukung Suyuti pada akhir berita.
Tribun Jogja, 20 Maret 2015, hal.13
Sindo juga melakukan cara yang nyaris serupa lewat judul “Haryadi Dilaporkan ke DPRD dan KPK” di halaman 9 (versi online), hanya saja porsi foto untuk pihak JAK jauh-jauh lebih besar lagi dibandingkan foto aksi PKBB, peletakannya pun saling bersebelahan dan kubu PKBB menempati sisi kiri sementara JAK di sisi kanan. Penempatan ini secara visual saja sudah menggiring persepsi tertentu mengenai dikotomi kanan-kiri, baik-buruk. Sindo juga merangkai berita ini dengan “Tersangka Persiba Tepis Sangkaan” yang menempel tepat di bawah berita di atas. Dalam hal ini baik Tribun Jogja maupun Sindo seakan hendak menggiring pembaca untuk menyimak lebih dulu (baca: bersimpati) pada keberanian JAK yang melaporkan pejabat publik setingkat walikota dengan tuduhan menghalangi penuntasan kasus korupsi dibandingkan bersimpati pada kubu PKBB yang seolah dicitrakan sebagai pembela koruptor karena justru membela perkataan Suyuti soal Idham Samawi.

Sindo, 20 Maret 2015, hal. 9
Dengan mencermati pemilihan kata pada berita yang dimuat KR diperoleh wacana khusus yang disampaikan secara ‘lembut’ bahwa Haryadi Suyuti tidak bermaksud menghalangi pemberantasan korupsi dan bahwa Idham Samawi tidak bersalah dalam kasus dana hibah Persiba. Wacana ini bersembunyi di balik kata-kata yang dikutip dari Langga (koordinator PKBB), di mana dia diperlakukan sebagai pihak “ahli,” pihak yang kata-katanya dijadikan sumber “kebenaran.” Gaya KR menuliskan berita pun membuatnya sulit dibedakan antara kutipan dengan opini KR sebagai institusi yang punya kepentingan di balik kasus ini.

Judul yang dipilihkan KR untuk artikel ini pun cenderung sangat bias. Terutama pada kata “kawula.” Benar bahwa kata ‘kawula’ pada judul sudah memakai tanda kutip, namun KR sengaja memilih untuk memakai kata “kawula” yang memang diambil dari singkatan PKBB (Paguyuban Kawula Bantul Berjuang) itu sendiri tapi kata “kawula” sekaligus berasosiasi pada rakyat terpinggir yang siap sedia mendukung pemimpinnya.

Kepemilikan media yang disebut oleh Herman dan Chomsky sebagai filter pertama memegang peranan paling besar terhadap berita di KR. Idham Samawi adalah orang dengan posisi tawar politik yang tinggi di Yogyakarta. Rumornya dia dekat dengan Sultan HB X. Sosoknya jelas berpengaruh pada kemenangan PDIP di Yogyakarta (dan mungkin suara pemilih Jokowi sebagai presiden). Bukti betapa kuat posisinya adalah istrinya sendiri saat ini menjabat sebagai bupati Bantul, sedangkan dia sendiri memenangkan kursi DPR Pusat mewakili PDIP ketika telah menyandang status tersangka (meskipun konon batal dilantik?). Kenapa pula Haryadi Suyuti melontarkan pernyataan seperti itu tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor tadi, dan di antaranya karena berasal dari partai politik yang sama. Pendukung Idham pun cukup militan dengan hadirnya spanduk-spanduk dukungan (simbolis) di jalan-jalan sekitaran Bantul. Kenapa KR yang punya reputasi sebagai koran lokal Jogja tega menyampaikan berita yang bias? Jika ditilik sejarahnya Idham Samawi sendiri adalah putra H. Samawi, salah satu pendiri KR. Meskipun kini tidak memegang KR secara langsung, namun jelas kiranya jika dia masih berkepentingan di balik berita-berita di KR. Bayangkan betapa malunya KR jika putra salah satu pendirinya dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi. Di sinilah faktor kepemilikan media bermain.

foto spanduk dukungan kepada Idham Samawi, foto diambil Des 2013
Ketiga media ini sesungguhnya bagian dari kerajaan media yang besar, di mana masing-masing punya kepentingan. KR adalah pemain lama yang telah terlebih dahulu mapan dan punya nama besar. Ditilik dari sejarahnya, KR memang terkesan pro pada status quo. Di saat koran-koran lain mengalami keambrukan KR selamat dari pembreidelan pada 1960-an. Kestabilan ini tentu menghadirkan kepercayaan warga dan tentu saja para pengiklan.

Dua surat kabar lain yang dibahas di sini bukannya netral sama sekali. Tribun Jogja adalah bagian dari grup Kompas-Gramedia yang bergeser menjadi koran lokal, setelah sebelumnya sempat ada suplemen lokal di dalamnya. Sebuah pemisahan diciptakan dengan cara menciptakan segmentasi baru dari harian Kompas yang lebih ingin berkonsentrasi pada isu nasional. Dengan demikian peluang masuknya pengiklan secara spesifik bisa dirangkul oleh Tribun Jogja, dan harus diingat pula bagaimana harian Kompas pada Pemilu 2014 lebih pro pada Jokowi (meskipun tidak begitu tampak tegas). Sedangkan Sindo (Seputar Indonesia) adalah ‘anak’ dari grup MNC (beserta seluruh stasiun televisi) yang dikuasai Hary Tanoesoedibjo, taipan media yang punya ambisi jadi politisi dan tentu saja punya kedekatan dengan politisi lain. Belum lagi kalau mengingat partai politik Perindo yang didirikannya, maka kian jelas arah kepentingan dari setiap berita yang terpampang di lembar Sindo. Tak terkecuali berita dugaan korupsi yang menimpa Idham Samawi dan pernyataan kontroversial Haryadi Suyuti, politisi PDIP, partai politik yang untuk sementara ini menjadi ‘musuh’ politik KMP, tempat Hary Tanoe berafiliasi.


Yah, semuanya ini bersifat sementara. Setidaknya sampai kepentingannya berubah.

0 komentar:

Yang dimaksud Revolusi Mental

07.30.00 jino jiwan 0 Comments

Revolusi mental yang gencar jadi jadi jargon Jokowi ternyata bukan hanya omong kosong tapi benar-benar ada langkah nyatanya. Apa itu langkah nyata Revolusi mental? Ya ini yang baru saja terjadi dan akan terus terjadi, naik turunnya harga sesuatu yang “memenuhi hajat hidup orang banyak.”

Pada tataran ‘permukaan’ pemasrahan harga BBM ini pada pasar dunia ini menyimpan maksud ‘MULIA.’ Supaya rakyat Indonesia tidak repot dan sibuk antri di SPBU begitu tahu bahwa keesokan harinya (mulai jam 00:00) harga BBM akan naik. Gimana? Sungguh amat mulia bukan rezim Jokowi ini? Enak kan gak perlu antri lagi wong harganya bisa sewaktu-waktu naik dan sewenang-wenang turun?

Sisi lain dari harga yang naik turun adalah adanya pengharapan agar “pasar”-lah yang memegang peran besar menentukan dirinya sendiri terhadap segala—diulang—segala harga komoditas di negeri ini. Ujungnya agar pemerintah bisa lepas tangan terhadap harga. Harga beras, daging, telur, bahan bangunan diharapkan akan naik dan turun sesuai pasar, harga jasa transportasi pun demikian. Jalan tempuh macam ini adalah jalan kapitalis, di mana negara hanya berperan sebagai fasilitator (untuk sementara ini sebatas penentu harga BBM) demi lancarnya ekonomi (dibaca: aliran uang) pada segelintitr pihak.

Sisi lainnya mungkin (dan ini yang paling penting) agar harga BBM tidak dipolitisasi seperti yang diperbuat rezim SBY pada 2009, di mana saat itu kalau masih ingat SBY menurunkan harga BBM menjelang Pemilu 2009 dan akhirnya mengantarkan Partai Demokrat jadi pemenang dan dirinya menjadi presiden untuk masa pemerintahan kedua, tapi kita tidak pernah tahu apa bakal seperti ini juga setidaknya sampai pemerintahan Jokowi jelang berakhir nanti.

0 komentar: