Seberapa Perlu Hukuman Mati?

21.04.00 jino jiwan 0 Comments

Tampaknya kata hukuman mati masih laku dicetuskan sebagai the ultimate punishment ever known nowadays. Tapi pertanyaan sesungguhnya mengenai perlukah hukuman mati diterapkan buat tindakan yang saat ini dianggap kejahatan besar terhadap manusia: korupsi, terorisme, pengedar/pembuat narkoba, dan kekerasan seksual/perkosaan, tak pernah dipertanyakan.

Argumen dari para pendukungnya selalu berkisar pada pemberian efek jera. Meskipun aku tidak mengerti bagaimana bisa seseorang menjadi jera setelah dia dihukum mati? Kan sudah mati, gimana mau jera? Jadi yang tepat adalah pemberian efek takut akan kematian dan cinta pada kehidupan (makanya seorang diharapkan tidak akan mencoba melakukan kejahatan), bahkan efek mengasihi sesama yang diharapkan muncul belakangan setelahnya pun kabur bin samar. Yang mana agaknya ini bukan sesuatu yang diingini oleh para religiawan (bukan?) yang selalu mengatakan kita tidak boleh takut mati karena pasti terjadi dan hanya soal waktu (begitu kata Bimbo). Lagipula khusus  untuk pelaku terorisme berkedok agama sudah pasti adalah orang yang sudah siap mati. Maksudku, memberi hukuman mati kepada teroris menjadi sesuatu yang sia-sia, karena kematian itu sudah masuk agenda mereka.

Masalah pertama dari hukuman mati adalah statusnya. Apa bedanya hukuman mati dengan pembunuhan? Bukankah hukuman mati pada dasarnya pembunuhan juga, hanya saja dilegalkan atas nama hukum?

Kedua, perlukah dibuat pembedaan proses hukuman mati untuk kejahatan berbeda hanya demi mengejar efek horornya yang mana berkaitan dengan pemberian efek takut tadi? Perlukah terpidana korupsi dihukum mati dengan cara berbeda? Ini sekedar ide sih. Agak gila tapi bagiku kreatif. Misalnya si koruptor digantung pada tangannya lalu pada kakinya diikat sebuah tank yang disesuaikan dengan jumlah korupsinya. Kemudian seperti orang yang dihukum gantung pada umumnya, di bawah tank sudah disiapkan pintu jebakan yang ketika dibuka tank akan meluncur ke bawah. Si koruptor akan mati kehabisan darah setelah tangan atau kakinya putus (jika tidak segera ditolong, ATAU haruskah dia ditolong?). Gimana? Cukup gory bukan? Lumayan horor kan? Sudah takut korupsi belum?

crippled batman
Atau bagaimana jika pelaku kekerasan seksual (perkosaan, dll.) dihukum penggal kelamin alias kebiri? Bagiku kebiri sendiri sejatinya merestui dendam kesumat yang tersimpan bagai bara dalam sekam dari struktur dan peran masyarakat yang senantiasa dibiarkan lalu diawetkan sebagai oposisi biner: laki-laki//perempuan. Kenapa? Karena kebiri mengandaikan pelakunya hanya laki-laki dan hanya laki-laki sementara korbannya hanya perempuan dan hanya perempuan. Bagaimana jika pelaku kekerasan seksual adalah perempuan? Apanya yang mau dikebiri? Kebiri juga mengandaikan persetujuan atas mitos bahwa laki-laki memikirkan dan selalu menikmati seks sementara perempuan…

pisang yang buluk dan tak menarik (lagi)
Ketiga, siapa yang akan melakukan hukuman mati jika tidak ada algojo(eksekutor)nya atau tidak ada yang mau jadi algojo? Sebelum anda bilang tidak mungkin, aku bilang bayangkan saja sebuah keadaan di mana segenap algojo yang kita punya sedang terserang demam plus diare akut. Aku ingin tanya buat para pendukung hukuman mati, maukah anda menjadi orang yang mengeksekusi terpidana dengan tangan atau kaki (atau apapun) anda sendiri? Dan tidak usah memberiku omong kosong soal jika memang sudah tugas dan kewajiban maka saya akan lakukan, karena jika seorang punya pilihan maka pasti saat ini tidak ada yang mau melakukan pekerjaan mengerikan, melukai tubuh/mengambil hidup orang lain biarpun legal dan dibayar untuk itu kecuali untuk alasan hegemonik, misal: yang percaya bahwa menjadi algojo adalah bagian dari ibadah.
Bayangkan kini di hadapan anda sudah terikat pasrah terpidana mati dan di tangan anda ada sebuah senapan berisi peluru. Maukah anda menekan pelatuk ke arah jantung atau bahkan pelipis terpidana? Kecuali anda punya kecenderungan sakit jiwa, sudah biasa membunuh, terbakar dendam karena korban adalah kerabat anda, pastilah menolak.

Terakhir, kenapa orang yang menolak hukuman mati dianggap pengecut, tidak tegas, dan dituduh mendukung kejahatan atau bahkan disangka akan melakukan kejahatan itu? Tidakkah ada argumen balik yang lebih valid? Tidakkah rangkaian kata yang anda baca ini bisa dimaknai sebagai sebuah langkah yang berani?

0 komentar: