Film Headshot (review)

15.15.00 jino jiwan 0 Comments

Pada sebuah penjara kumuh nan temaram mendekamlah di salah satu biliknya penjahat super sadis bernama Sunny Pang. Kita semua langsung tahu dia bejat karena duo sutradara Mo Bros berkeras agar Sunny Pang memajang tampang licik sepanjang durasi lengkap dengan lensa kontak merah di mata kiri, dan dia pun dipanggil dengan nama yang amat tipikal: siapa lagi kalau bukan, Lee… karena dia berasal dari Cina (kan?) jadi itu adalah satu-satunya nama yang masuk akal.

Apapun itu, Sunny alias Lee meloloskan diri setelah segerombolan penjahat yang bisa keluar dari sel adu tembak secara terbuka dengan satu peleton penjaga penjara yang entah bagaimana melupakan pelatihan menghadapi situasi krisis semacam ini. Mo Bros yang dari tadi sudah gatal ingin mengejutkan penonton kemudian menyemburkan dua puluh liter darah ke segala penjuru.


title sequence

Segera begitu lepas dari penjara, untuk membangun betapa kejinya Sunny Pang, ditemani oleh Julie Estelle, dia menembaki, menusuki, membacoki, lalu cuci muka dengan darah anggota geng yang menjadi distributor barang-barang haramnya, karena bersembunyi bukanlah konsep yang dipahami dengan baik oleh buronan penjara macam Sunny.

“Haah, sebagai seorang penyelundup aku masih sangat membutuhkan distributor, tapi karena aku juga bandit top maka aku wajib membuat penonton memusuhiku. Dilema!” ujar Sunny. Jarinya sudah diujung pelatuk pistol siap melubangi dahi Si Centeng Distributor yang namanya tidak penting disebut. Tapi untuk memudahkan mari kita panggil dia Sisidi (SCD-Si Centeng Distributor).

“Tunggu Bos, jangan tembak saya. Saya punya info. Iko Uwais masih hidup.”

“Masih… hidup?” Sunny mendelik dengan licik.

Siapakah Iko Uwais? Jeng jeng jeng

Kita beralih ke tempat lain, di sebuah rumah sakit yang bukan di Jakarta—barangkali alasan bujet, mungkin pula Mo Bros ingin menjauhi Jakarta yang lekat dengan citra The Raid series—terbaring dalam keadaan koma selama dua bulan Iko Uwais, bintang utama The Raid yang daripada menanti terlalu lama untuk bermain di sekuel garapan Gareth H. Evans mau berperan menjadi seorang lupa ingatan bernama Ishmael. Ingat ya, Ishmael. Bukan Ismail! Ismail mah kampungan, Ishmael lebih bisa dijual!

Rupanya dokter Uayuu selama ini telah menungguinya dan merawatnya dengan kasih sayang karena di rumah sakit terpencil orang sakit jumlahnya mendekati nol, makanya dokter macam dia jadi berlimpah waktu luang. Saat itulah Iko sadar dan bangkit terhenyak dengan gelagat khas film Hollywood bila si aktor bangun dari mimpi buruk.




 *yah, seperti inilah. Nangkap kan?*

“Dimana gue, sejak kapan gue di sini, siapa gue, apa yang terjadi sama gue, kenapa gue begini, gimana gue sampai di sini ? Lima W satu H, gue harap film ini menjawab semuanya!” Iko Uwais bertanya tanpa henti sambil memegangi kepalanya.

 “Iko, sabaaar. Kamu seharusnya orang Sumatra atau… apalah. Bukan Jakarte. Berhenti bilang gue.” dokter Uayuu mencoba menenangkan Iko.

“Apakah ini film eksyen? Tolong katakan ini memang film eksyen, bukan drama. Mengapa dari tadi belum ada adegan silatnya? Jangan paksa gue untuk aktiiing. Gue gak bisa aktiiing!” Wajah Iko mulai terlihat cemas. Mungkin sebenarnya dia bisa akting juga.

Mendengar racauan Iko, Mo Bros lantas mengirim Sisidi (ingat? Si Canteng Tak Bernama?) masuk ke ruang periksa dokter Uayuu.

“Arhh, Iko. Lihat aku melecehkan dokter Uayuu. Kamu harus menghajarku jika ingin menyelamatkannya.”

Bagai disundut rokok yang membara, Iko tanpa perlu menjalani terapi pasca koma dengan hati riang meremukkan wajah Sisidi hingga tak berbentuk lagi.

“Oh, Iko pahlawanku. Terimakasih…” dokter Uayuu mendekap Iko dengan hangat membuat Audy Item Uwais menangis semalam.

Mereka berdua lantas melupakan insiden kecil itu, karena keesokannya dokter Uayuu pulang kampung. Dan yang kumaksud kampung adalah Jakarta yang berstatus Ibukota, jadi lebih tepat dibilang pulang kota. Iko mengantar dokter Uayuu hingga ke pintu bus, membuat anak buah Sunny yang lainnya, Tano//Tejo  mengira Iko turut naik ke dalamnya.

Belum berapa jauh berjalan bus butut itu dihadang Tano//Tejo yang diperintahkan untuk menghabisi Iko Uwais. Tidak menemukan Iko di dalam mereka jadi ingat peran mereka sebagai penjahat dan mereka belum berbuat banyak supaya penonton ikut sebal kepada mereka. Maka dengan senang gembira Tano//Tejo menyemprotkan peluru ke seluruh penumpang bus seakan mereka prop yang terbuat dari steriofoam. Mo Bros bermasturbasi menonton loncatan lima puluh liter darah.

“Hei lihat, ada cewek ayu!” Tano//Tejo cengengesan saling tos tinju.

“Itu…memang nama saya… pemberian dari pengetik tulisan ini yang punya obsesi tidak sehat kepada saya.” Jawab dokter Uayuu.

Berhubung dokter Uayuu terlanjur terlibat dalam plot, dia berkewajiban diculik dan disekap oleh anak buah Sunny demi melengkapi garis takdirnya sebagai perempuan di film ekyen sejak era 80-an.

Iko Uwais datang terlambat di TKP (Tempat Kejadian Pembantaian). Dokter Uayuu tidak ada di situ, bus dalam keadaan kosong. Maksudku tidak benar-benar kosong sih. Ada beragam jenis sobekan kulit; serpihan daging; serbuk tulang; percikan darah, pendeknya semua yang tadinya adalah manusia. Sesuatu yang biasa dilihat Iko seharusnya, tapi entah mengapa dia seperti mual. Iko hendak keluar dari bus, namun bus itu disergap gerombolan penjahat (lagi). Iko dengan sigap siap sedia melumat mereka semua tanpa ampun.

Tiba-tiba Epi Kusnandar muncul menolong Iko dari Penjahat#34 yang hendak membokong. Dia kena babat, tiga liter darah muncrat dari dadanya yang terbelah.

“Ahh…, siapa lo?” tanya Iko.

“Saya Epi…, saya yang menyelamatkan kamu dari tepi pantai dan membawamu ke rumah sakit… sekarang saya mati…selamat tinggal…” Epi pun mati dengan mengenaskan, tapi lebih karena penonton tidak tahu kalau dia ternyata Epi Kusnandar.

“Oh…, oke…” Iko baru akan menunjukkan ekspresi kesedihan dan kemarahannya tapi POLISI keburu menangkapnya.

Di Kantor Polisi Iko diinterogasi AKP Teuku Rifnu Wikana! Sungguh cameo yang tak terkira. Penampilan Teuku Rifnu menggoyahkan semangat akting Iko.

“Astaga, gue harus berhadapan dengan Jokowi muda? Ampuni saya Pak. Saya baru berniat menjalankan nawacita dan ikut tax amnesty namun belum kesampaian.” Kata Iko dengan nada rendah.

“Jawab siapa sebenarnya kamu? Mengapa kamu terlibat dengan gengnya Sunny Pang?!” Sembur Teuku Rifnu

Gue juga gak tahu Pak, gue harap film ini akan mau menjawab semuanya.”

Teuku Rifnu mulai mencium masalah, “Apa aktingku terlalu bagus untuk film ini?” Jawabannya adalah IYA. Teuku Rifnu pun tewas mendadak. Lima setengah liter darah mengucur dari lehernya yang tertembus golok komplotan penjahat (lagi) yang menyerbu Kantor Polisi.

“Ih, yang bener, penjahat menyerbu Kantor Polisi? Kirain cuma teroris yang berani. Ini berarti gue harus kerahkan semua ilmu silat gue!” Benar, ini adalah saatnya Iko untuk menghadapi…

STAGE #1: Police Station (vs. MINI BOSSES #1)

Dari pintu masuk nongol Tano//Tejo, duo pentolan begundal dengan karakteristik sadis gila gemar tertawa. Aku harus bilang kalau aku tidak tahu yang mana yang namanya apa. Mereka jarang memanggil nama satu sama lain. Jadi anggap saja mereka satu orang ya, toh bisa saling menggantikan.

“Ini saatnya Iko. Kita yang sudah seperti saudara ini berhadapan juga!” Tano//Tejo bersorak.

“Saudara apa? Sejak kapan?!” Iko tersentak mendengarnya.

“Sepertinya kamu masih lupa ingatan.” Ucap Tano//Tejo.

“Gak juga. Sebetulnya gak jelas apa aku pura-pura lupa ingatan atau kapan mulai ingat. Mungkin kalau Mo Bros mau lebih kreatif daripada sekedar eksposisi gue bisa lebih menjiwainya.” Ucapan Iko sangat menyengat tapi Mo Bros tutup telinga.

Tunggu! Kalian ingat bagaimana netizen bertanya-tanya, dikemanakankah pistol oleh para penjahat di The Raid 2, mengapa mereka tidak memakainya?  Ini dia! Mo Bros akan menggunakannya secara simultan, bergantian dengan silat. Dan yang aku maksud dengan silat adalah kesuperioritasannya di atas pistol. Mereka lalu bertarung dan bermain petak umpet umpat di antara meja kantor dan bertarung lagi lalu bersembunyi lagi.

“Kami ingin darah. Kami ingin darah. Kami ingin darah!” Tano//Tejo mengucapkannya bagai mantra.

“Baiklah, ini dia darah. Darah lo sendiri!” Iko menembakkan shotgun. Tujuh seperempat liter darah muncrat dari kepala Tano… atau Tejo(?), aku sungguh tidak tahu. Iko melanjutkan gerakan Finish Him ke Tejo…atau Tano(?) dengan menyulap mukanya jadi bubur disertai aliran darah sebanyak sembilan liter.

STAGE #2: Deep Forest (vs. MINI BOSS #2)

Iko melanjutkan misinya ke tengah hutan, markasnya Sunny(?), di mana tersedia tempat yang lapang dan nyaman untuk baku pukul, kebetulan sekali!! Dia dicegat oleh Baseball Bat Man Besi. Misi baru: bunuh Besi untuk maju ke Stage 3!

Besi membuka dialog, “Iko, ini aku… eh? Nama karakterku BESI? Setelah jadi Manusia Pentungan aku jadi Besi?"

"Setidaknya namamu masih keren." hibur Iko.

"Shit! ...ya kurasa. Setidaknya juga penampilanku lebih sophisticated. Lihat jenggot dan kumisku yang lancip, rambutku yang dikuncir ke atas, dan aku pakai kacamata. Lihat Iko, lihat.” Besi menuding-nuding mukanya sendiri.

“Jadi kamu hipster nih?” ujar Iko tak ambil peduli.

Sakit hati karena diejek, Besi mendadak menghilang dari pandangan kamera.

“Astaga, kemana kau pergi?” Iko nampak bingung.

“Kalau kita sudah seperti saudara bukankah kamu tidak usah terkejut dengan gaya bertarungku?” Ternyata Besi ada di atas pohon, rupanya nama Besi juga berarti dia selincah monyet.

“Butuh lebih dari eksposisi dan flashback untuk membangun rasa kedekatan!” sergah Iko.

“Itu belum apa-apa dengan yang menantimu di Stage 3!” Besi menyerbu dengan pentungan besi.

Mereka bertarung lagi. Kamera berputar-putar demi membedakan diri dari The Raid series dan Bourne series. Ini membuat Besi terserang vertigo. Iko dengan gampangnya menghantam wajah Si Besi.

“Oh, ada apa dengan Mo Bros dan wajah? Kenapa mereka begitu membenci wajah?” Besi menyemburkan sebelas liter darah dari mulutnya.

“Dandananmu terlalu basi, Besi!” Iko menuding ke kamera, “yeeah!”

STAGE #3: Beach (vs. MINI BOSS #3, mini boss lagi???!!!)

Iko berlari ke Pantai, kemudian diteriakin Julie Estelle. 

"Jadi setelah jadi pembunuh di The Raid 2, kamu jadi pembunuh lagi? Sungguh perkembangan akting yang luar biasa."

"Diam! Kamu sendiri sama!"  

Mereka bertarung lagi selama sepuluh menit. Belahan dada Julie terpampang di depan kamera, sesuatu yang jarang bisa dilihat belakangan ini. Makasih ya KPI. Karena anda juga belahan dada terasa istimewa. Kedua basah tercebur air laut. Sungguh erotis, eh maksudku eksotis.

“Kenapa kita harus bertarung di pantai sih?” tanya Iko.

“Supaya …romantis? Tak ingatkah kamu Iko, betapa mesranya kita dahulu? Kamu tidak ingat Sunny adalah ayah kita yang baik kepada kita semua…” Julie balik bertanya.

Iko memotong, “Aneh, kalau memang kita dulu mesra kenapa tidak ada flashbacknya? Entah adegan itu sudah dibuat tapi disensor KPI atau tidak dibuat agar tidak melukai perasaan Audy…dan gue mesti percaya kita dulunya adalah sepasang kekasih? Astaga!”

Tersinggung akan indikasi bahwa aktingnya payah, Julie menusuk perutnya sendiri dengan pisau dan langsung mati. Kali ini hanya dua liter darah membuncah merembes ke air laut.

“Tidak…,oh…jangan Si Julie dong, tidak…” Iko baru akan menyajikan ekpresi trenyuh dan tersentuh. Tapi Mo Bros menyuruhnya segera ke stage berikutnya.


FINAL STAGE: Bunker (vs. MAIN BOSS)

Iko Uwais memasuki bunker dan membebaskan dokter Uayuu dari kepungan para penjahat. Mereka ingin segera keluar dari bunker. Tapi Sunny menghalangi.

“Ha ha ha, Iko my son. Kamu pasti tidak menduga akulah yang kamu hadapi di final boss fight ini.” Mata Sunny menyala-nyala.

“Astaga, belum cukupkah pertarungannya? Penonton sudah capek tahu?” Iko terkesiap,  “dan lihat tempat ini. Ruangan kosong empat dinding yang datar dan hambar! Akan sungguh sangat menjanjikan baku hantam yang seru, YA?”

But, the directors said they still got sixteen more litres of blood and it’s all for me.” Sunny mencoba membantah.

“Ngapain lo ngomong bahasa linggis? Tukas Iko.

Because it will add some depths in my character.”

Really?

Kesal karena diajak ngomong pakai bahasa linggis, Iko menyerang Sunny Pang ayah angkatnya. Jujur, aku sudah kehilangan minat menonton perkelahian yang berlarut-larut ini. Intinya, gaya bertarung mereka berbeda. Sunny Pang menggunakan jurus yang kutebak sih cakar harimau dari Shaolin. Sungguh, ini gak bohong! Cakarnya bisa merobek kulit lengan Iko. Sedangkan Iko menggunakan silat aliran… pokoknya silat.

Menyadari ruangan itu terlampau kosong dan tidak ada yang bisa dimanfaatkan untuk jadi plot device. Sunny menghambur keluar bunker,  “Let us continue this fight outside!” teriak Sunny.

Why?

It needs to be more dramatic.

Dan yang dimaksud dramatis adalah hujan! Karena, kenapa tidak? Mereka masih bertarung lagi dan lagi untuk beberapa jurus. Tapi kali ini Sunny Pang sudah demikian terdesak.
Iko, I never told you how much I love this forest.” Sunny merengek.

“Huw…I mean…How?” Jawab Iko sekenanya.

"Witness me!" Sunny menghujamkan dirinya sendiri ke dahan kayu yang tajam, karena di film ini dahan kayu terbuat dari besi stainless steel jadi tidak akan pernah lapuk. Delapan belas liter darah membanjiri tubuh Sunny.

“Ukhh…, sutradara bilang enambelas liter…, eekkhh” Sunny Pang pun tewas dengan gembira.

Dokter Uayuu menghampiri Iko, “Iko, kau makin menegaskan signature-mu.”

“Bahwa gue adalah the next action star in Asia?”

Dokter Uayuu meraba pipi Iko, “Bukan, wajahmu yang dihiasi darah dan luka bikin kamu lebih ganteng.”


fighter

“Oh…, ok…” Iko baru akan menampakkan ekspresi sedih sekaligus tegar, tapi dia keburu pingsan.

...

Kita beralih ke sebuah rumah sakit di Jakarta. Iya, Jakarta! Akhirnya mereka berdua pulang kota juga. Di situ dokter Uayuu sedang menunggui (lagi) Iko Uwais yang sedang koma (lagi). Tiba-tiba seorang cameo masuk.

“Astaga, Ario Bayu. Ngapain kamu di sini!” sapa dokter Uayuu.

“Aku adalah Komisaris Polisi, tugasku adalah eksposisi. Aku di sini berfungsi menjelaskan plot. Begini ceritanya: Iko cilik diculik oleh Sunny, dia dididik sejak kecil jadi pembunuh, dst., dst., bla, bla. Iko bilang "tidak, cukup", lalu dia menjadi informan buat kami, tapi dia ketahuan dan Sunny mencoba membunuhnya, dst., dst., bla, bla., demikian.” Ario Bayu mengakhiri presentasi cerita pakai Powerpoint.

 “Woow, itu cukup detail. Tapi… whatever. Yang penting penonton puas ngelihat adegan tonjok-tonjokan dan darah kan?” dokter Uayuu tersenyum manis ke kamera.

“Dan, gue masih hidup. Berarti bakal ada Headshot 2, kan?” Iko berharap dengan raut memelas.
.
.
.
Mo Bros pura-pura tidak dengar. Mereka menyetel musik rock keras-keras, berendam bareng dalam bak mandi berisi seratus liter darah sambil merevisi naskah The Night Comes For Us memastikan akan lebih banyak darah.

TEE'END

0 komentar: