DKV yang Pasaran

23.24.00 jino jiwan 0 Comments

Jelang akhir Januari sebuah laman internet menampilkan kabar Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bentukan Jokowi tengah membuka lowongan posisi non-pegawai tetap bagi lulusan S1 DKV yang akan ditempatkan dalam Deputi Pemasaran. Persyaratannya standar, bahkan teramat standar: pelamar ber-IPK minimal 2,75, usia minimal 21 tahun, dan tentunya bisa menggunakan aplikasi editing gambar (Corel, Photoshop, Illustrator). Modalnya cukup CV dan portofolio. Entah sebagai apa dan apa spesifikasi kerjanya, tapi yang penting keren, ya kan? Karena akhirnya lulusan S1 DKV diakui (baca: dibutuhkan) oleh pemerintah (atau negara?) setelah selama ini hanya disedot oleh industri yang melahirkan DKV itu sendiri.

Pertama, aku ingin menyampaikan betapa sempitnya cakupan bidang Bekraf yang diadopsi mentah-mentah dari istilah “industri kreatif” (creative industry) ini. Adalah sebuah langkah yang baik ketika ia dipisahkan dari kementrian pariwisata. Sayang bidangnya masih secara spesifik melingkupi bidang “pariwisata” dan mengarah pada produk tertentu belaka (film, musik, animasi, desain komunikasi visual, arsitektur, dll), lengkap dengan perspektif yang mengarah pada penciptaan mesin-mesin uang. Tidak mengherankan memang mengingat pemilihan nama “Ekonomi Kreatif” sudah cenderung memihak orientasi ekonomi(s), yaitu sesuatu yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Penyertaan kata “kreatif” yang menyusul “ekonomi” mengandaikan ada ranah yang tidak kreatif. Kenapa tidak kreatif? Ya karena tidak cukup punya nilai ekonomi.

Mengapa Bekraf tidak berani meluaskan cakupan apa yang dikategorikan “kreatif” ini atau meredefinisi apa yang disebut/masuk kategori ke-kreatif-an? Yang disebut kreatif tentu lebih luas dari bidang-bidang yang sebagian kusebut di atas. Tidakkah orang yang membuka perpustakaan keliling dengan bermodal kuda atau motor juga layak disebut kreatif? Lagipula untuk sebuah lembaga resmi pemerintah dengan nama yang berani melabeli dirinya “kreatif,” persyaratan yang diajukan untuk rekrutan pegawainya sangat tidak kreatif. Persyaratannya sama persis dengan yang dibutuhkan perusahaan-perusahaan yang mencari tenaga desainer komvis. Tak bisakah Badan Ekonomi yang KREATIF ini memilih memakai jasa desainer lepas? Apakah alasannya sama dengan perusahaan yang memandang pekerja lepas (freelance) lebih mahal karena dibayar per proyek dibanding pegawai yang dibayar rutin setiap bulan?

Poin kedua adalah kenapa Bekraf buru-buru menetapkan dan mengharuskan pelamar punya ijazah S1? Apa supaya pemerintah nampak peduli pada “industri kreatif” dan DKV sebagai penghasil desainer komvis? Bahwa mentang-mentang pemerintah punya Bekraf lalu DKV pun lantas berubah menjadi pencetak orang ‘kreatif’? ‘Kreatif’ yang berpandangan sempit itu?

Jika persoalannya adalah kemampuan menggunakan aplikasi (software) olah gambar, sekarang bukan hanya lulusan D3 dan SMK yang harus dihadapi lulusan S1, tapi mereka yang menuntaskan kursus desain grafis pun berpotensi jadi ancaman atau mereka yang belajar secara otodidak karena punya minat. Jika bukan karena batasan usia, anak SD pun sudah banyak yang jago pakai Corel, Photoshop, dan Illustrator. Jadi tidak ada alasan Bekraf membatasi pelamar hanya pada lulusan S1. Sehingga dengan kata lain Bekraf (yang kreatif itu) ingin mengatakan bahwa keunggulan lulusan S1 DKV terletak hanya pada ijazahnya, yang pada sisi lain mau bilang bahwa lulusan S1 dibutuhkan hanya karena keahlian mereka memainkan software olah grafis.

Aku TIDAK HENDAK berargumen bahwa “lulusan S1 DKV bukan hanya terampil  menggunakan software olah grafis tapi desainer komvis juga (harus) bisa mengidentifikasi masalah, memecahkannya dengan solusi visual lewat riset yang melibatkan sekian lintas bidang keilmuan sehingga pesan nantinya bisa sampai ke benak audiens bla bla bla bla” dan segenap idealitas omong kosong yang diajarkan oleh para dosen dan ditanamkan sekian buku-buku yang membicarakan desain grafis. Karena idealisme macam ini ujung-ujungnya hanya satu, yaitu (efektivitas) jualan. Rencana Bekraf yang akan menempatkan rekrutan tenaga desainer komvis ke Deputi Pemasaran kian menerangkan hal ini.

Perspektif DKV perlu menjauh dari nalar-nalar pemasaran yang agak malu-malu mendasari pemikiran DKV secara umum yaitu kesuksesan penanaman pesan kepada audiens tadi. Hanya karena DKV sebagai disiplin akademik muncul dari industri bukan berarti DKV masih perlu/harus melayani kemauan dunia industri yang serba ingin cepat dan efektif (menjual) sekaligus sempurna. DKV perlu secara bertahap mengurangi perannya sebagai penjawab kebutuhan pasar akan profesi desainer komvis dan profesi sayap DKV lainnya: animator, ilustrator, fotografer. Prodi DKV perlu percaya diri keluar dari kebangaan di kala lulusan/alumnusnya (berhasil) bekerja di perusahaan sebagai tenaga desain.

DKV bukan lagi hanya perkara mengidentifikasi masalah-mencari solusi-memecahkan masalah. DKV perlu dibawa ke arah memberi pilihan-pilihan yang memberdayakan dan bukan hanya perkara cari duit belaka. Pilihan-pilihan ini bersifat luas dan sangat mungkin keluar dari wilayah keprofesian yang menyempitkan. DKV yang non normatif terutama dalam menilai desain yang berada di luaran kerigidan kaidah komvis. DKV yang tidak menganggap desain karya anak SMK/lulusan kursus sebagai sampah visual yang harus dididik atau diredesain hanya dengan alasan tidak efektif menanamkan pesan atau kurang “estetis.” DKV yang non-eksklusif sebagai milik kita semua. Dengan begini mungkin DKV tidak akan memandang sempit dirinya dan apa yang disebut kreatif bakal jauh lebih luas.

0 komentar:

Kaka Angkat(ku)

23.49.00 jino jiwan 4 Comments

Rasanya kurang adil jika setelah sekian lama nge-blog aku tidak menulis tentang piaraan terbaik sepanjang masa menurut versiku sendiri: ayam! Memang benar, ayam sebagai piaraan bisa dibilang kurang lazim di Indonesia, dalam arti tidak “mainstream.” Aku tidak menampik status ayam yang cenderung lebih dekat dengan label “ternak” yang dikumpulkan dalam jumlah besar pada suatu kandang untuk diambil daging atau telurnya. Sehingga wajar jika ada yang menganggapnya bukan peliharaan karena tidak punya kepribadian yang luhur khas. Berangkat dari persoalan ini aku hendak menunjukkan bahwa ayam pun sebenarnya berbeda-beda antara satu dengan lainnya *bahasanya sok akademis ya?*. Pada level inilah ketikan hendak berposisi, yaitu untuk membela para ayam dan terlebih lagi para pemelihara ayam. Camkan itu (dengan tanda seru tiga kali).

Pada ketikan kali ini aku mau ngomongin salah satu ayamku yang kelakuannya cukup unik, seekor ayam betina berusia 1 tahun 3 bulan yang kuberi nama Kaka’ Angkat (Kaka’). Nama yang terdengar aneh apalagi untuk binatang. Tapi ada alasan kenapa kuberi nama begitu.

Kaka' Angkat usia 5 bulan
Kaka’ terhitung yang paling senior di klan Kiap (nama ayam jago yang kupelihara mulai 2013 tapi sudah dijual awal 2015). Menetas sekitar bulan Oktober 2014, Kaka’ adalah keturunan satu-satunya yang tersisa dari mama ayam bernama Nade (jenenge walikan seko Edan). Hingga saat ini tidak diketahui pejantan mana yang sudah membuahi Nade dan kurasa itu berpengaruh terhadap perkembangan psikologisnya *ayam punya psikologis?*.

Tapi sebelum lebih jauh ada baiknya aku perkenalkan dulu si Mama Nade, induknya Si Kaka’. Nade bersama rekannya Tiam (yang juga betina) dihibahkan Pakdeku yang tinggal di Temanggung. Kenapa mesti jauh-jauh dari Temanggung? Karena sejarah. Sekitar tahun 1996 keluarga kami memulai memelihara ayam dengan modal empat ekor ayam dari orang yang sama. Keempat ayam ini tingkah lakunya baik, jinak, dan tidak sombong. Mereka tumbuh dan beranak pinak hingga kami berhenti memelihara ayam sekitar 2007. Atas pertimbangan inilah Nade dan Tiam diimpor ke rumah untuk menemani Kiap yang lebih sering nunut tidur di kandang tetangga karena gak punya teman.

Terbiasa berada di pekarangan terbuka (mungkin) membuat Nade dan Tiam stres berat ketika pada suatu malam “diculik” ke Jogja selama 2 jam lebih perjalanan bermobil dalam sebuah dus mi instan. Sampai di Jogja, keduanya langsung kabur sambil berkokok-petok dan segera menghilang dari pandangan dengan cepat.

Si Nade (alias Edan) nyemplung di kerdus
Selang dua bulan kemudian Tiam akhirnya balik ke rumah dibawa pulang oleh Si Kiap, tapi tidak dengan Nade. Setidaknya selama dua kali masa bertelur Nade berkeliaran tanpa tuan. Dia terlunta-lunta dan menjadi ayam tuna kandang yang senantiasa ketakutan bila berpapasan dengan manusia. Hingga pada suatu pagi Nade kembali bersama seekor bayi ayam. Bayi ayam inilah Si Kaka’. Kesempatan ini tak kusiakan, keduanya berhasil dikurung saat itu juga, dan langsung kupisahkan.

Diasuh oleh induk yang agak gila membuat kelakuan Kaka’ (yang saat itu belum bernama) nyaris sama gilanya. Setiap didekati dia akan meloncat-loncat dan berlari menabrak dinding kandang. Ayam adalah makhluk yang gesit. Percayalah, kau tidak mau berurusan dengan mereka kalau tingkahnya liar. Keadaan ini memaksaku menerapkan metode punish and discipline untuk pertama kali dengan cara melakban kedua kakinya, menyisakan sedikit ruang antara kaki kanan-kiri hanya untuk berjalan namun tidak cukup untuk berlari dan mencakar tanah. Metode ini berhasil menaklukkan Kaka’. Dia pun memulai hidupnya di klan Kiap dengan jauh lebih tenang dan tidak lagi takut kepada manusia. Sementara induknya Si Nade, sudah terlambat untuk itu. Dia dijual bersama Kiap ketika wabah penyakit merebak Februari 2015.

Demi memaksimalkan pertumbuhan ayam-ayamku dan menjaga peluang hidup mereka, aku membatasi masa pengasuhan bayi-bayi ayam oleh induknya hanya selama dua minggu setelah menetas.

Untuk itulah Kaka’ kujadikan satu kandang bersama empat ekor bayi ayam anaknya Tiam dan Kiap, atau dengan kata lain mereka sepupuan. Keempat bayi ayam ini rupanya belum siap dipisahkan dari si induk, Kaka’ yang waktu itu lebih tua 1 bulan mengambil alih peran si induk dengan merawat keempatnya. Saat malam tiba Kaka’ membiarkan keempat sepupunya menyusup di balik sayapnya biarpun badan Kaka’ hanya sedikit lebih besar. Kaka’ juga mencarikan (mencakari tanah) dan menawarkan makanan yang dia dapat/temukan kepada adik-adik sepupunya. Sejak itulah secara resmi Kaka’ mendapatkan namanya: Kaka’ Angkat, yaitu kakak angkat bagi ayam-ayam lainnya.

little chicken
Kaka' (2 bulan) dan adik-adik (sepupu)nya
Tapi keunikan Kaka’ Angkat belum berhenti di situ. Keunikan yang membikin hubunganku dengan Kaka’ naik turun. Kadang dia lucu dan menggemaskan, seringnya sih menyebalkan. Kadang aku curiga bahwa Si Kaka’ ini dulunya adalah manusia. Manusia yang terlahir kembali menjadi ayam. Tapi itu cerita buat postingan selanjutnya. 

4 komentar:

Film Dokumenter Menurut Nia Dinata

23.55.00 jino jiwan 0 Comments

Sejatinya ketikan ini bermula berbulan-bulan lalu ketika prodi Kajian Budaya dan Media UGM menyelenggarakan pemutaran dan diskusi film produksi Kalyana Shira bertajuk Buka(n) Rahasia di Joglo Dusun Terung. Kedua film yang diputar adalah Pertanyaan Untuk Bapak dan Emak dari Jambi. Film pertama menceritakan seorang gay bernama Yatna yang pulang kembali ke kampung halamannya untuk menemui Sang Bapak yang dulu telah mengoyak masa lalu dan menghantui masa depannya. Sedangkan film Emak dari Jambi bertutur mengenai seorang ibu dari kampung yang datang ke Jakarta untuk menemui putranya yang ternyata kini adalah seorang waria. Mumpung isu LGBT sedang hangat, hari ini kuunggahlah ketikan ini meskipun gak nyambung-nyambung amat.

EDIT
Dokumenter sesungguhnya...
Dalam diskusi film tanggal 22 Agustus 2015, Nia Dinata selaku produser film menegaskan bahwa film-film dokumenternya dibuat tanpa menggunakan skenario. Saat membuat film Pertanyaan Untuk Bapak dan Emak dari Jambi, kru film (termasuk dia) sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan bagaimana akhir filmnya nanti. Berbeda dengan “film dokumenter” yang umum ditayangkan Discovery Channel atau National Geographic atau film dokumenter yang berkarakter etnografis lain (misalnya tentang kehidupan suatu suku di mana kegiatan sehari-hari yang diperagakan di depan kamera masih bisa diulang), film dokumenter buatannya bukan mereka-reka adegan sesuai kemauan.

Yang menjadi kontradiksi adalah ucapan Nia berikutnya. Bahwa bahan-bahan film ini nantinya toh akan DIEDIT juga.

Nia as the maker of what documentary film is
Buatku bagaimanapun juga film dokumenter hadir dalam format film yang (tujuannya) akan ditonton orang [banyak]. Jadi sebisa mungkin akan dibuat “menghibur,” atau dibuat agar menjadi cup of tea-nya para calon penonton. Pada kenyataannya film Pertanyaan Untuk Bapak dan Emak dari Jambi toh bisa tetap tampil menghibur meski (katanya) tidak memakai skenario.

Aku melihat beberapa metode ditempuh oleh pembuat film supaya filmnya sanggup “menghibur” penonton. Salah satunya terletak pada bagian editing yang diakui oleh Nia sendiri. Lewat editing ini film dokumenter sebetulnya sedang dibentuk agar punya “cerita.” Itu makanya kedua film dokumenter, terutama Pertanyaan Untuk Bapak bisa tersaji layaknya cerpen, atau dengan kata lain film ini bagai cerpen yang divisualkan (catatan: versi novelnya berjudul Pertanyaan untuk Ayah). Ambil pengandaian begini, ada seorang yang akan membuat kue dengan bahan-bahan mentah seadanya karena orang ini setelah belanja ke pasar hanya mendapat bahan seadanya. Hal demikian tidak lantas berarti kuenya akan tampil kurang menarik atau rasanya kurang enak. Jadi menurutku tetap ada “skenario” tapi bukan skenario biasa yang dikenal dalam pembuatan film feature. Tidak mungkinlah film yang dapat saja berbujet tinggi dibuat serba apa adanya hanya karena “pemerannya” bertingkah apa adanya/semaunya atau apa yang terjadi ya terjadilah.  

Bisa dibayangkan bagaimana penonton ditempatkan dalam dokumenter?
Hal-hal teknis di lapangan saat pengambilan gambar menguatkan dugaan ini. Sudut-sudut kamera tampil bukan seperti dokumentasi biasa (dalam arti semisal kalau kita ambil foto teman-teman kita) atau tampil seperti kamera wartawan dalam meliput/mereportase suatu insiden. Sudut pengambilan gambar film dokumenter sudah berdialog dengan film-film feature. Sehingga batas antara yang disebut dokumenter dengan fiksi seperti bertumpukan.
Sudut pengambilan gambar sudah dibentuk sedemikian rupa untuk mendukung skenario yang dapat menyudutkan atau mendukung suatu ideologi via visual. Bahan mentah yang sudah berpihak inilah yang lalu diolah dalam proses editing. “Cerita” dibangun dari sana dengan segenap penghilangan-penghilangan yang hanya pembuatnya yang tahu. Itu makanya kamu tidak akan melihat para “pemeran” berbicara kepada produser film atau kameraperson yang jelas hadir di situ, padahal hampir pasti perbincangan itu terjadi. Semua disengaja demi membangun yang katanya dokumenter dan tak diskenariokan ini menjadi kurang-dokumenter.


Jadi apa itu film dokumenter?

Foto oleh Finz pakai kamera Neil.

0 komentar:

Petulangan Fanji

23.57.00 jino jiwan 0 Comments

Pada mulanya Kamu melihat warna kehijauan yang kabur. Lalu makin jelas. Tampak kerimbunan pepohonan hijau berhias semak-semak. Kemudian tebing dan batuan, disusul langit kelabu berawan. Musik yang sok tegang mengentak-entak mengusikmu. Sesosok misterius meloncat dari tubir jurang ke bebatuan, tapi kelihatan sekali kalau itu bukan orang sungguhan melainkan efek murahan seperti yang sering hadir di sinetron IndiaSiar. Kemudian…

“Halo para permirsa di rumah, namaku Fanji.” Tampak seorang pemuda tanggung berambut mi instan meringis menyapamu yang sedang tiduran santai di depan tivi. Kamupun sebagai penggemar acaranya jadi terbangun semangat untuk menikmati selama setengah jam ke depan…Petulangan Fanji!

Ini (anggap saja) Kamu
“Di episod kali ini aku akan menangkap 50 jenis ular dalam sehari untuk memperlihatkan betapa piawainya saya, yok ikuti aku.” Fanji mengajak ke arah pemirsa. Dengan langkah malas Kameramen pun terpaksa menuruti kegilaan Fanji. Andai ia tidak diasuransikan untuk keracunan ular oleh pihak tivi ia tidak akan rela ikutan ini acara. Si Kameramen mungkin lebih memilih meliput perang di Palestina. Paling tidak biar bisa mati syahid sekalian, lah ini risikonya mati dipatok ular. Duh!

Fanji berjalan nyekerman di pematang sawah. Tingkahnya amat waspada dan beberapa kali memeringatkan Kamu sebagai pemirsa untuk diam. Kamu pun mengangguk setuju, diam. Ia sesekali melompat maju lalu mundur bagai orang yang ikut lomba balap karung sambil ngisep lem. Mata Fanji tajam bagai burung garuda hendak mengincar tanaman kacang. Ia melihat sesuatu.

“Saya melihat sesuatu pemirsa.” Fanji menoleh ke kamera. Musik tegang kembali dimainkan.


Ini (anggap saja) Fanji
Fanji mengendap. Dia melepas sepatunya. Gerakan itu membuat buruannya kabur. Ia menunjuk pergerakan serupa huruf S pada genangan air sawah di sela-sela tanaman padi yang masih imut-imut. Tahu-tahu ia meloncat menerkam Si Ular. Begitu cepatnya sehingga harus di slow motion. Ia bergumul dan bergulung. Kameramen yang amat terinspirasi seri film Bourne tak menyiakan kesempatan, ia langsung mengocak-ocak kamera tiada karuan. Kamu pun langsung ikut merasa tegang sekaligus bingung dengan apa yang terjadi. Berhubung tayangan yang tersaji seperti diambil langsung oleh Muhammad Ali. Satu-satunya hal yang Si Kameramen sukai dari Petualangan Fanji adalah bagian ini, karena ia merasa berbakat di sini. Ia heran mengapa Paul Green-Grass tidak kunjung merekrut dia.

Pergumulan memakan durasi hingga nyaris sepuluh menitan. Sawah yang ia terjang pun hancur kabur tak tentu rupa. Baju dan muka Fanji terhiasi lumpur. Tiba-tiba ia tak bergerak dalam posisi tengkurap. Perasaanmu teraduk-aduk campur baur. Apakah Fanji baik-baik saja? Tanyamu dalam hati.

Fanji bangkit. Dia terlihat sumringah, bahagia layaknya seorang ayah menggendong anak pertamanya, ia tengah menggenggam leher ular sawah! Dari ekspresinya ular malang itu kelihatan kesal karena ia sudah terlambat untuk kencan dengan ceweknya, tapi apa daya ternyata Fanji lebih ingin berkencan dengannya.

Fanji lalu memberi ceramah ilmu tentang ular dengan gaya meyakinkan namun entah mengapa tidak betul-betul membuatmu yakin. Tapi toh Kamu mengiyakan saja.
“Liat pemirsa, ini namanya ular sawah. Disebut ular sawah karena…ia tinggal di sawah. Kalo dia tinggal di rumah maka namanya jadi ular rumah,” ujar Fanji bangga. “Sama sepreti kuda laut, anjing laut, atau burung gereja, mereka disebut begitu karena habitatnya memang di situ.”

Kameramen geleng-geleng kepala. Kamu tahu itu karena kamera juga jadi ikut gerak ke kiri ke kanan. Dalam hati Si Kameramen berdoa agar Tuhan mengampuni kesoktahuan Fanji.
“Kenapa kamu?!!” bentak Fanji heran pada kelakukan Kameramen.
“Ah nggak, cuma biar lebih dramatis aja.” jawab Kameramen. Entah mengapa Kamu yang dirumah bisa mendengar perdebatan ini. Mungkin disengaja oleh tim produksi demi menambah kesan realistik.

Dengan keterampilan tingkat tinggi Fanji lalu membuka rahang ular hanya menggunakan kelingking kirinya. Ia meminta Kameramen mendekat agar Kamu yang duduk resah dan khawatir akan keselamatan Fanji bisa melihat apa yang membuat makhluk melata ini mengagumkan di mata Fanji dan juga bagi Rob Bredl, tapi kameramen yang takut sama ular mengambil gambar dari jarak sepuluh jangkah. Ia memaksimalkan digital zoom in sampai mentok. Hasilnya? Gambar yang absurd. Kamu melihat butir-butir serupa biji jagung berwarna tidak jelas, kekuningan juga kecoklatan.

Ular yang malang
Ternyata yang di zoom in adalah giginya Fanji. Pantesan!

Kameramen langsung meralat. “Aduh, sori sori.” Lagi-lagi Kamu bisa mendengar ini. Kamera akhirnya membidik gigi taring si ular sebelum wajah Fanji menjadi terlalu merah. Kali ini cukup sukses dan telak. Gigi taring ular itu kecil, paling tidak jika dibandingkan gigimu sendiri. Tapi jelas amat sangat tajam dan berbahaya, jauh lebih gawat darurat dari pada giginya vampir-vampir di Twailait saga.

“Kalau sampai anda pemirsa di rumah digigit ini ular, anda bahkan tidak akan punya kesempatan untuk berkedip. Matahari yang anda lihat hari itu bakal jadi matahari terakhir yang anda lihat.” Senyuman Fanji membuat bulu alismu berdiri.

Ketika nuansa hororisme itu tengah ditebar. Lolongan seseorang meledak mendadak mengagetkan Kamu, Kameramen, dan Fanji. “Hoi, ngapain kamu nginjak-nginjak sawahku?!!!” Itu bisa dipastikan suara yang punya sawah yang jauh lebih horor dari pada analisis Fanji.

Ular sawah yang kangen berat sama pacarnya itu lepas dari genggaman Fanji. Kamera pun jatuh dari tangan Kameramen. Kamu bisa melihat Si Kameramen, yang sekarang sudah bukan Kameramen lagi, ia lari tersruntul-sruntul menjadi Lari-Man jauh meninggalkan sawah, jauh meninggalkan Fanji.

Fanji pun hendak lari, tapi gerak refleknya tertunda gara-gara takut dicium ular yang baru lepas dari tangannya, dia terjebak lumpur sawah dan barangkali juga terlilit doa kutukan tanaman padi yang teraniaya oleh ulahnya. Fanji jatuh bergedebum. Terlambat sudah, terlambat sudah.

...


Lima belas menit terakhir durasi Petualangan Fanji pun diisi Fanji yang betul-betul bertualang menanami kembali padi di lahan yang bagai dilanda pertempuran. Peluh Fanji bukan hanya sebesar biji jagung tapi sebesar bonggol jagung.  Sementara Si Empunya sawah gantian memegangi kamera. Sesekali ia mengarahkan kamera ke wajahnya, memamerkan raut kemenangan, lalu mencobai berbagai efek di kamera yang membuat matamu merana, semerana hati Fanji hari itu. Bagi Fanji matahari hari itu seolah menjadi yang terakhir yang bisa ia lihat.

Jangan sampai kuwalat sama padi

Disklaimer:
Kisah sesat ini tidak ada hubungannya dengan karakter sebenarnya dalam kehidupan nyata walau sesungguhnya ada unsur kebetulan yang disengaja dalam kenyataan pahit ini.

0 komentar: